Apakah vaksinasi berbahaya? Apakah dalam vaksin terdapat microchip pemantau manusia? Apa benar Bumi itu datar? Manusia tidak ada yang pernah ke bulan?

Beberapa teori yang ramai diperbincangkan misalnya, terkait kebocoran laboratorium biologi di China, pengembangan senjata biologis, target penanaman cip di dalam tubuh, dan lain sebagainya. Jaman informasi digital seperti sekarang, bukan hanya seorang ahli, tetapi siapapun bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Para penganut teori konspirasi, orang awam sok tahu, hingga pesohor atau influencer media sosial dapat menyesatkan informasi. Seringkali, dalam arus informasi masa kini, penjelasan seorang ahli sering ditolak, sementara jawaban dari selebriti internet lebih dipercaya hanya karena mereka memiliki banyak pengikut di media sosial. Fenomena tersebut bisa membahayakan banyak orang dalam hal mendapatkan informasi yang benar dan sesuai fakta. Bisa kita lihat di sosial media, seringkali seorang warganet membahas mengenai masalah kesehatan, budaya, iptek, politik dan lainnya. Padahal warga tersebut tak punya kapabilitas ataupun tidak jelas sumber informasi tersebut berasal.

Sebagai contoh (Maret 2021) kasus Dewa_Kipas vs GothamChess di salah satu aplikasi catur daring yaitu Chess.com. Kehebatan media sosial bisa mengubah hidup seseorang. Bahkan seorang pemain catur amatir diyakini sebagai profesional. Meski Dadang bukanlah pemain catur profesional dan tak punya gelar, netizen Indonesia sangat yakin dia adalah pemain catur yang hebat dan benar-benar mampu mengalahkan GothamChess alias Levy Rozman.

Tidak perlu pengalaman bertahun-tahun untuk jadi ahli dan dapat pengakuan serta penghargaan internasional. Cukup dengan membuat cerita yang sulit dikonfirmasi orang awam. Cerita ini berhasil saat kasus Dewa Kipas (pak Dadang), kita jadi belajar unsur-unsur sentimentil di dalamnya. Ada romantisme kekeluargaan ayah-anak, drama penindasan orang bergelar vs orang biasa, drama ketidakadilan kaum elit tim peninjau, ketidakandalan sistem terkomputerisasi, data statistik yang tidak dipercaya, drama ketidakpedulian negara terhadap keahlian orang yang berpotensi mengharumkan nama bangsa, cerita sensasional penuh kejutan “little unknown underdog = strongest player in the history“.

Gampangnya mempengaruhi massa hanya dengan sentimen Indonesian Pride. Jika mengerti sistem FIDE, rating ELO, keputusan-keputusan yang diambil di atas papan catur, bagaimana cara chess.com mendeteksi “computerized decision support player” di platform mereka maka berita kebohongan Ali Akbar selaku anak Dadang Subur tidak akan viral. Masyarakat menjadi malas konfirmasi, sehingga salah percaya. Kita belajar lagi, kenapa orang percaya sesuatu yang “too good to be true“. Ingat lagi kasus pembulian Audrey dan Dwi Hartanto (penerus Habibie).

Contoh lainnya, ketika mobil yang ditumpangi Setya Novanto menabrak tiang listrik, mendadak banyak orang menganalisis soal mesin kendaraan, potensi tabrakan, dan lain-lain. Yang bisa dibilang lebih epik, pada Maret 2018 beredar video Syahroni yang menganalisa telur palsu. Di dalam video Youtube di bawah, Syahroni membeberkan bukti bahwa telur yang beredar di Pasar Johar Baru merupakan telur palsu.

YouTube video

Informasi telur palsu tersebut membuat masyarakat resah. Setelah diselidiki, ternyata Syahroni bukan ahli mengenai telur ataupun ahli makanan. Dia hanya mendemonstrasikan kembali informasi yang dia ketahui dari media sosial soal telur. Walaupun di dalam video Syahroni terlihat paham betul menerangkan perbedaan warna kuning telur asli dan palsu, cangkang imitasi, dan lainnya. Belakangan, ia meminta maaf kepada publik karena informasi tersebut menyesatkan.

Internet mengizinkan satu miliar bunga mekar, namun sebagian besarnya berbau busuk, mulai dari pikiran iseng para penulis blog, teori konspirasi orang-orang aneh, hingga penyebaran informasi bohong oleh berbagai kelompok

Tom Nichols, The Death of Expertise.

Apa yang dimaksud dengan “Ahli atau Pakar”

Seorang ahli atau seorang pakar adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang luas dan mendalam dalam hal pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman melalui praktik dan pendidikan di bidang tertentu. Seorang ahli adalah seseorang yang dikenal luas sebagai sumber teknik atau keterampilan yang dapat diandalkan pada suatu bidang. Seorang pakar mampu menilai atau memutuskan dengan benar, adil, atau bijaksana, dan diakui statusnya sebagai pakar oleh rekan-rekan sejawat.

Pengertian pakar yang lebih umum adalah orang dengan pengetahuan atau kemampuan yang luas berdasarkan penelitian, pengalaman, atau pekerjaan dan dalam bidang studi tertentu. Para pakar dipanggil untuk diminta nasihat mengenai keahlian mereka masing-masing. Seorang pakar harus dapat dipercaya, berdasarkan mandat, pelatihan, pendidikan, profesi, publikasi atau pengalaman. Seorang pakar harus memiliki pengetahuan khusus mengenai sebuah subjek di atas orang rata-rata. Individu tersebut biasanya adalah seorang pemikir mendalam yang terkenal dengan perkataan dan penilaian yang baik berdasarkan fakta.

Secara sederhana, arti pakar adalah orang yang jauh lebih tahu mengenai suatu pokok bahasan dibandingkan masyarakat umum. Orang yang pernah mengidap tumor ganas mungkin banyak tahu bagaimana gejala tumor ganas, tapi mereka belum bisa disebut pakar. Pengalaman memang merupakan salah satu dasar untuk menjadi seorang pakar, akan tetapi hanya bermodal pengalaman saja tidak cukup. Untuk dianggap sebagai seorang pakar, seseorang memerlukan dua fondasi lain, yaitu pendidikan dan pengakuan dari rekan sejawat (peer). Tiga fondasi tersebut lah yang membedakan pakar dengan “orang sok tahu”.

Apa yang menyebabkan netizen menjadi “sok tahu”?

Perkembangan dan kemajuan media sosial dan dunia internet membuat warganet menjadi sebuah raja yang tak terkalahkan. Melalui fasilitas platform (internet) yang canggih, seseorang bisa secara tiba-tiba menjadi orang yang amat-sangat terkenal dengan cepat. Orang bisa terkenal karena prestasinya, maupun karena kebodohannya. Saat awal pandemi Covid-19, ada orang yang mengaku sebagai seorang dokter dan bergelar Profesor. Orang tersebut mendeklarasikan telah menemukan obat dari virus pandemic Covid-19. “Polemik Obat Covid-19: Hadi Pranoto” Sang Dokter itu bukan berasal dari Tiongkok atau Amerika. Tapi benar-benar berasal dari negeri kita sendiri. Di tengah perdebatan dan silang pendapat mengenai asal-usul dari virus pandemi ini, tiba-tiba saja, Indonesia mengejutkan dunia. Salah seorang ‘pakar’ tersebut, melalui fasilitas yang disediakan oleh seorang youtuber sekaligus penyanyi terkenal di Indonesia, dalam sebuah dialog akrab di malam hari dan suasana yang redup-redam, membicarakan mengenai virus covid-19 yang telah meluluh-lantakkan tatanan mapan kehidupan umat manusia yang telah terpelihara sekian ratus tahun lamanya.

Klaim ‘sang dokter’ tersebut tidak main-main. Dia mengatakan, bahwa melalui racikan tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di Indonesia, virus mematikan tersebut bisa dilawan. Tentu saja, karena yang berbicara adalah orang yang mengaku sebagai pemegang otoritas di bidang kesehatan dan hal-hal yang berkaitan dengan virus tersebut, netizen yang menonton dialog di channel youtube milik sang youtuber sekaligus penyanyi itu banyak yang menaruh harapan teramat besar terhadap penemuan ‘mutakhir’ tersebut. Seolah-olah, di dalam benak kita, kita benar-benar telah lebih baik, dibandingkan Tiongkok, Amerika, dan negara manapun di dunia ini. Hanya karena orang dan warga negara Indonesia telah menemukan obat covid-19. Obat Covid-19 asli produk nasional Indonesia!

Internet tidak hanya menciptakan lompatan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga memberi jalan dan bahkan memerkuat kekurangan umat manusia. Di sisi lain internet justru jadi sarana menyerang ilmu pengetahuan yang sudah mapan. Internet menjadi sumber sekaligus sarana tersebarnya informasi bohong.

Nichols dalam bukunya The Death of Expertise menganalogikan internet dengan Hukum Sturgeon yang mengatakan,

“Ninety percent of everything is crap”

“90 persen dari semua hal (di dunia maya), adalah sampah.”

Sturgeon’s law

Orang bebas mengunggah apapun di internet, sehingga ruang publik dibanjiri dengan informasi yang tidak penting dan pemikiran setengah matang. Disisi lain, internet bukan hanya membuat kita makin bodoh, tapi juga lebih kejam. Di dunia maya sebagian dari kita tidak ingin menguji sebuah informasi, periksa kebenaran, berdiskusi dan berdebat sehat. Akan tetapi, kita cenderung mengecilkan, menghina, dan menyerang opini orang lain yang berbeda.

Di dunia maya, termasuk mesin pencari dan media sosial di dalamnya, sebenarnya hanyalah sebuah alat. Ibarat pisau, jika digunakan oleh dokter bedah, maka pisau berguna untuk menyembuhkan pasien, sedangkan bagi penjahat pisau dapat digunakan untuk perbuatan kriminal.

Kesalahan bukanlah pada internet, tapi pada manusia. Manusia cenderung untuk bias konfirmasi, yaitu kecenderungan untuk mencari, menerima dan memilih bukti untuk mendukung keyakinan, dugaan atau hipotesis yang sudah kita percayai. 

Internet kemudian memberi ruang bagi bias konfirmasi itu tumbuh semakin subur. Industri internet membuat program dengan algoritma yang memungkinkan kita hanya mendapat berita dan informasi yang sesuai minat dan apa yang kita percayai sebelumnya. Di Amerika misalnya, Bos CNN Sindir Fox News Sebagai TV Pemerintah, dimana kelompok konservatif lebih percaya berita Fox News, sedangkan kelompok liberal lebih pilih CNN dan MSNBC.

Di Indonesia sama saja. Tinggal ganti saja nama sumber beritanya dengan saluran berita A atau B.  Bias konfirmasi menyebabkan orang memutuskan apa yang mereka percaya terlebih dahulu, baru setelah itu memakai internet. Para penggiat antivaksin, penganut Bumi datar, dan lain-lain akan selalu menemukan sumber berita bohong atau “penelitian” tak jelas untuk mendukung keyakinan mereka.

Inilah pengetahuan era digital, kata Nichols dalam buku The Death of Expertise:

Anda berkelana sampai menemukan kesimpulan yang Anda tuju. Anda mengklik laman demi pembenaran, dan keliru dalam membedakan jawaban dengan kekuatan argumen.

Tom Nichols, The Death of Expertise.

Apakah kepakaran masih diperlukan di jaman informasi digital?

Apakah kapasitas dan tugas dari seorang pakar tidak diperlukan lagi di era internet ini? Para ahli dan profesional tetap dibutuhkan. Masyarkat akan pergi ke dokter bila sakit, menunjuk pengacara sebagai kuasa hukum jika bermasalah dengan hukum, atau mengandalkan arsitek untuk merancang rumah ataupun bagunan megah.

Pakar dalam pengertian sebagai spesialisasi pekerjaan tidak akan hilang. Tetapi di saat bersamaan, dengan derasnya arus informasi, orang bisa juga menjadi dokter bagi diri sendiri maupun ahli hukum ataupun arsitek dadakan. Bisa kita lihat, meskipun sumber informasinya tidak jelas, ada orang yang percaya bahwa makan coklat yang banyak tidakakan bikin gemuk atau hanya dengan menonton persidangan kasus hukum di youtube membuat penonton seketika jadi ahli hukum.  

Matinya kepakaran, ditengarai akan membahayakan demokrasi. Para ahli diperlukan oleh pengambil kebijakan yakni pemerintah untuk membantu pemerintah membuat keputusan. Ahli bertugas memberi nasihat kepada pemimpin. Kepada rakyat umum, para ahli mereka bertugas memberi arahan, petunjuk mana yang baik dan buruk.

Saat peran pakar hilang, demokrasi bisa dibajak para provokator. Presiden Trump, satu-satunya presiden yang terang-terangan mengatakan media sebagai “enemy of the people-musuh besar rakyat”. Presiden Trump tidak malu berbohong, serta memecah negara sendiri dengan sikap anti-imigran, rasialis, dan berbagai kebijakan populis lain yang menguntungkan golongannya saja.

Internet dan perkembangan teknologi yang sering diyakini sebagai pembunuh kepakaran pun sebenarnya bukanlah penyebab utama fenomena “ahli internet”. Bagaimanapun, internet hanyalah sebagai alat. Internet tidak mungkin untuk melakukan pembunuhan, pengguna internetlah yang bisa melakukan tindakan kriminal. Akan tetapi ternyata  pengguna internet pun bukan pembunuh kepakaran. Warganet hanyalah sekumpulan orang dengan berbagai latar belakang dan pengalaman yang mencoba berpendapat melawan pendapat ahli atau menegaskan pendapat ahli. Internet memang tidak meniadakan peran kepakaran, tapi internet adalah pisau yang dijual bebas, berguna dan berbahaya jika disalah gunakan.

Internet dapat melahirkan orang-orang yang mampu memengaruhi orang lain, yang kita kenal dengan sebutan influencer. Para influencer ini tersebar dalam beberapa platform media sosial. Pada berbagai kesempatan mereka muncul tidak hanya di layar komputer atau smartphone, tapi juga di layar televisi. Cara mereka bekerja cukup sederhana. Kita bisa melihat seorang make-up artist memberikan ulasan terhadap produk kecantikan, atau kita bisa melihat seorang aktor memberikan pendapatnya tentang efektivitas vaksin dalam menangani wabah. Keduanya sama-sama bisa dipercaya publik, tetapi pertanyaannya adalah “pendapat siapa yang lebih akurat?” 

Masyarakat umum tentu bebas dan bisa mengemukakan pendapat mereka terkait suatu isu tertentu. Kebebasan bicara diatur dalam undang-undang. Masyarakat bisa menggunakan pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki sebagai dasar pendapat dan argumentasi. Tidak menutup kemungkinan, selebgram yang sedang memberikan pendapat terkait efektivitas vaksin untuk menangani pandemi memiliki analisis yang tepat. Tetapi, secara bersamaan bisa juga salah. 

Analisa terhadap masalah yang dibuat selebgram di atas mungkin tidak akan selengkap analisa seorang ahli. Seorang ahli, dengan segala sumber pengetahuan yang dimilikinya, bisa mendebat pendapat pakar lain dengan fondasi argumen yang lebih kokoh. Walaupun publik dengan bebas berpendapat, pendapat dari seorang ahli tetap sulit untuk disamakan dengan suara seribu orang yang bukan ahli. 

Matinya kepakaran siapa yang bersalah dan bertanggung jawab?

Salah satu hal yang membedakan pendapat seorang ahli dengan pendapat masyarakat umum adalah setiap pendapat ahli harus diuji dan diperbaharui. Pengetahuan yang ada sekarang adalah pengetahuan yang terbaru, tapi bukan yang terakhir. Orang awam bisa saja memiliki analisa yang benar dan pakar tidak selamanya akan selalu benar.

Memang tidak ada pihak yang suci, semua bertanggung jawab dengan fenomena “ahli internet”. Publik berdosa kepada pakar saat mereka tidak berlaku objektif dan tidak hati-hati dalam menanggapi suatu isu. Misalnya saat orang dengan pengalaman yang masih sedikit merasa dirinya lebih berilmu dari semua orang lain dan mulai rajin berdebat mempertahankan keyakinannya. Mungkin mereka tidak sepenuhnya salah, melainkan hanya korban dari efek Dunning-Kruger. Efek Dunning-Kruger yaitu kecenderungan seseorang orang yang hanya memiliki sedikit pengetahuan atau keterampilan merasa dirinya paling hebat di bidang itu. Bisa juga karena publik “bias konfirmasi” yaitu hanya mau mendengar pendapat yang mendukung argumen mereka dan tidak mau mendengar argumentasi yang bertentangan dengan apa yang telah mereka percaya terlebih dahulu.

Para Ahli juga bersalah kepada publik. Mereka membuat batas dan sekat pemisah, mereka berdiam saja melihat publik berada di dasar jurang. Singkatnya, eksklusivitas pakar membuat mereka jauh dari publik. Hal itu juga yang membenarkan kenapa orang awam bisa mendapatkan popularitas dan menjadi influencer di masyarakatBahasa kaku dan istilah yang tidak familiar yang sering kali digunakan pakar saat berargumen hanya memperlebar jarak tersebut.

Sering terjadi pula “pembunuhan” antara pakar yang satu dengan pakar yang lain. Pakar yang menolak kritik adalah sumber permasalahan yang cukup besar dalam dunia keilmuan. Biasanya, mereka akan mencari alasan bahwa penyampaian kritik harus bersamaan dengan saran. Akan tetapi, kritik sendiri merupakan sebuah usaha mencari solusi. Saat seorang pakar menolak kritik, mungkin pakar tersebut sudah mengetahui dimana kesalahannya. Akan tetapi, pakar tersebut tidak bisa memperbaiki atau rasa malu untuk mengakui kalau dia salah. Bisa jadi egonya terlalu besar atau memang dia merupakan individu yang tidak mau pendapatnya dianggap tidak sempurna.

Jadi, seharusya para ahli taruh dulu karya tulis scopus-nya, dan mulailah ikut berbicara hal-hal yang lagi viral di media sosial. Berikan pandangan yang tajam, ilmiah, akurat, tetapi tetap dengan gaya kekinian para warga net yang tak sudi mendengar istilah-istilah sekolahan yang berat.

Memang untuk berbincang ala warung kopi lewat tulisan-tulisan di media sosial juga tidak gampang. Ada tekniknya, paling tidak kita bisa menulis dengan cair, licin, lincah, dan membuat orang terus menyimak tulisan Anda.

Referensi

Tom Nichols. The Death of Expertise: The Campaign Against Established Knowledge and Why It Matters. Oxford University Press. 2017.

https://www.bbc.com/news/av/world-us-canada-46057126

https://www.beritasatu.com/dunia/428254/bos-cnn-sindir-fox-news-sebagai-tv-pemerintah

https://www.chess.com/players/levy-rozman

https://tirto.id/hasil-catur-dewa-kipas-hari-ini-mengenal-situs-situs-chess-online-gboE

https://tekno.tempo.co/read/1023147/dijuluki-penerus-habibie-kebohongan-dwi-hartanto-terbongkar

https://www.tempo.co/abc/3985/kasus-bullying-audrey-pelaku-juga-korban

https://nasional.kompas.com/read/2020/08/03/10563471/idi-hadi-pranoto-bukan-anggota-idi

https://en.wikipedia.org/wiki/Levy_Rozman