Fhandy Pandey
Energy & GHG Expert
Pengertian Dan Jenis-Jenis Bias Kognitif Sering Terjadi Pada Otak Manusia
Otak manusia mampu melakukan 1016 proses per detik, jauh lebih cepat dari yang bisa dilakukan komputer yang paling modern saat ini. Tapi itu tidak berarti otak kita tidak mempunyai keterbatasan utama. Kalkulator sederhana bisa melakukan perhitungan matematika ribuan kali lebih baik daripada otak manusia manusia, dan memori kita sering kali tidak berguna sama sekali. Manusia cenderung mengalami bias kognitif, gangguan-gangguan dalam proses berpikir hingga menyebabkan kita membuat keputusan yang salah, kemudian menimbulkan pertanyaan dan mengambil kesimpulan-kesimpulan yang kelliru.
Otak kita adalah alat utama yang kita gunakan dalam mengambil keputusan. Otak manusia berfungsi dalam menerima, menilai, dan menginterpretasi informasi. Informasi tersebut bisa kita gunakan sekarang atau simpan untuk masa yang akan datang.
Kognisi, tindakan atau proses berpikir, memungkinkan kita untuk memproses sejumlah besar informasi dengan cepat. Kita mungkin secara sadar memikirkan satu hal spesifik, tetapi yang terjadi adalah otak kita sedang memproses ribuan ide dari alam bawah sadar kita. Sayangnya, kognisi kita tidak sempurna, dan ada beberapa kesalahan penilaian yang cenderung kita buat. Adanya banyak informasi yang terus menerus harus kita terima dan proses, otak kita akan terdorong untuk membuat “jalan pintas” bagi kita dalam berpikir. Dalam pembuatan jalan pintas tersebut, otak kita bisa menemukan eror yang bisa mengganggu kita dalam memproses informasi lain. Eror tersebut bisa disebutkan sebagai bias kognitif.
Dalam ilmu psikologi, kesalahan ini dikenal juga sebagai bias kognitif. Bias kognitif terjadi pada semua orang tanpa memandang usia, jenis kelamin, pendidikan, kecerdasan, atau faktor lainnya. Tidak ada yang patut disalahkan dalam hadirnya bias kognitif dalam pikiran seseorang, karena memang manusia dilahirkan dengan memiliki irasionalitas.
Pengertian bias kognitif
Pengertian Cognitive bias atau bias kognitif adalah bias sistematis dalam pengambilan keputusan yang muncul dari cara orang memproses informasi. Karena masalah atau kejadian tertentu lebih mudah dipahami daripada yang lain, individu cenderung menggunakan kejadian ini sebagai tolok ukur untuk pengambilan keputusan.
Pengertian bias kognitif secara sederhana adalah penyimpangan nalar. Pengertian yang lebih kompleks adalah kesalahan dalam pemikiran, menilai, mengingat maupun proses kognitif lainnya yang sering timbul sebagai buah dari keteguhan akan pilihan atas preferensi/kesukaan serta keyakinan dengan mengesampingkan informasi yang bertentangan atau berbeda. Para psikolog meneliti tentang bias kognitif ini kaitannya dengan daya ingat, pertimbangan dan pengambilan keputusan.
Meskipun bias kognitif ini sering dianggap sama dengan kesalahan logika (logical fallacy), keduanya merupakan hal yang berbeda. Logical fallacy hanyalah salah satu gejala dari bias kognitif.
Logical fallacy disebabkan oleh ketidakmampuan berpikir secara logis atau menyampaikan argumentasi yang logis, sedangkan bias kognitif disebabkan oleh pengaruh emosi, pengaruh motivasi, tekanan sosial, atau bahkan keterbatasan otak dalam memproses informasi.
Apa penyebab kognitif bias
Arti kata bias sendiri bisa kita terjemahkan ke “kecenderungan”. Ada banyak sekali, langsung saya berikan berbagai contohnya kecenderungan yang membuat kita mengambil keputusan.
Cenderung memperhatikan hal-hal yang sudah ada di memori atau yang sering terulang.
Orang cenderung percaya dengan informasi yang pertama kali diterimanya. Karena itu kita akan mempertanyakan informasi kedua dan ketiga ketika dia berbeda dari yang pertama, sebaliknya kita tidak kritis dengan informasi yang pertama.
Sebagai contoh, saat ada info seputar “bumi datar” kita mulai tertarik menggali informasi dan mengkritisi ini, padahal informasi tentang “bumi bulat” pun belum kita buktikan, tapi karena kita sudah lama mendengar hal yang pertama, akhirnya hal-hal baru akan menjadi aneh. Saat ada orang memulai gerakan baru, atau kita mau membuat sesuatu yang berbeda dari yang lain, suara negatif akan muncul untuk tidak mendukungnya, karena ini adalah informasi asing (berbeda dari yang sebelumnya).
Sudah terlanjur investasi
Mengambil contoh sebelumnya, saat isu bumi datar heboh, kita semangat mencari informasi ini, setelah seharian mengkonsumsinya akhirnya kita cenderung setuju dan mengambil keputusan BUMI ITU DATAR. Padahal kita belum pernah secara serius menggali apakah BUMI ITU BULAT seserius bumi datar. Tapi karena kita terlanjur berinvestasi ke salah satu informasi, kita ngga lagi mau menerima kalau informasi yang lainnya benar.
Di saat yang sama karena kita sudah punya suatu pendapat, kita akan menghindari mencari sisi negatif dari pendapat yang kita punya. Misalnya, saat kita setuju “bumi itu datar”, kita tidak akan mencari kelemahan atau kesalahan argumen tersebut, “google search” akan kita gunakan hanya akan mendukung pendapat sebelumnya.
Tidak mencari informasi lain, lebih mudah memperhatikan kesalahan orang lain daripada kesalahan kita sendiri.
Sedikit mirip dengan yang sebelumnya, bedanya ini versi yang lebih pasif. Orang tua baru akan merasa bayinya yang paling imut, dia akan membagikan hampir semua foto tingkah laku bayinnya. Karena kita tidak mencari informasi lain, melihat dari perspektif yang berbeda, kita hanya akan berpendapat pengetahuan kita yang benar.
Kita merasa masalah kita yang paling besar
Kita merasa ide kita yang terbaik.
Cenderung percaya dan mengikuti pendapat mayoritas
Saat sebuah acara selesai dan memasuki sesi tanya jawab, jumlah orang yang tidak mengangkat tangan lebih banyak karena ada magnet, hampir semuanya tidak ada yang berani mulai mengangkat tangan. Berbeda saat pelan-pelan ada satu-dua orang yang berani akhirnya yang lain mulai ikut.
Kita akan dominan pada pendapat mayoritas. Apa yang orang lain, televisi, sosial media dan orang lain bilang akan kita anggap benar, tanpa mengkonfirmasi apakah ini benar-benar hal yang benar atau bukan.
Emosi sesaat
Kita sendiri pun tentu pernah juga menyesali keputusan yang diambil saat kita emosional. Bisa kita bayangkan, betapa membuat keputusan penting yang didasari emosi sesaat (marah, takut, terlalu senang) bisa menjadi salah satu kesalahan terbesar dalam karir dan kehidupan pribadi kita. Padahal bisa jadi kalau kita memberi waktu perasaannya hilang, kita bisa lebih rasional.
Ketidakmampuan kita untuk menempatkan diri kita sendiri dalam keadaan emosi, dengan demikian kita akhirnya membuat keputusan berdasarkan keadaan emosi kita saat ini. Di mana orang meremehkan pengaruh keadaan visceral (misalnya marah, kesakitan, atau lapar) pada perilaku atau preferensi mereka dan melebih-lebihkan pengaruh Intelektual Pengambilan Keputusan.
Dalam beberapa kasus, seseorang yang dalam emosi negatif seperti marah dan sedih cenderung mengambil keputusan dengan gegabah dan tidak berfikir dalam jangka panjang. Sebaliknya, pengambilan keputusan yang disertai oleh emosi positif seperti terlalu senang atau bahagia cenderung membuat janji yang sulit untuk ia lakukan. Hal ini dapat merugikan kita apabila membuat keputusan yang salah karena didasari oleh emosi.
Manusia cenderung mencari pola dan cerita tanpa melihat data
Saat kita melempar dadu sebanyak tiga kali dan selalu angka “3” yang muncul, kita akan percaya bahwa lemparan dadu ke-4 akan menghasilkan angka “3” lagi, padahal probabilitasnya sama sejak awal, selalu 1:6. Saat kita mengerjakan sesuatu beberapa kali berhasil, bagian berikutnya kita akan terlena dan tidak lagi berhati-hati karena akan merasa juga pasti berhasil.
Tergoda hasil instan
Memang hal yang wajar sih, manusia di zaman modern seperti sekarang lebih suka gaya hidup instan akibat sarana dan prasarana yang ada sudah sangat mendukung. Coba lihat, apa yang tersedia di layar kita. Dari layar ini, kita bisa melakukan segalanya, mulai dari memesan makanan, memanggil taksi, bersilaturahmi dengan teman, sampai bepergian secara virtual ke luar negeri. Semuanya ada di genggaman tangan kita saja.
Makan fast food atau tidak ya malam ini? Jika kita memilih berdasarkan hasil instan, maka kita akan mencari mana yang enak, padahal secara rasional, tentu saja makanan sehat yang harusnya kita pilih, tapi ini hanya akan terlihat di jangka panjang, saat itu ada “hawa nafsu” yang memuncak. Akhirnya kita mengambil keputusan yang salah.
Jenis-jenis bias kognitif
Ada lebih dari 50 cognitive bias yang telah ditemukan dalam beragam riset tentang cara manusia berpikir dan mengambil keputusan. Segelintir di antara yang banyak itu memiliki dampak yang luar biasa pada cara manusia membuat keputusan. Berikut beberapa contoh cognitive bias yang terkenal dan sering kita lakukan tanpa kita sadari.
Anchoring Bias (Efek Jangkar)
Juga dikenal sebagai jebakan relativitas, ini adalah kecenderungan di mana kita harus membandingkan dan mengontraskan hal-hal yang terbatas. Ini disebut efek jangkar (anchoring effect) karena kita cenderung terfokus pada sebuah nilai atau angka yang pada gilirannya akan dibandingkan dengan nilai-nilai dan angka-angka yang lain.
Biasanya seseorang akan memercayai suatu informasi yang pertama kali ia dapatkan melebihi informasi lainnya. Contoh gampangnya, ketika kita ingin membeli mobil/motor bekas. Pasti yang yang dilihat pertama kali adalah jumlah kilometer yang telah ditempuh (odometer). Padahal, jumlah odometer bukan parameter utama suatu mobil bekas bagus atau tidak. Tapi dilihat juga mesinnya, terawat atau tidak.
Contoh lainnya, kita menyukai seorang pemimpin dari golongan partai A. Ketika ada seseorang memiliki pendapat yang berbeda, maka seketika kita tidak menyukai orang tersebut. Hal ini kemudian menyeret kita untuk berpikir tidak rasional, sebab kita akan mengabaikan semua informasi tidak menyenangkan yang berkaitan dengan pemimpin yang kita idolakan tersebut, dan bahkan menelan mentah-mentah semua hoaks yang membenarkan dirinya. Dalam kasus ini, saya sedang mengalami bias kognitif yang dikenal dengan efek jangkar atau anchoring effect.
Tidak perlu memandang lebih jauh dalam permasalahan pemimpin, saat kita berbelanja di mall, maka otak akan ‘membodohi’ kita untuk membeli pakaian yang sedang diobral dengan diskon 50%, tertulis dari harga semula Rp. 300.000 menjadi Rp. 150.000. Padahal harga normal pakaian tersebut hanyalah Rp. 100.000. Inilah kelemahan otak kita yang lebih bergantung pada informasi pertama yang diterima.
Barnum effect / Forer effect
Efek barnum atau Efek forer, juga disebut sebagai Efek barnum-forer, adalah suatu fenomena psikologis ketika seseorang akan menganggap penilaian yang sangat akurat terhadap deskripsi kepribadian yang dirancang khusus yang seolah dibuat khusus untuk mereka, padahal deskripsi itu sebenarnya sangat umum sehingga dapat berlaku untuk banyak orang. Efek ini menjelaskan mengapa banyak orang percaya dengan praktik-praktik tidak ilmiah seperti astrologi, ramalan, grafologi, pembacaan aura dan beberapa jenis tes kepribadian.
Fenomena yang terkait dengan efek Forer adalah validasi subjektif. Validasi subjektif terjadi ketika dua peristiwa yang acak dan tidak terkait dianggap berhubungan agar sesuai dengan keyakinan, harapan atau hipotesis seseorang. Contohnya, saat membaca kolom horoskop, pembaca secara aktif mencoba mengaitkan isi horoskop tersebut dengan aspek kepribadian mereka.
Jika ditelusuri lebih jauh, poin-poin dalam tes kepribadian dengan sentuhan Barnum Effect terdiri dari kalimat yang netral. Contohnya seperti: “Anda adalah orang yang supel dan ramah, namun di saat tertentu cenderung menutup diri dan ingin menghabiskan waktu sendirian.” Ini adalah contoh eksperimen Barnum Effect dalam dunia psikologi.
Penjelasan dari Forer sendiri atas teori Barnum effect-nya adalah bahwa ada kaitan erat dengan “human gullibility“, atau sifat manusia yang mudah tertipu. Manusia cenderung menerima klaim yang sesuai dengan keinginan mereka dibandingkan dengan kenyataan yang ada. Dan klaim yang lebih berpeluang untuk mereka terima adalah jika klaim tersebut positif.
Sunk Cost Fallacy
Sunk Cost Fallacy adalah kecenderungan orang untuk terus bertahan dalam kondisi yang buruk walaupun kondisi di masa depan sulit membaik. Hal ini disebabkan karena orang tersebut sudah menginvestasikan uang, tenaga, dan cinta. Kita akhirnya terdorong untuk melanjutkan usaha pada hal yang sebenarnya membuat kita tidak bahagia bahkan lebih buruk. Kejadian ini pasti sering kita temui.
Contoh paling umum Sunk Cost Fallacy adalah pasangan yang menolak putus atau cerai, walaupun berada dalam hubungan yang toxic dan abusive. Biasanya, mereka menolak untuk move on karena merasa sudah menghabiskan banyak waktu dan energi bersama. Hal lain yang menyebabkan pasangan ini menolak untuk pisah karena takut dianggap gagal.
Tentu saja, tidak ada orang yang ingin dicap kalau dia membuat keputusan yang buruk. Egonya yang besar malah membuat dirinya masuk dalam lubang kegelapan yang semakin dalam. Menariknya, semakin lama seseorang berada dalam kondisi yang buruk, maka akan semakin sulit orang itu untuk move on. Bisa saja, alasannya karena orang tersebut sudah menginvestasikan waktu yang begitu lama, jadi berharap keadaan akan membaik, yang tentu saja tidak akan pernah menjadi kenyataan.
Sama halnya, ketika seorang investor menaruh saham pada Perusahaan yang kinerjanya buruk. Investor ini tentu saja berharap agar kinerja Perusahaan itu membaik, padahal kenyataan malah sebaliknya. Walaupun pilihan yang logis adalah cut loss, tapi merasa rugi. Jadi, investor itu tetap bertahan pada Perusahaan yang kondisinya buruk hingga akhirnya Perusahaan itu bangkrut.
Bias Ketersediaan Heuristik atau heuristic availability
Bias Ketersediaan Heuristik atau heuristic availability adalah jenis bias kognitif yang biasanya dilakukan oleh seorang ketika melakukan penalaran dengan memperkirakan atau mengukur suatu informasi dengan berlebihan. Penalaran yang dilakukan dengan mental jalan pintas (mental shortcut) berdasarkan pada informasi yang sering mereka dapat atau yang terakhir mereka dapat dan yang paling mudah dipikirkan untuk segera diambil keputusan.
Biasanya orang hanya percaya secara berlebihan pada informasi yang didapat dari lingkungan sekitarnya saja. Misalnya percaya jika siluman kolor ijo dapat diusir dengan daun kelor. Padahal kolor ijo belum tentu ada. Contoh lain, seorang perokok yang merasa bahwa merokok itu tidak mengganggu kesehatan. Ternyata sang perokok mendapatkan info bahwa mbahnya yang perokok berat baru meninggal pada usia 99 tahun. Padahal sudah jelas jika rokok dapat merusak kesehatan.
Contoh lainnya seseorang yang melihat berita di TV tentang pemecatan atas karyawan yang dilakukan perusahaan. Setelah melihat berita tersebut dia merasa kejadian serupa bisa terjadi segera kepada dirinya, dia mulai tidur tidak nyenyak karena terus memikirkan hal tersebut, dan esoknya dia datang ke kantor dengan perasaan yang tidak enak.
Bandwagon effect atau efek ikut-ikutan
Bandwagon effect atau efek ikut-ikutan adalah kecenderungan individu untuk memperoleh gaya, perilaku, atau sikap tertentu karena semua orang melakukannya. Misalnya di suatu kota sedang ngetren dengan fashion celana dengan resleting setengah terbuka. Karena banyak yang memakai celana tersebut, banyak individu yang terpengaruh dan ikut-ikutan. Contoh lain adalah tren batu akik. Karena banyak yang make akik, individu yang tadinya tidak tertatarik jadi tertarik dengan batu akik.
Meski sering kali tidak kita sadari, kita suka mengikuti arus. Ketika massa mulai memilih seorang pemenang atau seorang yang difavoritkan, ketika itulah otak kita secara individual mulai menutup dan masuk ke dalam sejenis “groupthink” atau hivemind-mentality. Namun hal ini tidak mesti melibatkan kelompok massa yang besar atau seluruh negeri saja. Bandwagon Effect bisa saja terjadi dalam sebuah kelompok-kelompok kecil, seperti keluarga atau bahkan sekelompok kecil pekerja kantor.
Efek bandwagon adalah apa yang sering menyebabkan tingkah laku, norma-norma sosial, dan meme berkembang biak di antara kelompok-kelompok individual, tidak peduli apapun bukti-bukti dan motif-motif pendukungnya. Inilah sebabnya mengapa poling pendapat sering kali menyesatkan, karena poling tersebut bisa mengarahkan pandangan-pandangan individual sesuai arus. Kebanyakan dari bias serupa ini berhubungan dengan hasrat dari dalam diri kita kita untuk menyesuaikan diri dan patuh.
Blind-spot bias
Blind spot bias adalah salah satu bias kognitif yang menganggap bahwa orang lain telah melakukan tindakan/pemikiran bias daripada dirinya sendiri. Jadi blind spot bias adalah satu bias yang menganggap orang lain lebih bias.
Pada satu eksperimen dari 600 penduduk Amerika, lebih dari 85% percaya bahwa mereka sedikit melakukan bias dari kebanyakan orang Amerika lainnya. Hanya satu dari mereka yang beranggapan bahwa dia lebih banyak melakukan bias daripada yang lainnya. Bias model ini kelihatannya sangat relevan dengan kondisi mutakhir di jaman sosial media, satu kubu merasa lebih objektif dibanding dengan kubu disebrangnya, bahwa satu kubu merasa tindakan dan fikirannya didukung dengan pengetahuan dan literatur yang objektif dibandingkan dengan yang lainnya.
Choice-supportive Bias (Post-Purchase Rationalization)
Choice Supportive Bias adalah kecenderungan seseorang untuk memberikan nilai positif pada kepunyaan yang mereka pilih atau yang dimilikinya. Ketika orang memilih sesuatu, orang cenderung memberi nilai positif terhadap pilihannya tersebut. Contohnya, kita telah membeli Smartphone dengan merk tertentu. Kita akan merasa smartphone pilihan tersebut sudah sangat sempurna untuk kita. Padahal smartphone pilihan kita itu bisa jadi memiliki banyak kekurangan.
Ingat waktu kita membeli sesuatu yang sama sekali tidak penting, barang yang cacat, atau kita telah mengeluarkan uang terlalu banyak untuk itu, dan kemudian kita merasionalisasi pembelian tersebut sedemikian rupa hingga kita yakin bahwa itu adalah sebuah ide yang bagus? Ya, itulah yang disebut rasionalisasi pasca-beli sedang beraksi, sejenis mekanisme built-in yang membuat kita merasa lebih baik setelah kita membuat sebuah keputusan yang konyol, khususnya mengenai pengeluaran uang. Juga dikenal sebagai Buyer’s Stockholm Syndrome, ini adalah sebuah cara yang secara tidak sadar membenarkan perbuatan kita membeli sesuatu, khususnya sesutau yang mahal. Para psikolog sosial mengatakan hal ini berasal dari prinsip komitmen, hasrat psikologis kita untuk tetap konsisten dan menghindari keadaan disonansi kognitif.
Clustering Illusion
Clustering Illusion adalah kecenderungan manusia untuk melihat pola dalam suatu kejadian yang acak. Ilusi ini disebabkan oleh kecenderungan manusia untuk meramalkan sesuatu yang berubah-ubah hanya dengan melihat sedikit sampel data yang acak atau semi-acak. Misalnya seorang penjudi yang merasa bisa meprediksi pola-pola yang akan terjadi dalam permainan dadu.
Confirmation Bias atau bias konfirmasi
Confirmation Bias atau bias konfirmasi adalah kecenderungan orang untuk mendukung informasi yang menegaskan keyakinan atau hipotesis mereka. Sebagai contoh, kita suka setuju dengan orang-orang yang sependapat dengan kita. Itulah sebabnya kita hanya mengunjungi website yang mengekspresikan pandangan politik kita, dan mengapa kita cenderung lebih suka bergaul dengan orang-orang yang mempunyai pandangan dan selera yang sama dengan kita. Kita cenderung merasa terganggu oleh individu-individu, kelompok-kelompok, dan sumber-sumber berita yang membuat kita tidak nyaman dan tidak pede tentang pandangan-pandangan kita.
Conservatism Bias
Conservatism Bias terjadi ketika orang lebih percaya theory lama ketimbang theory baru. Contohnya, dulu orang percaya teori jika bumi itu datar. Namun setelah adanya perkembangan sains, ternyata bumi itu bulat. Namun waktu itu tidak semua orang langsung mempercayai teori baru yang menyatakan bahwa bumi itu bulat. Gampangnya, orang yang sudah percaya pada suatu teori akan sulit jika harus menerima teori baru yang bertentangan.
Bias Kelompok (Ingroup Bias)
Intergroup bias sering dikenal dengan istilah ingroup bias atau ingroup favoritism. Ingroup Bias adalah kecenderungan manusia untuk lebih membantu dan memandang lebih positif terhadap anggota kelompok mereka sendiri dibandingkan anggota kelompok luar.
Bias ingroup adalah sebuah manifestasi dari kecenderungan sifat-sifat kesukuan kita. Dan anehnya, kebanyakan dari efek ini boleh jadi berhubungan dengan oxytocin, yang sering disebut “molekul cinta.” Neurotransmitter ini, meski membantu kita untuk memperkuat hubungan dengan orang-orang yang ada dalam ingroup kita, namun bisa menjadi penyebab kerenggangan hubungan kita dengan orang yang berada di luar kelompok kita. Hal ini membuat kita selalu curiga, takut, dan bahkan melecehkan terhadap orang lain. Pada akhirnya, bias ingroup ini bisa membuat kita menilai berlebihan terhadap kemampuan dan nilai-nilai yang ada dalam kelompok kita saja dan mengabaikan orang-orang yang berada di luar kelompok kita.
Contoh bias kelompok ketika orang Indonesia akan menganggap negaranya lebih baik dari Malaysia, dan sebaliknya, orang Malaysia beranggapan negaranya lebih baik dari Indonesia. Ini yang menjelaskan kenapa pendukung Barcelona akan menghina Madrid, dan sebaliknya, Madridistas akan menghujat Barcelona. In-group bias membuat pendukung pilkada saling mengolok-olok meski yang dihina belum tentu lebih baik dari yang menghina.
Survivorship Bias
Survivorship Bias adalah kesalahan logika karena kita hanya fokus pada orang atau benda yang sukses saja dan mengabaikan yang gagal, sehingga kita mengambil kesimpulan yang salah. Kita suka dengan cerita zero to hero, misalnya dari pemain band jalanan kemudian sukses bermusik dan terkenal di seluruh dunia. Cerita sukses ini bagus untuk jadi motivasi kita agar terus berjuang dan berusaha. Tapi, harus diingat, satu orang yang berhasil, bukan berarti sejuta orang lainnya bisa dengan mudah meniru apa yang orang sukses ini lakukan dan mendapatkan hasil yang sama.
Hal yang sering kita tidak perhatikan adalah faktor keberuntungan di dalam hidup orang sukses yang kita kagumi. Bias pikiran ini sering kita lihat dalam investor dan pengusaha. Misalnya, kita lihat ada investor saham sukses seperti Lo Kheng Hong dan dijuluki sebagai Warren Buffet Indonesia. Tidak masalah kalau cerita Pak Lo menginspirasi kita dan membuat kita ingin mencoba menjadi investor saham. Tapi, yang kemudian jadi masalah adalah ketika kita selalu membandingkan progress yang kita lakukan dengan hasil yang telah dicapai oleh Pak Lo. Hal ini jadi berbahaya, ketika kita menduga kesuksesan kisah orang dari zero to hero, bisa dengan mudah kita tiru dan menghasilkan hal yang sama.
Mungkin contoh lain adalah banyak orang bercita-cita ingin jadi content creator. Seakan-akan ini merupakan cara sukses untuk cepat kaya, karena melihat banyak anak usia muda terus jadi content creator dan sukses. Padahal, tidak semudah itu. Apabila kita mau melihat realita yang sebenarnya, masih banyak ribuan lainnya yang mencoba tapi gagal.
Kekeliruan Penjudi (Gambler’s Fallacy)
Kekeliruan penjudi adalah bias kognitif di mana kita secara keliru mengharapkan hal-hal yang sering terjadi lebih kecil kemungkinannya terjadi di masa depan dan hal-hal yang tidak terjadi dalam beberapa saat untuk lebih mungkin terjadi segera. Gambler’s Fallacy adalah kecenderungan untuk berpikir bahwa probabilitas masa depan dapat berubah karena peristiwa masa lalu. Pada kenyataannya, probabilitas tersebut tidak berubah sama sekali.
Disebut kekeliruan (fallacy), tapi ini lebih merupakan sebuah gangguan dalam pikiran kita. Kita cenderung menumpukan berat yang luar biasa pada peristiwa-peristiwa yang telah berlalu, dengan mempercayai bahwa peristiwa-peristiwa tersebut suatu saat nanti akan mempunyai pengaruh terhadap penghasilan kita di masa depan.
Contoh klasik adalah coin-tossing (mengundi dengan koin). Kalau yang muncul selalu bagian kepala, misalkan, lima kali berturut-turut, maka kita cenderung memprediksi akan ada peningkatan peluang berikutnya pada ekor, peluang sisanya tentu adalah kepala. Probabilitas untuk mendapatkan ekor adalah 50 persen, tidak peduli walau kita telah mendapatkan kepala dalam 10 flips terakhir. Realitasnya, peluangnya masih tetap 50/50. Seperti yang dikatakan ahli statistik, hasil yang muncul pada toss yang berbeda adalah independen secara statistik dan kemungkinan hasil yang akan muncul tetap 50%.
Sebagai contoh, kita sedang bermain roulette. Dalam empat putaran terakhir kita mendapat warna hitam. Lalu setelahnya, kita yakin 100 persen akan mendapatkan warna merah. Pemikiran seperti ini jelas salah, karena probabilitas pendaratan bola pada warna merah masih sebesar 47,37 persen (18 bintik merah dibagi dengan 38 total bintik). Hal ini mungkin terdengar sepele, tetapi nyatanya Gambler’s Fallacy telah menyebabkan banyak penjudi kehilangan uangnya karena salah dalam menghitung probabilitas.
Ada juga yang disebut bias ekspektasi positif, yang sering kali menyulut kita jadi kecanduan judi. Adalah sense bahwa keberuntungan kita pastilah berubah dan pasti akan ada keberuntungan yang akan datang menghampiri. Hal ini juga berkontribusi terhadap miskonsepsi tentang adanya “tangan panas”. Seperti juga perasaan yang kita rasakan ketika kita memulai sebuah hubungan baru yang menyebabkan kita percaya hubungan itu akan lebih baik dari yang terakhir.
Mengabaikan Kemungkinan (Neglecting Probability)
Sangat sedikit dari kita yang mempunyai masalah dalam hal memasuki mobil dan pergi mengendara, namun kebanyakan dari kita merasa sangat was-was ketika masuk ke pesawat terbang dan terbang dengan ketinggian 35.000 kaki. Terbang, cukup jelas, sangat tidak alami dan tampaknya merupakan sebuah aktifitas yang berbahaya.
Namun, tampaknya kita semua tahu dan menyadari fakta bahwa peluang kematian akibat kecelakaan mobil secara signifikan lebih besar daripada kematian akibat kecelakaan pesawat terbang. Otak kita tidak mau melepaskan kita dari logika yang sangat jelas ini.
Meski menakutkan bagi segelintir orang, kecelakaan pesawat sesungguhnya sangat jarang terjadi. Dibandingkan dengan moda transportasi lain, pesawat adalah yang paling aman. Kemungkinan mati akibat naik mobil adalah 1:112, pejalan kaki 1:700, sepeda motor 1:900, sedangkan naik pesawat 1:8.000.
Fenomena yang sama membuat kekhawatiran kita akan tewas akibat aksi terorisme lebih besar daripada kekhawatiran kita akan tewas akibat terjatuh dari tangga atau tewas akibat racun misalnya. Inilah yang oleh psikolog sosial Cass Sunstein dinamakan pengabaian probabilitas (probability neglect) yaitu ketidakmampuan kita untuk memahami dengan tepat akan bahaya dan resiko, yang sering kali membuat kita melebih-lebihkan resiko dari aktifitas yang sebenarnya relatif aman, dan menganggap aktifitas aman yang sebenarnya lebih berbahya.
Bias Seleksi Observasional (Observational Selection Bias)
Observational Selection Bias adalah efek dari tiba-tiba memperhatikan segala sesuatu yang tidak begitu kita perhatikan sebelumnya, tapi kita secara salah menganggap bahwa frekuensi muncul hal tersebut telah meningkat. Misalnya, yang terjadi setelah kita membeli sebuah mobil baru dan entah kenapa kita mulai melihat mobil yang sama di mana-mana. Efek yang sama terjadi pada wanita hamil yang secara tiba-tiba memperhatikan ada banyak wanita hamil lainnya di sekitar mereka.
Masalahnya bukan karena hal seperti itu muncul lebih sering dari sebelumnya, tapi karena kita telah dan sering menaruh perhatian pada hal tersebut di dalam pikiran kita. Masalahnya adalah, kebanyakan orang tidak menyadari hal ini sebagai sebuah bias seleksi, dan langsung percaya bahwa hal itu atau peristiwa itu jadi lebih sering terjadi dan membingungkan diri sendiri. Observational selection bias juga berkontribusi terhadap timbulnya perasaan bahwa munculnya sesuatu atau peristiwa tertentu tidaklah mungkin hanya kebetulan belaka, walaupun sebenarnya memang sebuah kebetulan.
Bias Status-Quo (Status-Quo Bias)
Bias status quo mengacu pada fenomena lebih memilih agar lingkungan dan situasi seseorang tetap sebagaimana adanya. Fenomena ini paling berdampak dalam bidang pengambilan keputusan: ketika kita membuat keputusan, kita cenderung lebih memilih pilihan yang lebih familiar daripada pilihan yang kurang familiar, tetapi berpotensi lebih menguntungkan.
Manusia cenderung gelisah atau cemas terhadap perubahan, yang sering kali menyebabkan kita membuat pilihan yang menjamin bahwa segala sesuatunya akan tetap sama, atau hanya sedikit sekali berubah. Tak perlu dijelaskan lagi, hal ini terjadi dalam segala hal mulai dari politik hingga ekonomi. Kita suka terpaku pada tugas-tugas rutin kita, partai politik, dan pada makanan atau restoran kesukaan kita.
Efek buruk dari bias ini adalah adanya asumsi yang tidak beralasan bahwa pilihan lain akan menjadi inferior atau malah membuat sesuatunya menjadi lebih buruk. Bias status quo bisa disimpulkan dengan ungkapan yang berbunyi, “jika tidak rusak, jangan diperbaiki”, yang memicu kecenderungan konservatif kita.
Dunning-Kruger Effect
Dunning-Kruger Effect adalah fenomena dalam psikologi yang dapat didefinisikan sebagai bias kognitif di mana seseorang keliru menilai kemampuan yang dimiliki diri sendiri. Individu yang mengalami Dunning-Kruger Effect akan merasa kemampuan mereka jauh lebih tinggi dari yang sebenarnya. Bias ini dikaitkan dengan ketidakmampuan metakognitif untuk mengenali kemampuan mereka sendiri.
Orang dengan Dunning-Kruger Effect akan berbicara panjang lebar mengai suatu topik. Juga menyatakan pendapat dirinya adalah paling benar sementara pendapat orang lain salah. Meskipun orang lain tampak tidak tertarik dengan pembicaraannya, ia akan terus berbicara dan mengabaikan ketidaktahuannya.
Bias Negativitas (Negativity Bias)
Negativity bias dapat didefinisikan sebagai kecenderungan alami bagi seorang individu secara psikologis untuk menerima, merespon, atau menanggapi segala bentuk negativitas secara lebih intens ketimbang segala bentuk positivisme.
Stimulus negatif yang sangat mudah ditangkap tersebut pada dasarnya adalah bagian dari usaha untuk menghindari hal yang tidak enak atau merugikan. Namun jika perilaku tersebut dilakukan secara terus-menerus bisa membuat seseorang menjadi over thinking, cemas, takut, insecure dan bahkan over protective.
Manusia cenderung lebih memperhatikan berita yang buruk. Para ilmuwan sosial berteori bahwa hal itu akibat dari perhatian selektif kita dan bahwa, jika harus memilih, kita menganggap berita-berita negatif sebagai lebih penting dan bermakna. Kita juga cenderung memberi kredibiltas yang lebih besar pada berita-berita buruk, mungkin karena kita curiga (atau bosan) atas pernyataan yang baik-baik melulu. Yang lebih evolusioner, kita menganggap perbuatan mengindahkan berita-berita buruk boleh jadi lebih adaptif daripada mengabaikan berita-berita baik (misalnya, berita “harimau bertaring ngamuk” vs “buah beri ini berasa enak”).
Fenomena ini sebenarnya sudah ada sejak zaman batu. Negativity bias diperlukan oleh manusia untuk bertahan hidup. Dunia pada saat itu sangat berbahaya. Pengalaman negatif lebih penting untuk diingat daripada berpikir positif.
Sebagai contoh, bayangkan kita hidup di zaman batu. Lebih penting mana, pengalaman kita dikejar hewan buas dan mengingat lokasi di mana hewan-hewan tersebut biasanya kumpul atau mengingat pengalaman kita ketika melihat hal lucu? Jawabannya sudah pasti mengingat lokasi hewan buas karena di kemudian hari kita dapat mudah menghindari tempat-tempat yang berbahaya.
Warisan sifat-sifat manusia seperti di atas membekas sampai dengan sekarang. Bahkan struktur otak bayi ketika baru lahir sudah lebih banyak di stimulus oleh hal-hal negatif ketimbang yang positif. Proses ini sudah berlangsung ratusan ribu tahun sementara peradaban modern baru berjalan beberapa abad.
Kita lebih suka berkecimpung dengan berita-berita negatif dan mengabaikan berita-berita yang baik. Steven Pinker, dalam bukunya The Better Angels of Our Nature: Why Violence Has Declined, berargumen bahwa kejahatan, kekerasan, perang, dan ketidakadilan-ketidakadilan lainnya terus menurun, namun kebanyakan orang berpendapat bahwa segala sesuatunya menjadi lebih buruk, yang merupakan contoh sempurna dari bias negativitas.
Pertanyaannya apakah sifat-sifat itu masih relevan dengan kondisi sekarang? Kehidupan masa kini sudah berubah 180 derajat. Kita sangat aman dan kecil kemungkinan dikejar hewan buas dan kemudian mati diterkam. Kita memiliki kebebasan untuk makan dan minum sepuasnya tanpa rasa takut didatangi tentara penjajah.
Bias Proyeksi (Projection Bias)
Manusia cenderung untuk dengan percaya diri berasumsi bahwa orang lain memiliki pola berpikir, sikap dan keyakinan yang sama dengan kita. Bias proyeksi (Projection Bias) adalah kecenderungan untuk memproyeksikan preferensi saat ini ke masa depan seolah-olah selera masa depan akan sesuai dengan selera saat ini
Sebagai individual yang setiap saat kita terjebak di dalam pikiran sendiri, sering kali sulit bagi kita untuk memproyeksikan diri di luar lingkungan kesadaran dan preferensi kita sendiri. Kita cenderung berasumsi bahwa kebanyakan orang berpikir sama dengan kita, walaupun tidak ada justifikasi tentang itu.
Bias proyeksi menjadi masalah ketika kita membiarkan keputusan dibuat saat ini sesuai dengan selera dan preferensi kita saat ini. Dimana keputusan tersebut mempengaruhi tujuan masa depan dan kebiasaan jangka panjang kita. Misalnya, saat memesan makanan di restoran, kita harus memprediksi seberapa lapar dan seberapa banyak kita akan makan. Bias Proyeksi dapat menyebabkan orang memesan terlalu banyak makanan di awal makan. Lebih dari itu, bias proyeksi juga bisa menciptakan efek di mana para anggota sebuah kelompok radikal atau kelompok pinggiran berasumsi bahwa ada lebih banyak orang di luar kelompok mereka yang setuju dengan mereka.
Efek Halo
Efek halo adalah kecenderungan untuk memberi kesan menyeluruh (positif atau negatif) pada seseorang atau sesuatu yang didapat dari menggeneralisasi salah satu karakteristiknya. Bias ini banyak terjadi dalam penilaian kinerja karyawan. Bias ini dapat terjadi ketika orang-orang yang “menarik” tersebut diberi perlakuan istimewa, seperti kesempatan kerja yang lebih baik atau mendapat gaji yang lebih tinggi
Sebagai contoh, karyawan kita bernama Dani, sudah terlambat bekerja selama tiga hari terakhir. Kita memperhatikan kebiasaan ini dan menyimpulkan bahwa Dani malas dan tidak peduli dengan pekerjaannya. Sebenarnya ada banyak kemungkinan mengapa Dani terlambat. Mungkin saja mobilnya mogok, pengasuh anaknya tidak muncul, atau cuacanya kebetulan sedang buruk. Masalahnya adalah karena satu aspek negatif yang mungkin di luar kendali Dani, kita malah berasumsi bahwa dia adalah pekerja yang buruk.
Ada sebuah fakta menarik tentang salah satu “cabang” dari efek halo, yaitu stereotip daya tarik fisik. Stereotip ini muncul saat seseorang menganggap bahwa individu yang menarik memiliki kualitas yang diinginkan secara sosial, misalnya kebahagiaan, kesuksesan, dan kecerdasan.
Social Proof
Social Proof adalah kecenderungan seseorang untuk mengikuti perilaku mayoritas. Kita akan merasa bersikap dan berperilaku benar jika kita bertindak sama dengan kebanyakan orang lain. Itu artinya, semakin banyak tindakan atau ide diikuti orang, maka kita akan menganggap semakin baik dan benar tindakan atau ide tersebut.
Misalnya, saat kita jalan-jalan di sebuah kota yang baru kita kunjungi dan melihat ada beberapa restoran yang berjejer. Namun, kita melihat ada salah satu restoran yang paling ramai bahkan pengunjungnya sampai harus antre terlebih dahulu sebelum bisa masuk ke restoran tersebut. Pastinya, kita akan berpikir bahwa restoran tersebut memiliki makanan yang lezat dan berkualitas sehingga banyak orang yang rela antre. Kenyataannya warung yang dikunjungi banyak orang itu belum tentu enak?
Tentu saja, pemikiran seperti diatas sudah mengakar jauh hingga ke jaman pra sejarah. Coba bayangkan, kita dalam kelompok manusia purba yang sedang berburu di hutan. Kemudian, tiba-tiba saja, teman-temanmu lari dengan kencang, pasti kita juga ikut lari, walaupun kita tidak tahu apa alasannya, yang penting adalah mengikuti apa yang kelompokmu lakukan. Tentu saja, hal ini bukan tanpa alasan. Jika saja kita tidak mengikuti apa yang teman-teman kita lakukan dan ternyata ada singa, ya akhirnya kita bisa meninggal dimakan singa. Tapi, jika kita mengikuti apa yang dilakukan kelompok kita walaupun tidak ada singa, kita tidak rugi. Nah, cara bertahan hidup ini masih diturunkan hingga sekarang, jadi kita cenderung tidak ingin terlihat berbeda.
Cara menghindari bias kognitif
Semakin kompleks situasi, semakin banyak kesempatan terjadinya bias kognitif dan distorsi yang akan mempengaruhi pengambilan keputusan. Pertanyaan akan bagaimana sebaiknya mengatur bias persepsi dan kognitif merupakan hal yang sulit. Banyak penelitian, di berbagai bidang, telah menemukan bukti bias kognitif dapat berakibat negatif terhadap kehidupan. Untuk itu, kita harus mencoba menghindarinya dengan mengikuti beberapa tips berikut.
Menerapkan cara berpikir perlahan
Berpikir secara perlahan akan membantu kita mengambil keputusan secara sadar, walaupun cara berpikir ini akan membutuhkan lebih banyak energi mental. Sistem berpikir ini aktif ketika kita dihadapi dengan keputusan yang besar seperti membeli rumah atau memilih pasangan hidup.
Kita dapat menerapkan cara berpikir yang lambat jika kita berhenti sejenak dan menulis alasan-alasan yang berlawanan dan yang mendukung keputusan yang akan kita buat. Pemikiran yang berhati-hati ini memberikan kita kesempatan untuk mempertimbangkan suatu masalah secara saksama, serta memikirkan implikasi jangka panjangnya.
Di sisi lain, kita menerapkan cara berpikir dengan cepat ketika kita memutuskan kamar mandi mana yang sesuai dengan jenis kelamin kita. Berpikir dengan cepat ini terkait dengan hal-hal yang sudah menjadi kebiasaan kita. Kita berhenti dan menunggu ketika lampu lalu lintas berwarna merah. Kita melanjutkan perjalanan ketika lampu berwarna hijau. Kita mengulurkan tangan kanan (bukan tangan kiri) ketika berjabat tangan.
Meski kita mungkin tergoda untuk menggunakan cara berpikir cepat (heuristik) untuk mengambil berbagai keputusan, hal ini dapat membuat kita lebih rentan terhadap bias kognitif.
Kita seharusnya tidak bergantung pada opini kita sendiri untuk membuat suatu keputusan, melainkan harus mendasarkan keputusan itu berdasarkan data.
Mengevaluasi sumber informasi
Ketika menyimpulkan kredibilitas suatu berita yang sensasional, kita harus mengetahui waktu, relevansi, sumber, ketepatan, dan tujuan dari berita tersebut atau yang dikenal dengan singkatan. Kriteria ini memberikan panduan yang dapat digunakan untuk mengevaluasi jika suatu artikel tentang COVID-19 bisa dipercaya.
Pikirkan: waktu yang kita pilih untuk membaca suatu artikel (currency), tanggal publikasi (relevance) ), dan maksud penulis (authority). Kita juga harus melihat sumber-sumber lain untuk memverifikasi klaim yang ditulis dalam artikel tersebut (accuracy and purpose).
Akan tetapi, pastikan bahwa kita mencatat bukti-bukti yang mencurigakan. Ketika dihadapi dengan informasi yang bertentangan dengan keyakinan kita, jangan diabaikan. Sebaliknya, tulis alasan-alasan mengapa bukti ini mungkin bersifat benar. Dengan begitu, hipotesis kita akan bebas dari bias konfirmasi.
Referensi
Cameron, J., E. (2004). A three-factor model of social identity. Psychology Press, 3, 239-262.
Anderson, Benedict. (2001). Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang. Yogyakarta: INSIST Pustaka Pelajar.
Ajzen, I. (1991). The theory of planed behavior. Organizational Behavior and Human Decision Processes, 50, 179-211