Fhandy Pandey
Energy & GHG Expert
Kolonialisme dulu dan sekarang
Belajar sejarah itu banyak menyadarkan kita banyak hal, salah satunya adalah, seringkali standard atau ukuran yang berlaku umum di zaman sekarang memang tak bisa dijadikan kacamata untuk menatap masa silam. Apa yang tabu dan tidak di zaman sekarang, sebaliknya tidak di zaman dahulu. Sebelum “kolonialisme”, dipikir kerajaan-kerajaan di Nusantara tidak saling mengobarkan peperangan? Invasi, penaklukan, aneksasi wilayah, dan berkuasa, juga praktik perbudakan (termasuk gundik-gundik) juga menjadi sistem kerja yang absah di Nusantara sendiri masa itu.
Tidak usah naif, pada masa “Age of Empires” tersebut, jangankan di Indonesia, di belahan dunia lain manapun juga demikian, di mana “conquer and rule” adalah norma yang harus diterima. Dipikirnya Majapahit bisa berkuasa sampai keluar Jawa datang secara tiba-tiba ke negeri kekuasaan kaum lain lalu membangun tempat hunian begitu saja? Emangnya jual-beli tanah atau ganti kewarganegaraan? Gerombolan bala tentara dan armada perang dikerahkan ke negeri atau wilayah kekuasaan lain untuk apa dipikir? Piknik liburan? Faktanya, perang antara kerajaan-kerajaan itu terus terjadi sebelum (hampir) semua kerajaan itu berada dalam naungan Hindia Belanda.
Tetapi kita tidak pernah merasa berdosa (guilty) tentang kerajaan-kerajaan itu, yang ada justru mengumbarnya dg kebanggaan sedemikian rupa dalam buku-buku sejarah di bangku sekolah. Ada pertumpahan darah, terinjaknya martabat manusia, dan gandrung kekuasaan, di balik itu.
Hanya saja, kata-kata “kolonialisme” belum muncul di masa itu, pada dasarnya sih sama, tapi karena istilah kolonialisme adalah bahasa orang Eropa, maka seolah-olah kolonialisme dianggap baru ada ketika bangsa-bangsa Eropa memulainya sejak periode “Age of Exploration”. Perlu diingat pula, sebab-musabab kolonialisme itu beragam, ada yang murni invasi begitu saja, seperti apa yang dilakukan Nazi Jerman di sejumlah negara Eropa lain, atau Zionis Israel yang diawali dengan peristiwa Nakba 1948, ada juga “settler kolonialisme” yang menjadikan tanah jajahan sebagai rumah baru bagi bangsanya, seperti yang dilakukan Inggris di Amerika Utara, Australia, dan Afsel.
Begitu juga dengan Hindia Belanda, tidaklah sama dari yang lain, kata-kata “menjajah” itu sebetulnya baru gandrung pada pasca Perang Dunia II sebagai istilah dan stigma di mana politik post-kolonialisme menjadi kerangka pembangunan untuk bernegara. Suka tak suka, kolonialisme pada zamannya, yakni Hindia Belanda, adalah entitas absah, kita seringkali menganggap seakan-akan keberadaan Hindia Belanda di masa lalu adalah “aib” yang tidak bisa diakui, kemunculan kolonialisme tsb adalah hasil relasi legal yang mendapat tempat dari kekuasaan lokal yang tetap sah secara status quo, win-win solution lah ibaratnya, hal ini bermula dengan inisiatif kerajaan-kerajaan di Nusantara sendiri yang berkolaborasi demi politik kekuasaan sejak era VOC. Belanda berintegrasi sebagai “pemerintahan tidak langsung” (indirect rulership) dalam hal ini. Meski memang pastinya pihak koloni dalam hal ini lebih advance secara kemajuan namun pada dasarnya kesepakatan itu dibuat bersama dalam relasi antarkekuasaan yang saling menguntungkan. Mungkin kalau bicara konteks di zaman sekarang dapat mengacu pada istilah nekolim yakni sebuah ekspansi korporatisme, seperti Freeport di Indonesia atau perusahaan raksasa migas transnasional Seven Sisters yang bercokol di negara-negara Arab teluk, yang mana tentu pihak yang mengelola SDA di negara-negara tersebut lebih advance yang menyediakan segala alat, fasilitas, dan metode yang dibutuhkan dan lagi-lagi persoalan ini tidak lepas dari relasi antarkekuasaan yang eksploitatif dan kapitalistik.
Gak usah sok suci ngomongin penjajahan, kita ngaca aja sama rezim Indon sendiri, ada saksi hidup dari zaman Hindia Belanda bilang alam hidup mereka terancam oleh kekuasaan negara ini melalui korporasi tambang dan kebun sawit. Di jaman Belanda malah mereka mendapat bantuan dari Belanda ketika akan menanam karet, tapi sekarang justru dimusuhi.
Dengan selembar surat ijin yang diterbitkan pemerintah, korporasi tambang memperoleh hak untuk mengeruk hutan adat, tanah ulayat, dan kebun rakyat, mencemari air sungai dan air sumur. Dan korporasi kebun sawit melahap habis hutan tempat mereka mencari nafkah. Atas hilangnya ruang hidup dan masa depan, warga di Sarapat dipaksa untuk menerima uang tali kasih Rp 1,5 juta untuk satu hektar kebun karet milik warga. Uang Rp 1,5 juta/hektar itu sama dengan Rp 150,- per meter persegi, kira-kira seperempat dari harga kerupuk.
Pemerintah tidak peduli, apalagi korporasi. Tidak ada yang memahami bahwa itu bukan sekedar tanah dan air, tetapi itu adalah ruang hidup dan ruang budaya mereka. Itulah tempat leluhur mereka bersemayam, dan disitulah tempat yang mereka inginkan jika kelak mereka menjadi leluhur.
Tanah ini telah menjadi milik leluhur mereka bahkan jauh sebelum Indonesia ada, tetapi mengapa tanah ini dirampas dari mereka justru setelah Indonesia ada?, jeritan batin yang lenyap ditelan kesunyian hutan dan deru aliran sungai.
Lebih enak hidup di zaman Belanda, kata saksi hidup itu, dan itulah yang sebenarnya, sebab Belanda tidak pernah merampas tanah tumpah darah milik mereka.
Bagi orang kota yang menikmati kemakmuran hasil dari pertumbuhan ekonomi, jeritan rakyat Sarapat adalah di antara jeritan parau yang mengganggu pendengaran. Mereka bekerja di kantor pusat korporasi tambang dan korporasi kebun sawit dengan gaji tinggi perbulannya, dan pemasukan royalti serta pajak yang disetor korporasi ke kas negara, orang kota menikmatinya dalam bentuk subsidi energi yang dikucurkan negara. Jadi, mengapa harus ribut?. Jeritan Sarapat itu lenyap terbawa angin, hanya sayup-sayup terdengar di koran sekali penerbitan, menjadi berita sekilas menemani orang kota saat menyeruput kopi pagi, sebelum berangkat untuk bekerja ke kantor pusat korporasi tadi. Sesungguhnya kopi itu adalah tetesan darah dan jeritan batin dari Sarapat. Kenikmatan ini tidak boleh terganggu, maka jangan menjerit, itu mengganggu ketertiban umum bagi negara kekuasaan yang serakah ini. Pemerintah dengan kemunafikannya merampas hak hidup wong cilik dengan dalih “demi kepentingan bangsa”!
bicara kolonialisme memang demikian adanya sebagaimana dijelaskan sebuah artikel National Geographic. Di zaman kuno, kolonialisme dipraktikkan oleh kerajaan-kerajaan seperti Yunani Kuno, Roma Kuno, Mesir Kuno, dan Fenisia. Semua peradaban kala itu memperluas wilayah mereka ke daerah sekitarnya dari sekitar 1550 SM. Mereka terus maju dan membentuk koloni yang memanfaatkan sumber daya fisik dan populasi penduduk setempat yang ditaklukkan untuk meningkatkan kekuatan mereka sendiri. Hindia Belanda sendiri, sebagaimana kolonialisme modern lain, memang memiliki “masa dan waktunya” sendiri, dan menjadi cikal-bakal negara-negara (nation-state) modern pada akhirnya yang kita hidupi hari ini. Entah apa yang terjadi kelak di lembaran peradaban masa depan selanjutnya, semua selalu ada “masa dan waktunya” dan kita tak akan pernah tahu
Sejarah kolonialisme di Indonesia banyak yang belum terungkap dengan benar, banyak yang disembunyikan, padahal banyak sisi baiknya selain tentu ada sisi buruknya.
Saya rasa generasi penerus bisa mengambil pelajaran dari semua sisi
Merdeka ala 1945 itu saya yakin bukan sesuatu yang dibayangkan atau diidamkan oleh para pegiat Pergerakan Nasionalisme Indonesia sepanjang 4 dekade awal abad XX. Paling PKI 1926-27 aja yg paling ngebet pakai cara gitu. Motivasi mereka juga berbeda, karena ideologi komunisme yang memandang kemerdekaan itu pada dasarnya di luar “nasionalisme” di mana tujuannya adalah terealisasinya “stateless society” alias ditiadakannya segala bentuk otoritas baik kepemimpinan maupun dalam hal kepemilikan modal yang mana padahal tidak mesti harus menjadi “otoriterisme” (pemerintahan) dan “eksploitatif” (kelas kapital). Tapi, itulah kemerdekaan menurut komunis. Ironisnya, kita lihat bagaimana sejarah negara-negara sosialis/komunis itu berlangsung yang justru mewujudkan tiran-tiran berdarah, gejala ini sebagaimana sudah juga ditunjukkan oleh PKI di masa2 pergerakannya.
Kata Prof Ariel juga, memang benar, “Kemerdekaan RI” yang dimaknai, dibayangkan dan dicita-citakan kaum terpelajar dan pejuang kemerdekaan memang banyak versinya. Mereka ga sepakat sebelum, ketika, dan sesudah proklamasi 17/08/1945. Bahkan sesama Tapol PKI 1920an di Digoel beda2. Sejarah RI padat “perang-saudara” atau pertentangan antar sesama.
Setelah cukup memahami hal semacam ini saya jadi cukup bisa berempati pada orang-orang yang ketika tahun 1945-49 memilih berada di pihak Belanda.
Yang layak lebih banyak digalakkan adalah diskusi sejarah semacam ini. Pada masa itu, seperti halnya sebagian masa-masa lain, pilihan tidak hanya 2, Kubu tidak hanya 2. Kekayaan rentang wawasan seperti itu suatu berkah yang indah. Sayang jika direduksi jadi dikotomi hitam-putih.