Warganet Indonesia selalu disajikan dengan banyaknya kabar maupun berita bohong (hoax) yang bertujuan untuk adu domba. Berita bohong tersebut disebar dengan cepat melalui sosial media. Selain karena rendahnya rasionalitas dan tanpa melakukan verifikasi dari sudut pandang yang berbeda, publik Indonesia sendiri ikut serta dalam menyebarkan berita bohong. Masyarakat merasa informasi yang mereka terima sesuai dengan pendapat dan keyakinan yang mereka anggap benar.

Penyebaran berita bohong di Indonesia

Berdasarkan data Kemenkominfo yang diterbitkan tahun 2016, terungkap bahwa ada sekitar 800.000 situs web di Indonesia yang telah terindikasi sebagai situs yang sering menyebarkan berita bohong (hoax) dan ujaran kebencian. Direktur informasi dan komunikasi Badan InteleJen Negara (BIN) Wawan Purwanto mengatakan bahwa 60 persen konten media sosial di Indonesia adalah informasi bohong atau hoax (Kompas, 2018). Tercatat dalam data Laporan DailySocial: Distribusi Hoax di Media Sosial 2018, informasi hoax di media sosial paling banyak ditemukan di Facebook sebesar 82,25% dari keseluruhan konten, WhatsApp (56,55%), dan Instagram (29,48%). Dari 2.032 responden yang terlibat, sebesar 44,19% responden tidak yakin memiliki kemampuan dalam mendeteksi berita bohong. Sementara hasil lain dari survey ini, terdapat 51,03%, memilih untuk berdiam diri dan tidak percaya ketika menemukan berita bohong.

konfimaasi bias

Gunawan & Ratmono (2018) mengatakan bahwa akibat informasi bohong yang disebarkan luaskan dapat mengganggu ketertiban dan keamanan dalam masyarakat. Bukan kekacauan di dunia maya saja, akibat berita bohong kekacauan dapat terjadi di kehidupan nyata juga. Bahkan akibat dari penyebaran hoax bisa mengancam keutuhan bangsa, dan mengganggu stabilitas keamanan nasional.

Berita bohong akan mengakibatkan pandangan negatif dan fitnah. Penyebar berita bohong bisa saja membuat orang menjadi terancam dan dapat merugikan pihak yang diberitakan sehingga dapat merusak reputasi serta menimbulkan kerugian materi dan sebagainya. Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku berbohong tersebut diantaranya disebabkan oleh bias konfirmasi yaitu cenderung mendukung opini sendiri, mengabaikan informasi yang benar, dan tidak suka mendengarkan pendapat orang lain yang bertolak belakang dengan pandangannya. Bias konfirmasi dalam diri seseorang membuat seseorang yang bersangkutan cenderung memilih dan menaruh perhatian lebih pada informasi yang mendukung opini mereka, sementara itu mereka mengabaikan informasi yang bertentangan dengan opini mereka.

Pengertian dan faktor yang mempengaruhi perilaku berbohong

Menurut Morissan (2013) perilaku berbohong adalah manipulasi sengaja terhadap sebuah informasi. Perilaku berbohong bertujuan untuk mengarahkan orang lain pada kepercayaan atau kesimpulan yang salah. Berbohong adalah tindakan yang berbahaya dan dan memiliki efek yang berantai. Artinya dalam setiap waktu, hampir dipastikan selalu saja ada orang yang melakukan kebohongan, baik dengan tidak sengaja atau disengaja.

Kebohongan adalah tindakan menceritakan sesuatu, namun tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya, baik hal itu disengaja ataupun tidak. Kebohongan merupakan perbuatan yang sangat potensial dilakukan oleh semua manusia, oleh sebab kebohongan itu sendiri memiliki bentuk-bentuk dan pengertian yang bermacam-macam.

Peterson (1995) mendefinisikan kebohongan sebagai sebuah aksi, perkataan, tindakan, ekspresi tanpa pemberitahuan sebelumnya yang bertujuan untuk mengubah pendirian seseorang agar menjadi percaya. Ekman (2009) mendefinisikan kebohongan sebagai kondisi ketika sesorang berniat untuk menyesatkan orang lain dengan sengaja tanpa pemberitahuan terlebih dahulu dan tanpa diminta secara eksplisit oleh targetnya untuk melakukan hal tersebut.

Sedikitnya ada tiga faktor utama yang menyebabkan seseorang menyebarkan informasi bohong. Beberapa faktor tersebut antara lain:

Faktor kepribadian, mythomania atau Pseudologia fantastica

Ada sebagian orang yang memiliki kepribadian sebagai pembohong. Faktor ini juga tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi dipengaruhi oleh hal-hal lain, seperti keluarga, kehidupan masa kecil dan trauma yang tidak terlupakan. Individu yang biasa berbohong, biasanya sangat pintar membuat cerita fiksi. Cerita fiksi berguna sebagai salah satu alat untuk memuluskan kebohongannya.

Orang yang sering melakukan kebohongan tanpa alasan dan tujuan yang jelas adalah pengidap mythomania atau Pseudologia fantastica. Penderita mythomania cenderung dan memiliki keinginan yang sangat kuat untuk menceritakan suatu kebohongan. Biasanya, penderita mythomania tidak bisa mengendalikan kondisi yang dialaminya. Kebiasaan berdusta pada penderita mythomania sulit dihentikan, sekalipun penderita ingin mengakhirinya. Kebohongan yang mereka utarakan lewat cerita, dilakukan hanya sekedar untuk mendapatkan perhatian dari orang-orang di sekitarnya.

Ada juga orang yang memiliki kepribadian normal, tapi cenderung lebih mudah berbohong. Orang-orang yang cenderung melakukan kebohongan biasanya disebut sebagai sosok dengan kepribadian manipulatif atau sosok yang lebih suka memanipulasi segala sesuatu. Tidak hanya itu, mereka juga lebih memperhatikan penampilan diri, baik secara psikis maupun fisik, serta lebih mudah melakukan interaksi sosial dengan orang lain. Kebiasaan seperti itu dilakukan sebagai cara untuk agar upaya kebohongannya menjadi lancar.

Faktor sosial, alasan orang berbohong

Kebohongan yang diakibatkan karena faktor sosial dapat terjadi pada setiap orang. Terdapat keadaan dimana bisa membuat seseorang harus berbohong. Kebohongan yang dilakukan sebenarnya merupakan reaksi atas masalah-masalah sosial di lingkungan, sehingga membuat orang tersebut harus berbohong.

Merasa tidak nyaman namun tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkan perasaan, juga bisa membuat seseorang berbohong. Beberapa kali kita berbohong supaya ada bahan perbincangan saat bertemu dengan teman baik. Maksudnya, kita terpaksa berbohong tentang keadaan kita yang kurang baik pada teman tersebut. Biasanya cara ini dilakukan sebagai pembuka pembicaraan agar teman dekat kita tidak canggung untuk mengatakan isi hatinya.

Tidak jarang orangtua mengatakan hal yang tidak benar hanya untuk menguatkan mental anak mereka. Contohnya, seorang ibu atau ayah akan mengatakan bahwa anaknya adalah yang paling ganteng atau paling cantik walaupun bisa saja tidak sesuai dengan fakta. Bagi orang tua, anak adalah segalanya. Baik itu gemuk, kurus, pendek, atau tinggi, anaknya adalah yang terbaik. Dengan cara ini, sang anak akan menjadi orang yang percaya diri dan kuat ketika ada pengaruh negatif dari luar.

Dalam kebutuhan sosial orang sering melakukan kebohongan. Banyak orang menyerah pada keadaan dan menceritakan kebohongan mengenai diri mereka sendiri hanya untuk terlihat lebih baik. Biasanya ini di lakukan oleh orang yang memiliki martabat dan pamor yang tinggi.

Faktor manfaat ketika berbohong

Seseorang bisa berbohong jika mendapat manfaat yang didapat dengan melakukan kebohongan. Dengan demikian, bagi pelaku kebohongan, berbohong bisa dijadikan sebagai alat agar mendapatkan sesuatu yang berguna bagi diri atau kelompoknya.

Faktor manfaat berarti selama ada keuntungan yang bisa dia miliki, maka kemungkinan berbohong sangat besar untuk dilakukan. Hal ini banyak dilakukan pada seseorang yang bias konfirmasi dimana dalam sebuah riset bertajuk The Spreading Of Misinformation Online yang dijelaskan oleh Walter Quattrociocchi (Washington Post, 2016) bahwa bias konfirmasi pemicu informasi sesat (hoax). Dimana ketika seseorang bias konfirmasi, individu tersebut cenderung menyukai dan akan membagikannya sesuatu yang “membenarkan” pendapat mereka. Ini adalah tindakan alami dan manusiawi, meskipun juga tidak dibenarkan.

Manusia umumnya berbohong sebagai bentuk pertahanan diri untuk menghindar dari masalah. Berbohong adalah salah satu mekanisme pertahanan diri atau self defence ketika merasa terancam. Argumen ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan psikolog Bella DePaolo, seperti dilaporkan Psychology Today. DePaolo menanyai 147 partisipan untuk membuat catatan harian tentang kebohongan mereka selama satu pekan. Hasilnya, dia mendapatkan rata-rata seseorang berdusta satu atau dua kali dalam sehari dan itu diperbuat buat melindungi diri atau menyembunyikan kekurangan.

Kebohongan juga bisa dilakukan dengan tujuan untuk melindungi orang lain. Contohnya, saat orang lain bertanya apakah dia tampak cantik atau jelek. Sebagian besar orang akan menjawab pertanyaan itu dengan berbohong agar menyenangkan hati orang yang bertanya. Seseorang memilih untuk melakukan suatu “kebohongan baik” supaya orang lain terlihat baik, terhindar dari hukuman, rasa malu, atau kesedihan.

Alasan lain kenapa orang berbohong supaya orang yang dibohongi mau mengikuti apa yang dia katakan. Berbohong seperti ini banyak kali dilakukan oleh seorang sales atau marketer. Contohnya, seorang yang bekerja sebagai marketing klinik kecantikan akan berbohong secara halus agar kita membeli produknya, dia akan mengatakan jika jerawat yang ada di wajah akan hilang karena sabun pembersih yang dijualnya.

Macam-macam Kebohongan

Menurut Buller dan Burgoon (2013) kebohongan dapat dibedakan menjadi:

  1. Falsification atau memalsukan yaitu seseorang memberikan keterangan palsu dengan membuat cerita atau fiksi yang berbeda yang tidak sesuai dengan fakta.
  2. Concealment atau penyembunyian. Dalam hal ini, seseorang tidak mengemukakan keseluruhan fakta atau menyembunyikan sebagian fakta.
  3. Equivocation atau pengaburan. Seseorang secara sengaja membuat kabur atau samar-samar pernyataan sendiri sehingga timbul ketidakjelasan.
Baca Juga:  Pengertian Denial Dan Penyebab Manusia Denial

Pengertian bias konfirmasi (confirmasi bias) dan pertanda bias konfirmasi

Menurut Blount (2017) bias konfirmasi adalah kecenderungan untuk membentuk keyakinannya dan mencari informasi yang hanya menguatkan pendiriannya, serta mengabaikan bukti lain yang bertolak belakang dengan keyakinannya. Bias konfirmasi (confirmation bias) yaitu kecenderungan manusia untuk memahami informasi yang baru diketahui agar selaras dengan teori dan kepercayaan yang sudah ada. Dengan kata lain, kita akan menolak semua informasi baru yang bertentangan dengan apa yang sudah dipercaya.

Secara sederhana bias konfirmasi (confirmation bias) adalah bias keputusan yang bermula karena seseorang cenderung mencari bukti untuk mengkonfirmasi apa yang telah dia yakini. Individu yang bias konfirmasi cenderung untuk memperhatikan informasi yang mendukung hal-hal yang dipercaya benar dan tak menghiraukan ataupun memungkiri hal-hal yang menyanggah kepercayaan tersebut. Bias konfirmasi mengarahkan seseorang untuk menerima atau menolak kebenaran sebuah klaim, bukan atas dasar kekuatan argumen untuk mendukung klaim itu sendiri, melainkan karena besarnya korespondensi klaim dengan gagasan yang telah terbentuk sebelumnya.

Hasil penelitian dengan judul The Spreading of Misinformation Online (Washington Post, 2014) menyatakan bahwa bias konfirmasi bukan hanya mempersempit pola pikir tetapi juga dapat memicu penyebaran berita bohong. Ketika seseorang bias konfirmasi maka akan cenderung terus mencari informasi yang mengonfirmasi kepercayaannya. Sementara di sisi lain, orang tersebut menutup mata akan adanya informasi lain, dimana informasi tersebut bertentangan dengan keyakinannya. Bias konfirmasi membuat seseorang lebih mudah untuk mengingat informasi baru yang mendukung apa yang mereka percayai selama ini secara tanpa sadar. Pribadi yang bias konfirmasi secara cepat akan melupakan dan tidak peduli informasi ataupun fakta baru yang menyanggah kepercayaan itu. Karena orang bias konfirmasi telah memiliki kepercayaan sebelum mendapat informasi baru, orang itu tidak akan mudah menerima informasi lain yang berbeda dengan pandangannya walaupun informasi tersebut benar. Individu yang bias konfirmasi cenderung membela dan mempertahankan kepercayaan yang telah mereka miliki dan membagikannya pada orang lain meskipun hal itu merupakan kebohongan.

It is the peculiar and perpetual error of the human understanding to be more moved and excited by affirmatives than by negatives.

Francis Bacon

Bias konfirmasi membuat orang mengabaikan dan menyembunyikan fakta-fakta atau argumentasi yang berlawanan dengan keyakinannya. Dengan demikian dapat dikatakan seseorang telah melakukan kebohongan dengan menyembunyikan fakta-fakta hanya karena tidak sependapat dengan argumentasinya. Argumen bahwa opini kita adalah hasil dari analisa rasional dan obyektif adalah sebuah kesalahpahaman. Faktanya opini adalah hasil dari pengolahan informasi dan mengkonfirmasikan apa yang sudah kita percayai. Opini tidak menghindahkan informasi lain yang menolak apa yang telah kita percaya sebelumnya.

Bias konfirmasi menyebabkan seseorang lebih suka mendengar anggapan atau pendapat yang hanya searah dan tidak bertentangan dengan gagasannya. Akhirnya hanya akan lebih mempertimbangkan informasi yang hanya sesuai dengan pendapat pribadi. Ketika dihadapkan dengan fakta dan bukti yang bertentangan dengan apa yang mereka inginkan, orang bias konfirmasi akan secara aktif menolak bukti dan fakta yang bertentangan dengan keinginannya. Tindakan seperti itu hanya akan menghalangi kemampuan seseorang untuk menemukan kebenaran. Orang yang bias konfirmasi hanya akan memilah dan membagikan informasi yang mereka suka saja, walaupun informasi tersebut merupakan kebohongan dan tanpa bukti.

Mengapa manusia cenderung bias konfirmasi (confirmation bias)?

Manusia lebih peduli dan mudah untuk mengingat informasi baru yang mendukung apa yang kita yakini selama ini dan secara tanpa sadar dengan cepat melupakan informasi ataupun fakta baru yang menyanggah kepercayaan tersebut.

Contohnya stereotipe yang ada di sejumlah komunitas seperti: orang Batak itu pasti pandai menyanyi dan merdu suaranya. Ketika kita bertemu dengan teman orang Batak yang memang jago bernyanyi dan merdu suaranya, kita akan memasukkan teman kita sebagai satu contoh yang mengkonfirmasikan stereotipe yang sudah kita percayai sebelumnya.

Sebaliknya, jika kita bertemu dengan orang Batak yang memang tidak pandai menyanyi, kita akan cenderung untuk melupakan dari keturunan mana dia dilahirkan. Pada kenyataannya tidak semua orang Batak itu suka dan pandai menyanyi. Stereotipe, apalagi yang berdasarkan suku, ras dan agama, tidak ada yang mutlak kebenarannya. Stereotip cenderung penyimpulkan sesuatu yang terlalu luas dan tentu saja kurang akurat, bahkan malah tidak ada dasar ilmiah yang mendukung stereotipe tersebut.

Most likely reason for the excessive influence of confirmatory information is that it is easier to deal with cognitively.

Thomas Gilovich – How We Know What Isn’t So: The Fallibility of Human Reason in Every Day Life (1993), 

Bias konfirmasi sering terbentuk jika seorang memiliki gagasan dan mengharapkan gagasan tersebut agar segera terwujud. Manusia akan berhenti untuk mencari fakta ketika informasi yang didapatkan bertentangan.  Seseorang akan menjadi sangat yakin atas pandangan atau gagasan mereka karena begitu banyak alasan dan informasi yang membenarkan pandangan tersebut. Walaupun informasi tersebut telah tidak berdasarkan kebenaran dan telah disaring sebelumnya, hanya informasi yang mereka sukalah yang dianggap benar.  Bias konfirmasi sangat berbahaya ketika keyakinan ini menjadi suatu dasar untuk pengambilan keputusan dan juga bisa membuat orang untuk sangat berlebihan menanggapi suatu informasi.

Sebagai contoh komunitas yang percaya bahwa bumi ini datar, jika kita masuk ke komunitas kelompok mereka, maka kita akan mendapat segudang informasi yang pada akhirnya hanya ingin mengkonfirmasi bahwa bumi itu datar.  Mereka akan menolak segala bukti dan informasi yang bertentangan, foto-foto yang diambil oleh NASA pun dianggap sebagai kebohongan dan konspirasi belaka.

Mungkin yang membuat bias konfirmasi karena manusia ingin terlihat benar dan terbukti benar.  Seorang yang berpendidikan seharusnya benar-benar terbebas dari bias konfirmasi, bahkan seorang peneliti harus memulai dengan selalu mencari antitesa dari tesisnya. Seorang ilmuan harus selalu menantang jika ada kemungkinan lain yang bisa membantah keyakinannya.

Pengaruh Bias Konfirmasi Terhadap Perilaku Berbohong

Perilaku berbohong dipengaruhi oleh bias konfirmasi. Jika kecenderungan bias konfirmasi terlibat dalam membuktikan sesuatu hal, tentu akan menghambat proses pencarian bukti dan fakta yang sebenarnya. Dimana seseorang akan memilih berbohong dengan mengatakan sesuatu yang berlainan atau berlawanan dengan yang terasa di dalam hati, ketika mencari informasi yang memperkuat dugaannya, adakalanya terdapat proses mencampur adukkan antara yang benar dengan kebohongan. Bias Konfirmasi menyebabkan seseorang memilih berada setengah realitas dan kemudian dipertahankan. Bias konfirmasi membuat seseorang merasa berhak untuk selalu benar, dan perasaan tersebut tidak didasarkan pada penilaian yang rasional dari fakta dan kebenaran (Myrvang, 2017).

Bias konfirmasi ini pada umumnya akan terjadi ketika seseorang sudah memiliki suatu pandangan atau opini yang dipercaya benar. Selanjutnya orang tersebut akan mencari informasi yang bersifat membenarkan atau mengkonfirmasikan opininya dan menolak atau mengabaikan informasi lain yang tidak sesuai dengan pendapatnya. Pribadi yang bias konfirmasi akan berhenti mengumpulkan informasi lanjutan jika merasa informasi yang telah dia peroleh sudah bisa membuktikan bahwa opini atau dugaannya adalah benar.

Fenomena echo chamber memperburuk bias konfirmasi dan penyebaran hoax

Bias konfirmasi semakin diperburuk dengan timbulnya fenomena “echo chamber“, yang diakibatkan oleh penetrasi media sosial yang semakin meluas di masyarakat. “Echo chamber” adalah istilah yang banyak digunakan untuk menggambarkan suatu keadaan dimana satu atau beberapa asumsi atau pendapat diperkuat melalui pengulangan dalam sistem yang tertutup. Keadaan echo chamber tidak memungkinkan pergerakan asumsi atau pendapat alternatif yang berlawanan dari asumsi atau pendapat yang sudah ada. Dalam suatu echo chamber, ada implikasi bahwa suatu pandangan bisa dianggap benar karena adanya ketidakadilan dalam pengumpulan informasi.

Fenomena echo chamber berkaitan erat dengan penggunaan media sosial. Orang akan memilih informasi yang dapat diketahui isinya secara cepat dan bisa memenuhi selera hatinya. Informasi verbal yang bentuknya monoton apalagi mengandung hal-hal yang tidak disukai akan ditinggalkan. Sikap pengguna media sosial macam ini ironisnya diakomodir platform media sosial. Media sosial dengan algoritmanya akan menghadirkan informasi yang memenuhi selera pengguna media sosial tersebut. Algoritma media sosial akan mendeteksi riwayat digital penggunanya, lalu menyediakan sekaligus memilah segala informasi yang akan ditampilkan kepada pengguna tersebut.

Saat pengguna media sosial masuk pada “ruang” yang diisi dengan apa yang disukainya saja, maka sebenarnya mereka itu telah terjebak dalam “ruangan”, fenomena ini disebut dengan “Echo-Chamber”. Artinya yang dibaca, dilihat dan didengar di ruang itu hanya informasi yang sesuai selera saja. Akibatnya akan mempersempit sumber berita dan membuat mereka hanya terekspos pada berita yang hanya membenarkan pandangan atau keyakinan mereka. Pengguna media sosial akan mendengar beragam suara, namun semua itu memiliki substansi yang sama.

Baca Juga:  Pengertian Efek Dunning-Kruger, Orang Sok Pintar yang Merasa Tahu Segalanya

Di satu sisi, situasi ini membuat pengguna media sosial senang (ectasy), tetapi di sisi lain, bila dibiarkan terus menerus maka akan menumpulkan kekritisan pengguna media sosial itu sendiri. Pengguna media sosial akan sukar membedakan antara mana yang benar dan salah, karena semuanya seragam. Puncaknya pengguna media sosial hanya akan mengejar pemuasan selera informasi saja. Pengguna media sosial akan menerima semua informasi selama sesuai seleranya, terlepas informasi tersebut palsu, mengandung kebencian, sesat logika, propaganda berlebihan, provokatif, dan mengandung kekerasan.

Penelitian yang dilakukan oleh PNAS (Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America) berkaitan dengan fenomena ini menemukan bahwa pengguna media sosial memiliki fokus yang kuat hanya pada kategori informasi dan berita yang menarik selera mereka. Pengguna media sosial memiliki kecenderungan untuk membentuk komunitas yang kokoh. Komunitas media sosial berkaitan erat dengan sumber informasi yang mereka sukai dan juga beranggotakan orang-orang yang sependapat dengan mereka, tanpa terbatas jarak geografi diantara mereka. Sebagai contoh, salah satu media sosial yang populer yaitu Facebook, memiliki pengguna yang pada umumnya hanya mengakses sedikit sumber berita dan informasi di laman Facebook. Perilaku ini menyebabkan berita yang diperoleh oleh pengguna Facebook didominasi oleh paparan informasi yang terbatas dan cenderung bersifat memperkuat opini yang sudah terbentuk sebelumnya.    

Perbedaan pendapat di kalangan masyarakat adalah sesuatu yang wajar dan tidak bisa dihindari, akan tetapi pembenaran terhadap suatu opini yang berdasarkan pada sesuatu yang tidak benar, terkadang bisa menjadi sesuatu yang berbahaya bagi kesejahteraan masyarakat bersama. Contoh yang paling jelas pada kasus bias konfirmasi yang berdampak buruk yaitu timbulnya gerakan dan kelompok antivaksin di Indonesia. 

Bias konfirmasi mempengaruhi cara kita mengumpulkan dan mengolah informasi. Bias konfirmasi juga mempengaruhi cara kita menafsirkan dan mengingat informasi. Misalnya, orang yang mendukung atau menentang masalah tertentu tidak hanya mencari informasi untuk mendukungnya, mereka juga akan menafsirkan berita dengan cara yang menjunjung tinggi gagasan mereka yang ada. Mereka juga akan mengingat detail dengan tujuan untuk memperkuat gagasan mereka.

Ketika seseorang mempertahankan sebuah pendapat yang belum lengkap dan selalu merasa benar, tentu hal itu akan menjerumuskan individu tersebut pada sikap perilaku berbohong. Pribadi tersebut selalu menentang pendapat lain yang selalu bertentangan dengannya. Salah satu cara seseorang melakukan kebohongan yaitu dengan melebih-lebihkan informasi. Padahal sebuah informasi yang tidak didasari dengan fakta dan kebenaran, semua itu hanyalah sebuah omong kosong dan kebohongan.

Bias konfirmasi menyebabkan orang pecaya teori konspirasi

Salah satu hal yang dasyat dan ramai dibicarakan publik kita saat terjadi pandemi Covid-19 ini adalah “Teori Konspirasi tentang Covid-19”. Terdapat beberapa teori konspirasi tentang Covid-19, yang pertama yaitu, virus Corona dipercaya merupakan senjata biologis dari Wuhan, China. Virus Corona sengaja dilepaskan dari laboratorium dengan tujuan menyerang negara lain. Teori konspirasi yang lain menyatakan bahwa virus Corona juga bisa menyebar lewat jaringan 5G. Akibat termakan hoax, di Inggris, orang merusak beberapa tower 5G.

Teori konspirasi selalu menemukan celah dalam pikiran manusia. Ada konspirasi yang terungkap, ada pula yang tidak. Yang paling bermasalah adalah ketika sebuah konspirasi tak bisa dibuktikan, tapi tetap diyakini dan disebarkan sebagian orang sebagai kebenaran. Pertanyaannya adalah kenapa sebagian orang menyukai dan bahkan percaya teori-teori konspirasi?

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia kata konspirasi memiliki arti persekongkolan klompotan orang dalam merencanakan sebuah kejahatan yang dilakukan dengan sangat rahasi dan sistematis. Kamus Cambridge mengartikan konspirasi sebagai “aktivitas bersama orang lain untuk secara terselubung untuk merencanakan sesuatu yang jahat atau kriminal. Konspirasi bisa dilakukan oleh siapa saja. Bukan hanya pejabat negara, semua orang bisa berkonspirasi, misalnya untuk menggulingkan pemerintahan, mengubah kehidupan masyarakat, atau mengarahkan pemerintahan sesuai ideologi kelompok yang bersangkutan. Karena konspirasi bersifat yang mulus dan rahasia, maka sulit untuk membuktikan suatu konspirasi dan hanya berujung angin lalu. Ketidakmampuan mengungkapkan konspirasi inilah yang disebut sebagai teori konspirasi.

Menurut Oxford English Dictionary, teori konspirasi diartikan sebagai “sebuah teori yang menjelaskan bahwa peristiwa atau fenomena yang timbul sebagai hasil konspirasi antara kelompok-kelompok yang berkepentingan, dan adanya suatu organisasi yang bertanggungjawab atas kejadian yang tak bisa dijelaskan.” Teori konspirasi umumnya berkembang dalam situasi sosial, ekonomi dan politik yang serba tidak pasti, seperti pandemi, perang, kudeta, krisis ekonomi, bencana alam. Tak heran jika ada teori konspirasi muncul pada saat pandemi COVID-19.

Studi Karen M. Douglas, Aleksandra Gichocka, dan Robbie M. Sutton berjudul “The Psychology of Conspiracy Theories”, menemukan bahwa teori konspirasi lazimnya berusaha menerangkan tindakan-tindakan yang dirahasiakan dari publik. Cerita dalam teori konspirasi juga berdasarkan aktor tunggal yang biasanya digambarkan selalu berhasil mencapai tujuan-tujuannya.

Pemuja teori konspirasi terus menerus memposisikan diri sebagai korban. Jika ceritanya dibantah, maka mereka akan menuding ada persekongkolan yang sistematis. Jika mereka melanggar hukum dan diamankan polisi, maka mereka akan mengatakan bahwa telah dikriminalisasi. Jika perangkat teknologi yang digunakan terjadi kesalahan, mereka akan menuding terjadinya pembajakan dan penyadapan. Mereka juga akan membela diri bahwa dengan menyebarkan teori tersebut, mereka sedang melawan kekuatan lebih besar sehingga pasti akan dimusuhi. Dari pandangan pecinta teori konspirasi, orang yang berusaha menentang teori konspirasi meruupakan bagian dari konspirator itu sendiri atau, sebaliknya, korban propaganda para konspirator.

Setelah kita ketahui definisi teori konspirasi, maka kita kembali ke pertanyaan awal mengapa teori konspirasi ini disukai dan bahkan punya kecenderungan untuk dipercayai oleh sebagian orang, meski tidak ditemukan data dan fakta sebagai pembuktian pengetahuannya. Mari kita lihat dari sudut pandang psikologi.

Bias konfirmasi menyebabkan sebagian orang cenderung percaya pada hal-hal yang dipercaya oleh lingkungan sekitarnya, atau komunitas-komunitas yang diikutinya. Orang yang bias konfirmasi, akan menghilangkan sikap kritis terhadap berita atau informasi yang berada di sekitarnya. Padahal di jaman digital sekrang, dengan maraknya berita bohong (hoax), bukan hanya pemikiran kritis yang diperlukan, tetapi juga sikap skeptis, yaitu agar tidak langsung mempercayai informasi yang baru kita dapat, sebelum kita bisa membutktikan secara empiris dan sesuai akal sehat.

Kebutuhan kita akan struktur dan kemampuan mengenali pola-pola bisa agak overactive, menimbulkan kecenderungan untuk menangkap pola-pola. Pola tersebut bisa seperti konstelasi, awan yang terlihat seperti anjing ataupun pendapat bahwa vaksin yang bisa menyebabkan autisme. Pada kenyataannya sama sekali tidak ada.

Foto awan yang mirip anjing

Kemampuan melihat pola-pola, merupakan keunikan genetik manusia untuk kelangsungan hidup. Kemampuan melihat pola tersebut berguna bagi nenek moyang manusia. Manusia lebih baik melakukan kesalahan menangkap tanda-tanda adanya predator walaupun predator tersebut tidak ada, daripada mengabaikan tanda-tanda adanya predator. Namun, jika kita mencoba terapkan kecenderungan yang sama itu di dunia maya yang kaya akan informasi, yang akan kita polakan adalah kaitan yang sebenarnya tidak ada antara sebab dan akibat, kita bisa mengganggap adanya konspirasi di mana-mana.

Sebagian orang akan langsung percaya dengan perkataan atau memberi informasi mempunyai pandangan politik yang sama. Seorang tokoh atau pejabat yang dikagumi lebih gampang meyakinkan orang. Fenomena ini juga bisa terjadi pada berita dari televise-televisi, biasanya orang akan menonton berita-berita yang disiarkan oleh stasiun televisi yang disukainya.

Alasan lain mengapa manusia gampang percaya teori konspirasi adalah karena manusia adalah hewan sosial. Dari sudut pandang evolusi, status kita dalam masyarakat jauh lebih penting daripada sebuah fakta atau kebenaran. Oleh sebab itu, maka kita senantiasa membandingkan perbuatan dan keyakinan kita dengan teman-teman kita, dan kemudian mengubah perbuatan dan keyakinan kita agar identik dengan teman-teman kita. Ini artinya jika kelompok sosial kita meyakini sesuatu, kita cenderung akan mengikuti keyakinan kelompok kita.

Missalnya ketika kita punya kecenderungan untuk menyukai partai A misalnya, maka apa yang dikatakan oleh politisi-politisi dari partai A tersebut juga kita percaya. Kejadian ini tidak hanya terjadi di Indonesia, akan tetapi di seluruh dunia. Contoh menarik mengenai fakta ini, di Amerika Serikat pernah dilakukan penelitian, jika pembawa acara ramalan cuaca mempunyai afiliasi politik ke partai Republik, maka para penonton dari simpatisan partai Demokrat cenderung untuk tidak mempercayainya, begitu juga sebalikinya. Sesuatu hal yang menggelikan jika kita berfikir dengan nalar yang sehat tanpa terkontaminasi politik. Profesor Chris French, seorang psikolog dari Universitas Goldsmith, London, mengatakan, teori konspirasi dapat dipercaya siapapun, dengan dimensi politik apa saja (kiri, kanan, atau tengah), juga menembus lapisan kelompok sosial mana saja.

Baca Juga:  Fight or Flight, Respon Mekanisme Tubuh Menghadapi Masalah, Stress dan Takut

Ketika Anda mengkaji secara demografi, kepercayaan akan teori konspirasi terjadi pada semua kelompok sosial, tanpa dibatasi gender dan umur. Mau kamu ada di ideologi kiri atau kanan, kamu bisa saja percaya teori konspirasi. Jika kita tidak menyadari bias yang ada di diri kita masing-masing, maka kita bisa saja akan mengambil keputusan yang tidak rasional ataupun yang akan merugikan diri kita. Jika lembaga survey, peneliti, dan wartawan bias konfirmasi maka akan cenderung mencari sumber-sumber informasi yang mendukung apa yang mereka percaya meski belum tentu benar dan mengacuhkan data dan fakta yang menyanggah kebenaran tadi.

Contohnya dalam kehidupan personal, ketika kita sudah merasa tidak cocok lagi dengan pasangan, bosan, ataupun hilang rasa dengan pasangan, kemungkinan besar, kita akan cenderung untuk mencari-cari kesalahan pasangan dan tertarik dengan kebaikan yang terlihat pasangan orang lain. Kebaikan apapun yang sudah ataupun akan diperbuat oleh pasangan kita, kemungkinan besar akan tidak dihiraukan dan lupakan. Kita akan mengatakan, “dia sudah tidak seperti yang dulu…”

Padahal jika kita mau menyadari bias konfirmasi sedang terjadi, bisa saja kitalah yang berubah, bukan pasangan kita. Justru kemungkinan besar, kita dan pasangan berdua memang sama-sama berubah karena manusia memang akan selalu berubah seiring berjalannya waktu.

Cara menghindari bias konfirmasi

Lalu bagaimana cara kita untuk menghindari terjadinya bias konfirmasi di tengah maraknya penggunaan media sosial, di tengah simpang siurnya berita hoax maupun berita media massa yang terkadang cenderung subjektif, informasi hoax yang beredar baik di dunia maya ataupun beredar di grup-grup WhatsApp? Ada beberapa poin berikut yang untuk menghindari peluang terjadinya bias konfirmasi. Sangat mungkin untuk dilakukan dan juga tidak sulit, hanya perlu banyak latihan.

Berlatih berpikir mandiri dalam menentukan informed opinion.

Informed opinion yang maksud adalah opini yang terbentuk dari berbagai informasi dan data yang didapatkan. Bagaimana pola pikir yang independen dalam membentuk sebuah opini? Caranya yaitu kita harus bisa membedakan mana sebuah fakta dengan yang hanya sekedar opini. Setelah itu carilah informasi pembanding untuk menilai kebenaran fakta tersebut dari banyak sumber yang kredibel dan bersifat netral. Kemudian, barulah kita dapat menentukan opini kita berdasarkan fakta dari banyak sumber yang terpercaya.

Apakah kita harus selalu memiliki opini terhadap fakta yang terjadi? Jawabannya adalah tidak. Kita tidak boleh takut untuk tidak memiliki opini terhadap sesuatu hal, apalagi jika informasi yang kita miliki masih kurang. Tidak semua hal dalam hidup dapat dipisah dan dibedakan dalam kelompok hitam atau putih. Banyak kejadian atau masalah yang masih dikategorikan abu-abu. Jika kita belum tahu seluk-belum permasalahan, kita boleh bersikap netral dalam menyikapi masalah tersebut.

Masih bingung? Mari kita gunakan contoh. Misalnya ada dua kalimat berikut ini: Didi mencuri buah pisang di kebun milik tetangga dan Didi orang baik. Mencuri pisang itu fakta karena Didi memang melakukan itu. Tapi kalimat ” Didi orang baik” itu adalah opini. Pembentukan opini harus berdasarkan pada fakta-fakta yang ada.

Misalnya, apa alasan Didi mencuri? Apakah Didi memiliki keluarga yang kelaparan dan sangat butuh makan? Apakah pisang yang dicuri dipakai untuk kesenangan pribadi Didi atau untuk memberi makan keluarganya? Dari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini, setiap orang baru dapat menentukan opini berdasarkan pemikiran dan rasionalitas masing-masing. 

Pada dasarnya moral itu sesuatu yang relatif, baik dan buruk bisa berbeda-beda menurut setiap individu. Sebagian orang mungkin tetap berpikir bahwa Didi orang jahat karena telah mencuri hak orang lain, akan tetapi jika Didi mencuri untuk memberi makan keluarganya yang belum makan selama tiga hari, sebagian orang mungkin akan menganggap Didi orang baik. Perbedaan opini ini bukan sesuatu yang buruk selama opini tersebut dibentuk berdasarkan fakta-fakta yang terjamin kebenarannya (bukan hoax).

Mengevaluasi sumber informasi, mencari bukti atau informasi mengenai pandangan lain yang berlawanan dengan keyakinan kita

Dalam metode penelitian dalam statistika, biasanya digunakan tingkat signifikansi sebesar 5% atau 10%, yang dapat diartikan juga sebagai tingkat kesalahan atau tingkat kekeliruan yang ditolerir oleh peneliti, yang diakibatkan oleh kemungkinan adanya kesalahan dalam pengambilan sampel.

Kesalahan pengambilan sampel ini bisa dianalogikan seperti kesalahan dalam menggunakan fakta yang digunakan untuk membentuk opini. Jadi jika kita memiliki suatu opini, janganlah berpikir bahwa opini kita adalah 100% benar dan opini orang lain yang berlawanan dari opini kita adalah 100% salah.

Ketika menyimpulkan kredibilitas dari suatu informasi yang sensasional, kita harus mengetahui waktu kejadian, relevansi, sumber berita, ketepatan, dan tujuan dari berita tersebut dibuat. Parameter tersebut akan memberikan panduan yang bisa digunakan untuk penilaian jika suatu berita dapat dipercaya.

Pikirkan: kapan waktu yang kita pilih untuk membaca suatu artikel (currency), tanggal diterbitkan (relevance) ), dan maksud penulis (authority). Kita juga harus melihat sumber-sumber informasi yang lain untuk mengkonfirmasi klaim yang terdapat dalam artikel tersebut (accuracy and purpose).

Infografis yang disajikan dalam sebuah artikel mungkin lebih menarik untuk dibaca, tetapi sebagian bisa berisi informasi bohong. Pastikan bahwa kita mencatat bukti-bukti yang mencurigakan. Ketika kita menemukan informasi yang bertentangan dengan keyakinan kita, jangan diabaikan. Sebaliknya, kita cari alasan-alasan mengapa bukti ini barangkali benar. Dengan begitu, opini kita akan terhindar dari bias konfirmasi.

Bertemu dan mengenal orang dari berbagai latar belakang.

Bias konfirmasi juga bisa diakibatkan karena manusia cenderung bersifat lebih homogen, sehingga kita cenderung untuk lebih banyak berinteraksi dengan orang yang juga sependapat dengan kita. Pada kenyataannya berkumpul dengan orang yang sependapat memang lebih menyenangkan, tetapi sesekali cobalah untuk keluar dari zona nyaman tersebut dan berinteraksi lebih banyak dengan orang-orang dengan berbagai latar belakang. Perbedaan latar belakang itu bisa menimbulkan berbagai pandangan yang berbeda dengan opini kita, sehingga pikiran kita dapat lebih terbuka untuk menerima kemungkinan bahwa pendapat kita belum tentu seratus persen benar.

Berani mengakui kesalahan.

Melakukan kesalahan itu adalah sesuatu yang manusiawi. Jangan pernah malu untuk mengakui kesalahan kita. Saat melakukan kesalahan, jangan merasa ‘diserang’ secara personal sehingga menjadi defensif. Selalu terbuka bahwa selalu ada kemungkinan pendapat kitalah yang salah dalam berargumen. Dunia ini dinamis selalu berubah, bisa saja hal-hal yang dulu kita yakini benar sekarang adalah kekeliruan. Banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Jika memang ada hal yang kita percaya sebagai fakta dan mempengaruhi kita dalam pemahaman ternyata salah dikemudian hari, jangan takut untuk mengubah pemahaman kita.

A good diagnostician will test his or her initial hypothesis by searching for evidence against that hypothesis.

Peter O. Gray – Psychology (2011)

Mengakui dan sadar bahwa bias konfirmasi terjadi dalam pemahaman kita adalah langkah pertama untuk mengambil keputusan dengan lebih cermat dan rasional. Jadi, sebelum kita menarik keputusan dan tidak ingin terpengaruh oleh bias konfirmasi, yang perlu kita dilakukan yaitu kebalikan dari yang sebelumnya kita lakukan. Kita harus secara aktif, mencari bukti, data, fakta, dan informasi baru yang justru bertentangan opini/kepercayaan awal kita.

Misalnya, jika kita adalah pendukung dan menyukai presiden Jokowi, kita seharusnya kekurangan dan kelemahan apakah yang ada di sosok Jokowi. Contoh lain misalnya, jika kita jenuh, kebosanan, hilang rasa, dan merasa tidak cocok dengan pasangan, kita seharusnya melihat sisi positif, kebaikan dan kelebihan pasangan keputusan selanjutnya.

Referensi dan bacaan lebih lanjut:

Blount, J. (2017). Sales SQ How Ultra High Performers Leverage Sales Specific Emotional Intelegence to Close The Complex Deal. Jakarta: Gramedia

Ekman, Paul. (2009). Mendeteksi Kebohongan. Yogyakarta: Pustaka Buku

Gunawan, B. & Ratmono. (2018). Kebohongan di Dunia Maya. Jakarta: Gramedia

Morissan. (2013). Psikologi Komunikasi. Bogor: Ghalia Indonesia.

Myrvang, M. (2017). Bullying Confirmation Bias Tunnel Vision. Norway: Ehandbooks

Peter O. Gray – Psychology (2011)

https://www.washingtonpost.com/news/energy-environment/wp/2016/01/04/heres-how-scientific-misinformation-such-as-climate-doubt-spreads-through-social-media/

https://www.verywellmind.com/what-is-a-confirmation-bias-2795024

https://psychology.cornell.edu/thomas-d-gilovich

https://youarenotsosmart.com/2010/06/23/confirmation-bias/

https://psychology.cornell.edu/thomas-d-gilovich

https://kominfo.go.id/content/detail/12008/%20ada-800000-situs-penyebar-hoax-di-indonesia/0/sorotan_media

https://nasional.kompas.com/read/2018/03/15/06475551/bin-60-persen-konten-media-sosial-adalah-informasi-hoaks

https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20200406201105-185-490957/termakan-hoaks-corona-warga-inggris-bakar-tower-seluler-5g