Sekarang banyak cewek yang protes dengan poligami. Katanya kenapa cowok boleh poligami sementara cewek gak boleh. Berikut ditunjukkan beberapa aspek menarik mengenai poliandri, alias satu cewek kawin dengan banyak cowok.

Menurut inskripsi yang menjelaskan mengenai reformasi oleh raja Sumeria, Urukagina dari Lagash (sekitar 2300 SM), ia mengatakan telah menghapus budaya masyarakat poliandri di negaranya, sehingga wanita yang menikah dengan banyak pria akan dihukum rajam sebagai sebuah kejahatan.

Poliandri pada hubungan manusia terjadi atau telah terjadi di Tibet; Artik Kanada, bagian utara Nepal, Nigeria, Bhutan, bagian India (Ladakh, Jaunsar-Bawar, Nair, Theeya, Toda, Nishi dan Zanskar), Nymba, Sri Lanka dan beberapa masyarakat Polinesia pra kontak, walaupun mungkin hanya pada wanita kasta tinggi di Polinesia. Ia juga ditemukan di beberapa daerah Yunan dan Sichuan China, diantara masyarakat Mosuo di China dan beberapa masyarakat Sub sahara seperti Maasai di Kenya dan Tanzania utara serta masyarakat asli Amerika. Poliandri juga dipraktekkan pada Guanche, masyarakat asli kepulauan Kenari, hingga mereka punah.

Poliandri juga ditemukan dalam primata lainnya selain manusia. Beberapa monyet dunia baru, seperti marmoset Goeldi, diamati hidup dalam kelompok poliandri. Walaupun satu kelompok dapat memiliki lebih dari satu betina, betina dominan menekan ovulasi subordinatnya, menyebabkan dirinya sebagai satu-satunya betina yang mampu bereproduksi. Seekor betina marmoset Goeldi melahirkan lebih dari satu keturunan, dan telurnya dibuahi secara terpisah lebih dari satu jantan. Investasi paternal tinggi dalam marmoset Goeldi, dan jantan sering membawa anak di punggungnya bahkan bila ia bukan ayah sang anak. Telah disarankan kalau perkawinan jantan ganda berhubungan dan memaksa kerjasama dalam perawatan tiap anak. Walau begitu, penelitian yang memberi tanda dan melacak marmoset Goeldi seiring waktu menemukan kalau jantan yang tidak berhubungan yang bermigrasi ke kelompok baru bekerjasama dalam merawat anak. Dengan cara ini, betina pun memilihnya sebagai salah satu suami dan keturunan menjadi lebih banyak.

Penelitian terbaru menyarankan kalau poliandri adalah struktur sosial dominan dalam subfamili Callitrichidae pada monyet dunia baru.

Ada dua bentuk hubungan poliandri pada dunia hewan. Tipe pertama dimana betina berperan kurang lebih sama seperti jantan dalam spesies poligini, menguasai wilayah yang besar dimana beberapa jantan membangun sarang. Betina bertelur di semua sarang dan berperan kecil dalam perawatan anak. Contoh tipe ini adalah Jacana utara dan beberapa jenis burung tanah lainnya. Tipe kedua adalah sekelompok dua atau lebih jantan (yang bisa berkerabat ataupun tidak) dan satu betina secara kolektif merawat satu sarang. Situasi ini ditunjukkan oleh elang Galapagos dan lebih mirip dengan poliandri fraternal di dunia manusia, dimana satu perempuan menikahi beberapa laki-laki yang bersaudara. Kedua bentuk ini mencerminkan situasi sumberdaya yang berbeda: poliandri dengan perawatan orang tua bersama lebih mungkin dalam lingkungan yang sangat sulit, dimana usaha lebih dari dua orang tua dibutuhkan untuk memberikan kemungkinan merawat anak lebih besar daripada hanya dua orang tua.


Praktik Poliandri Di Dunia

Kebanyakan orang lebih mengenal istilah poligami daripada poliandri. Poligami adalah praktik pernikahan yang melibatkan satu orang pria dengan lebih dari satu orang wanita. Di era modern seperti sekarang ini, pandangan tentang menikah dengan lebih dari satu orang pasangan dianggap sebagai hal yang tidak biasa. Meski begitu, ternyata masih ada juga lho yang melakukan praktik Poliandri ini. Berikut ini diantaranya:

Praktik Poliandri Suku Maasai

Suku Maasai adalah kelompok etnis Nilotic yang tinggal di selatan Kenya dan utara Tanzania. Pemerintah Tanzania dan Kenya berusaha mendorong orang-orang Maasai untuk meninggalkan gaya hidup semi berpindah-pindah tempat yang mereka lakukan, tapi mereka tetap melakukan budaya turun temurun mereka ini, termasuk untuk urusan pernikahan.

Baca Juga:  Kebudayaan Dapat Mempengaruhi Persepsi Manusia pada Kematian

Secara tradisional, orang-orang Maasai menganut poligini, yaitu ketika menikah dengan beberapa wanita sekaligus. Hal ini merupakan cara untuk tetap bertahan hidup karena tingginya tingkat kematian bayi dan para tentara suku ini. Meski begitu, mereka juga melakukan praktik poliandri. Dalam praktiknya, wanita Maasai tidak hanya menikah dengan suaminya saja, tapi juga dengan semua pria yang seusia dengannya.

Para pria diharapkan meminjamkan tempat tidurnya untuk tamu yang berkunjung yang ingin berhubungan badan dengan istrinya. Meski begitu, wanita bisa memutuskan apakah ia mau atau tidak berhubungan badan dengan pria yang berkunjung tersebut. Anak yang terlahir dari hubungan tersebut akan menjadi anak dari si suami. Mereka juga mengenal perceraian yang disebut dengan ‘Kitala’. Perceraian ini biasanya terjadi karena perlakuan yang tidak baik kepada sang istri.

Poliandri di Himalaya

Sebuah perkampungan di Upper Dolpa, Himalaya juga masih menjalankan praktik poliandri. Pernikahan poliandri di daerah ini dilakukan agar harta atau tanah keluarga tidak terbagi ke beberapa anggota keluarga karena kebanyakan orang di kawasan tersebut memang merupakan penduduk miskin. Karena itu seorang wanita akan menikah dengan seorang pria beserta saudara laki-laki si pria. Dengan begitu, harta dan tanah keluarga tidak perlu dipecah atau dibagi ke beberapa saudara.

Salah satu pelaku poliandri ini adalah Tashi Sangmo yang saat menikah baru berusia 17 tahun. Ketika ia menikah dengan suaminya, Mingmar Lama, pria tersebut masih berusia 14 tahun dan kedua belah pihak sepakat bahwa adik Mingmar Lama juga akan menikah dengan Tashi Sangmo. Dalam rumah tangga mereka, lahir tiga anak laki-laki.

Pernikahan di kawasan ini biasanya diatur oleh keluarga. Keluarga akan memilih istri untuk anak lelaki tertua dan nantinya adik-adik si pria juga akan menikahi perempuan yang sama di kemudian hari. Bahkan tidak jarang si istri akan membantu merawat adik-adik suaminya yang masih kecil yang juga merupakan calon suaminya juga. Namun hubungan seksual baru dilakukan ketika para lelaki tersebut sudah dianggap cukup umur.

Poliandri di India

Di India, poliandri biasanya dilakukan karena terpengaruh tradisi Hindu kuno yang diduga muncul dari kisah Mahabharata. Dalam kisah ini, Drupadi, putri Raja Pancha menikah dengan Pandawa yang merupakan lima bersaudara. Sama seperti di Himalaya, praktik ini juga dilakukan di India agar kekayaan keluarga tidak terpencar. Meski begitu, di era modern, tinggal sedikit saja orang di India yang masih melakukan pernikahan poliandri.

Seorang wanita di India, Rajo Verma memiliki 5 orang suami dan tinggal bersama dalam sebuah rumah sederhana di desa Dehradun, India Utara. Tradisi desa tersebut mengharuskan seorang wanita menikah dengan semua saudara laki-laki suaminya. Meski ganjil, Rajo mengaku bahwa ia mencintai kelima suaminya. Ia juga merasa merasa mendapat perhatian yang lebih banyak dibandingkan para istri pada umumnya yang memiliki satu suami saja.

Baca Juga:  Kebudayaan Dapat Mempengaruhi Persepsi Manusia pada Kematian

Rajo menikah saat berusia 18 tahun dengan Guddu sesuai tradisi Hindu. Setelah itu, barulah ia menikah dengan saudara Guddu yang lain yaitu Baiju, Sant Ram, Gopal dan Dinesh.

Poliandri di Tibet

Di Daerah Otonomi Tibet, terdapat tradisi agar tanah tak dibagi-bagi antar saudara. Lahan pertanian pun harus dipertahankan untuk menyokong kebutuhan keluarga. Itu sebabnya mereka mempraktikkan poliandri agar para saudara lelaki tetap berada dalam satu rumah.

Selain itu, letak Tibet yang berada di pegunungan membuat sebagian lahan pertanian sulit ditanami dan butuh banyak kekuatan fisik. Perempuan akhirnya menikahi banyak suami karena mereka lebih kuat dan bisa membantu mengurus lahan pertanian.

Dalam tradisi Tibet, pernikahan sudah dirancang sejak anak-anak mereka masih kecil. Dalam rumah tangga poliandri itu, saudara lelaki tertua menjadi kepala rumah tangga. Sementara itu, saudara lelaki lainnya berbagi pekerjaan secara adil, tetapi mereka semua punya hak yang sama untuk berhubungan intim dengan sang istri. Sang istri juga harus memperlakukan mereka dengan adil.

Komunitas Nymba di Tibet juga melakukan poliandri sama seperti yang terjadi di India. Di sini, seorang wanita menikah dengan seorang pria beserta para saudaranya. Biasanya, pernikahan diatur oleh para orang tua dan seringkali ketika mereka masih sangat muda. Saudara tertua adalah sosok dominan dalam rumah tangga, meski begitu para saudaranya tetap harus berbagi pekerjaan sama rata serta memiliki hak untuk berhubungan seksual dengan istri berbagi mereka. Sang istri juga harus memperlakukan para suaminya secara adil.

Semua anak-anak yang terlahir juga harus diperlakukan dengan sama dan seorang ayah tidak boleh pilih kasih meskipun ia tahu yang mana anak biologisnya karena status paternal biologis tidak dianggap penting. Sama halnya dangan sang anak, mereka juga menganggap semua pamannya sebagai ayah dan memperlakukan mereka semua dengan sama meskipun ia tahu siapa ayah biologisnya.

Seiring berjalannya waktu, poliandri makin ditinggalkan, tetapi masih dipraktikkan di daerah-daerah terpencil Tibet.

Meski poliandri masih menjadi kontroversi, setiap tradisi dan budaya haruslah tetap dihormati

Tidak ada kecemburuan meskipun harus berbagai istri. Hal ini karena bagi mereka, jika salah seorang suami merasa cemburu, yang perlu ia lakukan hanya pergi meninggalkan istri dan menikahi orang lain. Bagi masyarakat Tibet, poliandri adalah cara untuk menjaga keluarga tetap bersatu terhadap kehidupan yang keras. Dengan adanya banyak laki-laki, masa kuat rumah tangga juga akan menjadi lebih kuat.

Poliandri Suku Mosuo, China

Suku Mosuo yang tinggal di tepi Danau Lugu, Pegunungan Himalaya, mempraktikan poliandri lewat tradisi ‘nikah jalan’. Zaman dahulu, wilayah itu sangat miskin. Saking miskinnya, mereka tak sanggup membentuk keluarga terpisah dari keluarga orang tuanya.

Solusinya, para pria berjalan mengunjungi wanita dari rumah ke rumah pada malam hari. Jika sang wanita mengizinkan, sang pria boleh ‘bermalam’ di sana. Artinya, wanita boleh memilih dan berganti pasangan sesuka hatinya.

Namun, bukan berarti wanita suku Mosuo bermoral rendah. Menganut prinsip matrilineal, tradisi pernikahan ini justru dianggap tak merugikan wanita.

Tradisi Poliandri dan Poligami di Masyarakat Bhutan

Sebagian dari Anda mungkin masih asing dengan negara atau Kerajaan Bhutan. Terletak di antara India dan China, negara ini memiliki sistem pemerintahan kerajaan ini dipimpin oleh Raja Jigme Khesar Namgyel Wangchuck dan Ratu Jetsun Pema. Keduanya menikah pada 13 Oktober 2011 dan telah dikaruniai dua orang anak laki-laki.

Baca Juga:  Kebudayaan Dapat Mempengaruhi Persepsi Manusia pada Kematian

Bhutan memiliki peraturan kebudayaan yang melegalkan poligami dan poliandri dalam hubungan pernikahan. Baik laki-laki maupun perempuan diperbolehkan untuk memiliki lebih dari satu pasangan.

Poligami dan poliandri terjadi karena alasan ekonomi

Menurut peraturan pernikahan di Bhutan yang dibuat pada 1980, poligami dan poliandri boleh dilakukan sesuai dengan persetujuan perempuan baru yang akan dinikahi. Dalam peraturan juga disebutkan bahwa pasangan poligami atau poliandri tidak mendapatkan pengakuan hukum, baik dari hukum sipil maupun hukum adat.Untuk para perempuan Bhutan yang melakukan poliandri, mereka boleh menikah dengan beberapa pria, namun mereka hanya diperkenankan memiliki satu suami yang sah.Tradisi poligami dan poliandri di Bhutan ini biasanya dilakukan dalam lingkup keluarga. Misalnya, satu perempuan akan menikahi seorang pria dan kemudian di pernikahan selanjutnya ia akan menikah dengan adik-adik dari suaminya. Begitu juga sebaliknya, para pria yang melakukan poligami biasanya menikahi adik-adik dari istrinya sendiri. Kabarnya tradisi ini dilakukan dengan tujuan menjaga harta dan aset tetap berada di tangan keluarga.

Salah satu daerah di Bhutan yang banyak melakukan poliandri yaitu Laya. Melansir Daily Bhutan, Laya merupakan daerah dataran tinggi terpencil di Bhutan. Daerah ini sangat sulit diakses.Sebagai komunitas kecil dan mandiri, kepercayaan merupakan hal yang penting bagi masyarakat Laya. “Laya terletak di daerah yang sangat terpencil, terpisah, dan tersembunyi di pegunungan. Mereka akan dipandang rendah jika menikah dengan orang luar (bukan penduduk Laya),” ungkap Laya Gup Lhakpa Tshering, salah satu penduduk Laya seperti dikutip dari Daily Bhutan. Ia melanjutkan, penduduk Laya lebih suka hidup bersama karena tidak banyak yang mampu membangun rumah sendiri. Jadi perempuan menikah dengan lebih dari satu suami merupakan hal yang biasa.Tak hanya itu, lokasi Laya yang berada di dataran tinggi juga membuat wilayah ini sulit ditanami tanaman. Praktik jual beli juga sulit karena membutuhkan perjalanan yang panjang bahkan berhari-hari dari Laya ke kota-kota lain.

Oleh karena itu, jika salah satu suami bertugas untuk berbelanja ke luar kota, suami yang lain akan beternak. Keputusan perempuan untuk melakukan poliandri merupakan salah satu cara mereka agar bisa mendapatkan hidup yang layak.


Meskipun bagi sebagian besar orang praktik ini dianggap tabu atau tidak wajar, banyak juga yang memandang praktik ini sebagai usaha menjaga keberlangsungan hidup. Selain pertimbangan masalah ekonomi, ada juga faktor keamanan untuk para perempuan sehingga masih ada yang menjaga mereka setelah satu orang suami telah meninggal.

Referensi lanjut

  1. Goldman I, 1970 Ancient Polynesian Society. Chicago: University of Chicago Press
  2. Mohanty, P.K. (2006). Encyclopaedia Of Scheduled Tribes In India (5 Vols.). Gyan Publishing House.
  3. “On Polyandry”. Popular Science (Bonnier Corporation) 39 (52): 804. October 1891.
  4. The Last of the Maasai. Mohamed Amin, Duncan Willetts, John Eames. 1987. Page 86-87. Camerapix Publishers International.
  5. Thomas, N. 1987. “Complementarity and History: Misrecognizing Gender in the Pacific.” Oceania, 57(4):261-270
  6. Walter Wink, 1992. Engaging the powers: discernment and resistance in a world of domination
  7. Whittington, Dee (December 12, 1976). “Polyandry Practice Fascinates Prince”. The Palm Beach Post.