Membayangkan kematian memang menyeramkan. Namun tidak semua orang merespon ketakutan akan kematian dengan cara yang sama. Sebuah penelitian yang diterbitkan bulan Juni 2011 dalam jurnal Psychological Science, menemukan perbedaan kebudayaan mempengaruhi bagaimana orang tersebut merespon kematian. Persepsi orang Eropa-Amerika khawatir dan mencoba melindungi diri mereka sendiri, sementara orang Asia-Amerika lebih mungkin mencari pertolongan orang lain.


Sebagian besar penelitian, pada apa yang disebut bidang psikologis “arti penting kematian”, telah dilakukan pada orang-orang keturunan Eropa, dan menemukan bahwa orang eropa bertingkah dramatis. “Pria menjadi lebih perhatian pada wanita yang seksi dan juga pria menginginkan perempuan yang sehat. Orang senang membuat stereotaip lebih kuat. Fakta kita melihat semua hal aneh dan buruk ini ketika orang berpikir mengenai fakta kalau mereka tidak akan hidup abadi,” kata  Christine Ma-Kellams dari University of California Santa Barbara, yang melakukan penelitian dengan Jim Blascovich. Khususnya, orang mencoba melindungi naluri dirinya, dengan merendahkan orang yang tidak menyukainya.

Namun, sebagai psikolog budaya, MaKellams meneliti apakah reaksi ini berbeda dalam kebudayaan lain. Khususnya, ia ingin melihat orang dari latar belakang Asia, yang naluri dirinya secara umum lebih berkaitan dengan orang disekitar mereka.

Ma-Kellams melakukan penelitian terhadap orang Eropa-Amerika dan Asia-Amerika untuk studinya. Tiap orang diminta menuliskan pemikiran yang muncul ketika ia membayangkan tentang kematiannya sendiri – atau menuliskan pikiran mereka mengenai rasa sakit gigi. Lalu mereka diminta memutuskan apa hukuman yang harus diberikan pada pelacur dan mengisi survey tentang sikap mereka terhadap pelacuran. Seperti yang ditemukan peneliti lainnya, orang Eropa-Amerika yang telah membayangkan tentang kematian jauh lebih kasar pada pelacuran daripada mereka yang ada di kelompok kontrol. Namun orang Asia-Amerika yang memikirkan tentang kematian jauh lebih baik pada pelacur – walaupun mereka pada awalnya lebih konservatif.

Baca Juga:  Apa itu poliandri? Praktik poliandri di dunia dimana istri memiliki banyak suami

Dalam eksperimen kedua, partisipan disajikan kasus yang tidak terlalu ekstrim, sebuah cerita tentang pegawai universitas yang terluka dalam kecelakaan walaupun bukan kesalahan dari seorang pelaku (tidak disengaja). Hasil yang sama ditemukan; orang Eropa-Amerika lebih mungkin menyalahkannya bila mereka membayangkan tentang kematiannya sendiri, sementara orang Asia-Amerika lebih kecil kemungkinannya menyalahkannya.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang menemukan kalau Eropa-Amerika dan Asia-Amerika memikirkan diri mereka sendiri secara berbeda. “Bagi Eropa-Amerika, setiap orang ingin menyelamatkan dirinya sendiri setelah memikirkan tentang kematian karena hilangnya diri adalah konsekuensi paling buruk yang mungkin,” kata Ma-Kellams. “Orang Asia tidak mesti melihat dirinya secara individualistic. Diri sangat terikat dengan orang disekitarnya.” Dalam kasus ini, artinya kalau ketika mereka merasa terancam dengan kematiannya sendiri, orang Asia-Amerika tampak akan membantu atau mencari bantuan orang lain.

Pengasuhan anak setelah kematian salah satu anak sulit dilakukan

Salah satu tantangan berat yang dihadapi orang tua ketika seorang anaknya wafat adalah belajar bagaimana mengasuh anak-anak yang masih hidup, dan tugas ini harus segera dikerjakan, menurut profesor psikologi universitas York, Stephen Fleming.


Dari saat anak meninggal, orang tua berhadapan dengan dua hal ekstrim antara kehilangan dan kehidupan yaitu duka kehilangan seorang anak dan tuntutan harian dari anak yang masih hidup, kata Fleming, salah seorang penulis dari sebuah buku yang baru diterbitkan, Parenting After the Death of a Child: A Practitioner’s Guide.

Baca Juga:  Apa itu poliandri? Praktik poliandri di dunia dimana istri memiliki banyak suami

Fleming, seorang profesor psikologi di Fakultas kesehatan Universitas York, dan penulis kedua Jennifer Buckle, sekarang profesor di Universitas Memorial, melakukan penelitian untuk buku tersebut ketika Buckle menjadi mahasiswa pasca sarjana di York. Penelitian mereka berdasarkan wawancara mendalam dengan orang tua yang kehilangan anaknya dan memiliki satu atau lebih anak yang selamat.

Mereka menemukan kalau orang tua tidak pulih dari duka terhadap kehilangan anak. Justru, orang tua yang berduka berusaha meregenerasi. Orang tua yang berduka mengambil potongan-potongan memori dengan putus asa, dan meregenerasi ulang naluri diri sendiri dan naluri keluarga.

“Setelah kehilangan seorang anak, seorang Ayah cenderung menjadi peratap instrumental. Mereka kembali bekerja, bekerja untuk keluarganya, dan mereka cenderung mengatasi rasa takut menyebabkan anaknya memasuki dunia yang tidak aman, lebih cepat dari duka yang dialami seorang ibu.” kata Fleming. “Ibu lebih cenderung menjadi peratap intuitif, lebih berfokus pada perasaan mendalam, dan mereka memiliki rasa takut yang amat sangat bila satu anaknya telah mati, yang lain dapat segera mati pula. Jadi, sering kali, ibu harus diingatkan dan mungkin butuh pertolongan seorang profesional untuk segera melakukan pengasuhan pada anak yang masih hidup.”

Parenting After the Death of a Child mengisi celah penelitian mengenai pengaruh kematian anak, karena penelitian ini berfokus bukan hanya pada duka yang dialami, namun pada tindakan menyeimbangkan antara duka dan pengasuhan di saat yang sama. Sebagai seorang psikolog klinis, Flaming mengatakan ia berharap panduan ini akan mendidik para konselor mengenai pentingnya melihat implikasi psikologis dalam menyesali kehilangan seorang anak – sebagai contoh, depresi, gangguan anxiety umum, dan gangguan stress pasca trauma. Sering kali, orang tua tidak dibekali atas reaksi ini, dan oleh karena itu mereka dapat mengalami trauma oleh bayang-bayang kematian atau penyakit anaknya.

Baca Juga:  Apa itu poliandri? Praktik poliandri di dunia dimana istri memiliki banyak suami

Referensi jurnal:

MaKellams, C. & Blascovich, J. (2011). Culturally divergent responses to mortality salience. Psychological Science, 22, 1019-1024

Referensi Link:

https://psycnet.apa.org/record/2011-18432-009

https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0956797611413935

https://europepmc.org/article/med/21705518