Bentuk lain dari mekanisme pertahanan diri adalan taktik pertahanan. Secara umum memiliki tujuan yang sama yaitu
menyembunyikan realita dari orang lain, tetapi keduanya merupakan aktivitas yang berbeda. Mekanisme pertahanan merupakan aktivitas intrapersonal sedangkan taktik pertahanan merupakan petahanan yang mengarah pada interpersonal. Beberapa bentuk taktik pertahanan adalah ;

  1. Pedestaling (bertumpuan). Konseli menggunakan taktik ini untuk mengharapkan konselor sebagai tumpuan dalam hidupnya. Dalam kaitan ini paling tidak taktik bertahan berfungi untuk ;
    memposisikan konselor sebagai orang yang sulit untuk berhadapan langsung dengannya; konseli memposisikan dirinya sebagai orang yang selalu berada di abawah konselor sehingga
    peran social yang dilakukan adalah apa yang disarankan oleh konselor; karena sejak awal konseli ingin mendapatkan jawaban atas masalah yang dihadapinya maka konseli tidak ingin
    dianalisa secara psikologis.
  2. Humor. Walaupun humor secara umum merupakan perilaku yang sehat, tetapi dalam konseling perilaku ini dapat dijadikan sebagai taktik bertahan. Humor dapat dijadikan sebagai perilaku bertahan dalam tiga hal yaitu; dijadikan sebagai media untuk mengalihkan topic bahasan ; dijadikan sebagai cara menyatakan kemarahan kepada konselor dan dapat dijadikan sebagai alat untuk menyembunyikan ketertarikan.
  3. Agreebleness (menyetujui). Konseli yang bertahan dengan cara ini ditandai dengan persetujuan semua yang dikatakan oleh konselor, tanpa mempertimbangkan apakah yang dikatakan konselor sesuai dengan keyakinannya atau tidak. Dalam konseling, agreeableness mempunyai fungsi bertahan untu ; menghindari konflik dengan konselor; menyembunyikan jati diri yang sebenarnya dan untuk menghindarkan diri dari tanggung jawab atas pengambilan keputusan.
  4. Cuteness (bersikap manis). Bersikap manis biasanya ditampakkan oleh orang dewasa untuk menyelamatkan diri dari
    perilaku yang tidak tepat. Bersikap manis biasanya bersifat non verbal yang meliputi gerakan amta, mulut, goyangan kepala dan bahasa tubuh. Perilaku ini memilki fungsi ; jika seseorang mempersepsikan diri sebagai orang yang manis maka persepsi tersebut akan menyembunyikan perilaku mereka yang merusak. Perilaku manis terkadang digunakan untuk merayu konselor agar menyukai dan melindungi konseli. Bersikap manis akan
    menyembunyikan kecemasan seseorang akan tanggung jawabnya dalam menyelesaikan masalah.
  5. Being confuse (berbuat bingung). Merupakan sebagai cara bertahan dengan alas an ; kebingungan dapat dijadikan
    pelindung konseli dalam menghadapi kenyataan yang tidak menyenangkan. Daripada mengakui adanaya kecemasan akibat suatu peristiwa, seseorang terkadang mengalihkan perhatiannya pada perasaan bingung mengapa hal itu terjadi, alasan lain menampakkan kebingungan adalah adar konselor sulit mengambil tindakan. Bersikap bingung juga akan membuat konselor menjadi bingung sehingga proses konseling terselubung oleh perilaku “bingung” sehingga tidak dapat menyentuh masalah yang sebenarnya. Dengan kebingungan dimungkinkan akan saling menyalahkan.
  6. Acting stupid (bertindak bodoh). Berperilaku bodoh menunjukkan tanggapan seseorang dimana dia berpura-pura tidak memahami konsekuensi dari perilakunya yang merusak. Tindakan berpura-pura bodoh dapat muncul karena beberapa alasan yaitu perilaku tersebut dapat melindungi dari kenyataan yang menimbulkan kecemasan, menghindarkan seseorang dari tanggung jawab terhadap perilaku mereka, dengan perilaku pura-pura bodoh dapat mengaburkan permsalahan sebenarnya sehingga konselor terkesan dipaksa untuk focus pada kebodohan tersebut bukan pada perilaku merusak yang sebenarnya.
  7. Helplessness (ketidakberdayaan). Sebagian konseli mengikuti prose konseling dengan tanpa harapan. Mereka melakukan hal ini dengan salah satu sebab tidak mampu menggambarkan masalah yang dihadapi. Konseli tidak tahu apa yang menjadi penyebab masalah dan tidak tahu harus berbuat apa untuk mengatasi masalah yang dialaminya. Ketidakberdayaan merupakan taktik bertahan karena menganggap konselor sebagai pihak yang harus menangani masalah konseli. Konseli menganggap peran konselor sebagai seseorang yang harus mengetahui masalah konseli, apa yang menyebabkan dan bagaimana menyelesaikannya. Selama konseli merasa tidak berdaya maka konseli tetap merasa tidak ada perubahan sehingga menyebabkan konselor yakin bahwa konseli benar-benar dalam keadaan tidak berdaya.
  8. Being upset (merasa kesal). Konseli yang datang kepada konselor kadang-kadang merasa kesal, namun rasa kesal dapat merupakan sebuah pertahanan karena dapat memberikan gangguan yang memadai sehingga konseli tidak mengenali apa yang menyebabkan ia merasa kesal atau langkah-langkah apa yang harus dilakukannya.
  9. Religiousity. Religiusitas dalam konteks pertahanan berbeda dengan religiusitas yang sehat. Keyakinan/agama dijadikan pelarian dari masalah yang dihadapi. Konseli mengharapkan pertolongan dari Tuhannya tanpa ada upaya untuk menyelesaikan masalahnya. Agama dapat menjadi pertahanan jika konseli menggunakannya untuk menekan perasaan marah, cemburu, keraguan dan tidak percaya. Konseli seperti ini menganggap bahwa memiliki perasaan-perasaan tersebut membuat mereka menjadi pribadi yang lebih buruk. Faktanya jika mereka bukan orang yang “religious” maka mereka akan mencari cara agar tidak bersinggungan dengan perasaan yang dapat menimbulkan kecemasan. Agama dapat digunakan oleh konseli agar tetap berada pada jarak yang aman sehingga tidak terlalu
    mencampuri urusan konseli. Konselor dipaksa untuk menghormati keyakinan konseli (meskipun bias terjadi keyakinan tersebut bersifat merusak).
  10. Decoying. Konseli dengan model ini akan melakukan pertahanan atas kekeliruan yang mereka lakukan dengan berbagai argumentasi yang sekiranya dengan argumentasi itu dapat membujuk konselor tidak masuk dalam wilayah persoalan yang sebenarnya.