Trunyan merupakan penduduk asli Bali di kawasan kepundan Gunung Batur purba yang menganut Agama Hindu Bali dan tidak mendapatkan pengaruh dari Agama Hindu yang berasal dari Jawa, tepatnya Hindu Majapahit. Desa Trunyan sendiri terletak di kecamatan Kintamani, kabupaten Bangli, Provinsi Bali. Desa Trunyan yang merupakan salah satu wilayah dihuni oleh Suku Bali Aga atau Bali Mula yang masih teguh memegang kepercayaan leluhurnya. Bali Aga atau Bali Mula merupakan suku bangsa yang pertama mendiami Pulau Bali. Hingga kini suku Bali Aga dan segala keunikannya masih dapat ditemui salah satunya di Desa Trunyan.

Dhananjaya seorang antropolog era tahun 1980an yang melakukan penelitan intensif pada masyarakat Trunyan mengatakan bahwa Trunyan telah banyak dipengaruhi oleh Agama Hindu Bali Daratan yang dipayungi oleh lembaga PHDI (Parisadha Hindu Dharma Indonesia), yang melakukan penetrasi budaya Bali Daratan pada Bali mula-mula. Walaupun demikian Trunyan masih kuat dalam mempertahankan keotentikan budayanya.

Struktur masyarakat Desa Trunyan berdasarkan pada dualisme, sesuai dengan konsep ini, maka upacara Saba Gede mempunyai dua aspek yaitu yang bersifat laki-laki atau lanang dan yang bersifat perempuan atau wadon. Kedua upacara ini diadakan secara bergilir dan pada tahun ini merupakan upacara perayaan Kapat Lanang.

Setiap bulan Oktober pada purnama Kapat, menjadi hari baik bagi masyarakat Bali Mula untuk melakukan upacara odalan Saba Gede bagi Dewa-Dewa mereka. Upacara dilakukan dalam bentuk perayaan selama satu bulan dan diakhiri dengan pementasan kesenian Barong Berutuk yang merupakan simbol dari kepercayaan asal mulanya penduduk Trunyan dan penghormatan pada Dewa Tertinggi mereka yaitu Batara Da Tonta yang dianggap seabagai menisfestasi dari Sang Hyang Widhi Wasa.

Baca Juga:  Kota Bandung, asal-usul, sejarah dan cerita tangkuban perahu

Bagi masyarakat Trunyan, Betara Brutuk adalah Dewa mereka sekaligus nenek moyang yang langsung turun dari langit. Menurut kepercayaan suku Trunyan bahwa masyarakat asli Trunyan (turun Hyang) adalah keturunan langsung dari langit yang dilahirkan oleh Ratu Ayu Pingit Dalem Dasar.

Dikisahkan dahulu kala terhembus wangi semerbak yang menembus langit dan membuat seorang Dewi turun ke Bumi untuk mencari asal wewangian itu. Setelah sekian lama mencari, Dewi itu akhirnya turun dan berjalan di atas tanah dan terpesona ketika menyadari keharuman itu berasal dari pohon menyan (inilah asal kata dari Trunyan). Dewi ini dibuahi oleh Dewa Surya dan melahirkan seorang putri, yaitu Ratu Ayu Pingit Dalem Dasar dan seeorang banci. Ratu Ayu Pingit Dalem Dasar, kemudian menikah dengan seorang pangeran sulung dari raja Dalem Solo, yang kemudian diberi gelar Ratu sakti Pancering Jagat atau Betara Da Tonta. Karena tidak ingin daerah kekuasaannya dicari oleh orang-orang, Betara Da Tonta memerintahkan rakyat trunyan untuk tidak mengubur jenasah orang yang meninggal, agar keharuman menyan tidak menyebar ke daerah lain. Tradisi ini masih dilakukan sampai saat ini, dan bahkan menjadi salah satu daya tarik wisata unggulan desa Trunyan.

Pada penghujung upacara, penari Betara Berutuk akan melakukan prosesi metambak atau simbol adegan percintaan antara Betara Da Tonda dengan Ratu Ayu Pingit Dalam Dasar. Adegan akhir ini dianggap sangat penting karena akan menentukan kesuburan alam semesta beserta segala isinya. Jika prosesi ini gagal, menurut kepercayaan akan berakibat buruk bagi penari tersebut dan akan diteimpa nasib malang dan menjadi bujang seumur hidup. Pada akhir dari pertunjukan kedua tokoh akan berpelukan dan hanya berpakaian cawat akan berlari menuju danau untuk mandi dan menyucikan diri. Sebelum meninggalan danau akan dilakukan upacara selamatan kecil untuk menempatkan kembali topeng ke dalam bebek bambu besar.