Seringkali kita heran mengapa seorang perempuan yang menjadi korban dalam hubungan kekerasan baik dalam pernikahan, pacaran ataupun keluarganya, tetap bertahan dan memutuskan kembali lagi bersama pelaku. Orang-orang sekitar seringkali berusaha mencegah untuk kembali pada pasangannya. Walaupun korban sadar hubungan tersebut tidak sehat dan merugikannya, dia tetap menjalin kembali hubungan yang sudah dia tinggalkan sebelumnya.

Pertengkaran adalah hal yang wajar terjadi dalam sebuah hubungan. Namun, jika pertengkaran yang terjadi disertai dengan kekerasan dari salah satu pasangan, maka hal tersebut menjadi pertanda bahwa hubungan tersebut tidak sehat. Anehnya, banyak orang yang selama ini memilih bertahan walaupun pasangannya telah melakukan tindak kekerasan kepada mereka. Kondisi ini dikenal dengan istilah trauma bonding.

Ikatan trauma (Trauma bonding), Alasan Korban Membenarkan dan Bertahan Dengan Pelaku Kekerasan
Sumber gambar: Pixabay.com

Seseorang bertahan dengan pasangannya yang kasar karena “trauma bonding“. Secara singkat kondisi ini dapat terjadi ketika pelaku kekerasan memberikan stimulasi pada pasangannya berupa hukuman (kekerasan), akan tetapi setelah memberikan hukuman, pelaku juga memberikan perhatian dan kasih sayang kepada pasangannya sebagai hadiah dan bukti rasa penyesalan.

Situasi itu membuat tubuh korban berada pada keadaan tak menentu, dengan kadar hormon kortisol (hormon stres) dan adrenalin tinggi saat disiksa, kemudian dopamin (hormon senang) ketika kasih sayang diberikan sebagai “hadiah”.

Apa itu trauma bonding

Dalam psikologi, ‘ikatan’ mengacu pada rasa terhubung yang terjadi antara dua orang atau lebih yang menghubungkan percakapan dan hubungan ketika menghabiskan banyak waktu bersama. Kita mungkin menyadari perasaan “terikat” setelah melalui sesuatu yang sangat baik dengan seseorang. Kita merasa lebih dekat dengan orang tersebut, dan lebih setia.

Keterikatan ini bukan saja pada teman baik atau anggota keluarga, tetapi juga bisa terjadi pada seorang pelaku kekerasan. Ikatan dengan kekerasan adalah bentuk ikatan negatif karena membuat kita tetap setia pada situasi yang buruk. Pelaku kekerasan biasanya menggunakan tindakan pelecehan dan kemudian memberikan hadiah untuk membuat kita terjebak secara psikologis dan emosional.

Trauma bonding mengacu pada situasi keterikatan secara emosional karena kekerasan. Ikatan trauma (Trauma bonding) adalah ikatan antara korban kekerasan dan pelaku kekerasan. Ikatan ini biasanya terjadi ketika korban kekerasan mulai memiliki simpati atau kasih sayang kepada si pelaku. Ikatan ini dapat berkembang selama beberapa hari, minggu, atau bulan. Tetapi tidak semua orang yang mengalami kekerasan akan terikat dalam ikatan trauma.

Fenomena Trauma bonding yang disebut oleh Dutton dan Painter (1981) sebagai traumatic bonding atau ikatan trauma[1]. Ikatan trauma inilah yang menjelaskan mengapa seorang wanita dalam hubungan kekerasan kembali lagi pada pasangannya yang sudah dia tinggalkan.

Trauma bonding juga disebut sindrom Stockholm[2] yaitu perasaan percaya atau kasih sayang yang terjadi dalam kasus penculikan atau penyanderaan oleh korban terhadap penculik. Sindrom Stockholm adalah salah satu jenis ikatan trauma(Trauma bonding). Meskipun istilah ini biasanya merujuk pada seorang yang korban penculikan yang menumbuhkan perasaan positif terhadap penculiknya, ikatan ini dapat terjadi dalam situasi dan hubungan lain.

Penelitian Stockholm Syndrome in Athletics: A Paradox pada tahun 2018, menemukan pelecehan dalam olahraga atletik menunjukkan bahwa sindrom Stockholm berawal ketika seseorang yang mengalami pelecehan mulai rasionalisasi tindakan pelakunya.[3]

Contoh ikatan trauma (Trauma bonding)

Salah satu contohnya adalah seorang anak yang dianiaya oleh orang tua atau orang dewasa. Orang tua menganiaya anak tersebut, kemudian mengatakan kepadanya bahwa anak tersebut dipukuli karena orang tua menyanyangi anak mereka. Kemudian setelah menganiyaya memuji bahwa anak tersebut istimewa, cantik, mungkin juga membelikan mainan. Kemudian orang dewasa itu menganiaya anak itu lagi. Setelah beberapa siklus, anak yang dibingungkan oleh tindakan kekerasan dan kasih sayang, mulai tidak bisa membedakan ketakutan dan kegembiraan. Akhirnya anak tersebut berperilaku dan pergi menemui pelaku kekerasan (orang tua) walaupun dia takut pada orang tuanya.

Pada orang dewasa, ikatan trauma (Trauma bonding) bisa terjadi jauh lebih halus. Kita bisa berada dalam hubungan di mana kita terus-menerus dikritik, dikecewakan, dan dihina secara verbal. Tapi kita menganggap pasangan kita ‘sangat baik dan luar biasa’, makanya kita bertahan. Akhirnya, saat kita mencoba untuk pergi, kita tidak bisa. Kita akan merasa panik saat putus hubungan dengan pasangan yang kasar terswbut, dan buru-buru kembali, tidak peduli saran teman dan keluarga.

Memiliki pasangan seorang pecandu alkohol atau narkoba yang bertahun-tahun yang tidak bisa lepas dari kecanduan, mungkin adalah salah satu bentuk ikatan trauma (Trauma bonding). Walaupun tahu bahwa pasangan tersebut sulit untuk lepas dari kecanduan, kita tetap berpikir positif dan yakin bahwa suatu hari pasangan kita akan tidak jadi pecandu lagi.

Baca Juga:  Fight or Flight, Respon Mekanisme Tubuh Menghadapi Masalah, Stress dan Takut

Secara teori, ikatan trauma (Trauma bonding) dapat terjadi dalam situasi apa pun bersamaan dengan terjadinya tindakan pelecehan atau mengeksploitasi orang lain.[4] Berikut beberapa situasi yang dapat menyebabkan ikatan trauma(Trauma bonding):

  1. Kekerasan dalam rumah tangga
  2. Pelecehan anak
  3. Incest
  4. Pelecehan orang tua
  5. Eksploitasi tenaga kerja ilegal
  6. Penculikan atau penyanderaan
  7. Perdagangan manusia
  8. Ekstremisme agama

Kondisi dan tanda terjadinya ikatan trauma (trauma bonding)

Menurut organisasi Parents Against Child Exploitation[5], ikatan trauma berkembang jika beberapa kondisi terjadi, antara lain:

  1. Merasakan ancaman bahaya yang nyata dari pelaku kekerasan
  2. Mendapatkan perlakuan kasar diiringi perlakuan baik
  3. Merasa sendiri dan tak ada orang lain yang bisa memberikan masukan
  4. Percaya bahwa mereka tidak dapat melarikan diri

Tanda utama bahwa seseorang telah terikat dengan pelaku kekerasan adalah bahwa mereka mencoba untuk membenarkan atau membela kekerasan tersebut. Beberapa tanda lain telah terjadinya ikatan trauma (Trauma bonding) dalam hubungan, antara lain:

  1. Mencoba untuk menutupi tindakan pelaku kekerasan
  2. Membela pelaku dan menjauhkan diri dari orang-orang yang hendak memberi bantuan, seperti menjauhkan diri dari teman, anggota keluarga atau tetangga
  3. Keberatan untuk meninggalkan pelaku meskipun sadar telah menjadi korban kekerasan dan pelecehan
  4. Setuju dengan alasan pembenaran pelaku untuk melakukan kekerasan, pelecehan, maupun tindakan buruk lain, misalnya alasan pelaku menyakiti korban karena cemburu
  5. Menjadi defensif atau marah jika orang lain ikut campur untuk menghentikan tindakan pelaku melakukan kekerasan atau pelecehan
  6. Enggan atau tidak mau mengambil langkah atau memutuskan ikatan untuk meninggalkan ikatan kekerasan

Kalimat pembelaan dari seseorang yang berada dalam ikatan trauma (trauma bonding), misalnya:

  1. “Dia seperti itu karena dia sangat mencintaiku, kalian tidak akan mengerti.”
  2. “Dia banyak tekanan di tempat kerja, makanya memarahi aku. Nanti dia akan lebih baik lagi. “
  3. “Aku tidak akan meninggalkannya, dia adalah cinta dalam hidupku. Kalian hanya iri saja. ”
  4. “Ini salahku, karena aku membuat dia marah.”

Perlu diingat bahwa hubungan ikatan trauma (trauma bonding) tidak selalu putus atau berakhir. Korban mungkin masih setia atau penuh kasih terhadap pelaku kekerasan atau ingin balikan lagi.

Penyebab dan proses terjadinya ikatan trauma (trauma bonding)

Secara ilmu saraf (neuroscience), saat terjadinya pengalaman traumatis membawa manusia ke mode bertahan hidup (Fight or Flight Mechanism). Otak akan merespon apakah akan melarikan diri atau melawan. Saat merasa terancam dan tertekanan, maka bagian dari otak akan menyalakan alarm tubuh. Akibat stress kemudian akan memicu kelenjar adrenal yang berada di atas ginjal mengeluarkan hormon adrenalin dan hormon kortisol. Hormon kortisol berfungsi memberikan energi dan mengendalikan stres. [6]Kadar kortisol yang tinggi dalam tubuh, membuat kita merasa disosiasi. Disosiasi diartikan sebagai memisahkan memori atau emosi yang dirasa tidak menyenangkan dari kesadaran utama, seperti amnesia.[7] Kita akan berada pada dari naluri bertahan hidup, bukan logika, pikiran-pikiran yang secara sadar mengancam akan dihilangkan dari otak. Jadi korban trauma bonding hanya akan fokus mencari hal-hal baik dari pelaku kekerasan dan mengabaikan kejahatannya.

Trauma bonding juga terjadi karena merasa kecanduan. Otak diprogram untuk mengulangi aktivitas yang dianggap bisa membuat bahagia. Ketika kita sangat menderita saat menjadi korban kekerasan, sebuah kebaikan kecil dapat dianggap sebagai hadiah, tubuh kita bahkan bisa banjir dopamin. Jika kadar dopamin tinggi, maka kita akan merasa terobsesi terhadap suatu hal dan akan mendorong kita untuk menjadi kecanduan.[8]

Pada titik kecanduan emosional, tubuh kita terus menerus bekerja dengan level stres yang tinggi dan mendambakan kelegaan atau kesenangan. Siklus ketergantungan dengan pelaku kekerasan sangat mirip dengan kecanduan zat adiktif, yaitu kadar dopamin yang tinggi. Dopamin adalah hormon yang meningkat kadarnya saat seseorang mengalami sensasi yang menyenangkan. Kita mungkin sadar hubungan dengan pasangan itu bruruk, tetapi juga merasa tidak dapat meninggalkannya.[8]

Kadar dopamin yang tinggi menciptakan rasa senang, hal itu dapat memperkuat hubungan korban dan pelaku kekerasan. Kemesraan dan kedekatan fisik juga mendorong pelepasan oksitosin, yaitu hormon cinta yang dapat memperkuat ikatan. Oksitosin tidak hanya mempererat hubungan dan perasaan positif, tetapi juga mengurangi rasa takut. Dengan demikian, kemesraan dan kedekatan fisik dengan pasangan yang suka menyiksa meringankan rasa sakit dan tekanan emosional korban kekerasan, sehingga korban hanya fokus pada kebaikan pasangannya saja.

Baca Juga:  CINTA DILIHAT DARI SUDUT PANDANG NEUROSAINS

Saat berada dalam ikatan trauma (trauma bonding), kita akan sulit melepaskannya. Jika kita mencoba meninggalkan pasangan maka kadar dopamin akan menurun. Kadar hormon dopamin yang rendah akan membuat suasana hati menjadi buruk, bahkan dapat meningkatkan risiko terjadinya depresi. Saat mencoba menjauh dari pasangan, kita mungkin merasa lelah dan bahkan mual, seperti seseorang yang baru saja keluar dari narkoba.

Saat memutuskan untuk mengakhiri, kita akan mengatakan pada diri sendiri bahwa hanya perlu bertemu terakhir kali. Setelah itu, kita terpikat kembali ke hubungan tersebut, karena merasa bahagia bertemu yang disebabkan kadar dopamin kembali naik.

Pola kekerasan berulang penyebab ikatan trauma (trauma bonding

Perasaan keterikatan dan ketergantungan juga berkontribusi pada ikatan trauma (trauma bonding), dimana perasaan keterikatan memiliki pola. Pola yang terjadi dalam ikatan trauma (trauma bonding) adalah pola kekerasan-penyesalan yang terjadi berulang-ulang. Pola kekerasan-penyesalan dalam traumatic bonding dapat terjadi secara verbal, fisik, psikologis, maupun seksual dalam periode waktu tertentu. Korban merasa tidak berdaya menghadapi kekerasan yang dialaminya sehingga korban akan merasionalisasikan apa yang terjadi pada dirinya. Korban akan berkata dalam hati bahwa “dirinya memang berhak mendapatkan perlakuan seperti ini” dan pada akhirnya menyebabkan korban tergantung pada pelaku.

fightflightfreeze toxic relationship

Setelah melakukan penyiksaan, pelaku akan menyesal karena melakukan kekerasan pada pasangannya, lalu pelaku akan menunjukkan itikad baik dan mungkin berjanji untuk berubah dalam rangka mendapatkan maaf dari pasangannya. Itikad baik ini dapat ditunjukkan dengan pemberian hadiah, meminta maaf yang tulus, mengatakan menyesal dan berjanji tidak akan melakukannya lagi. Beberapa pelaku kekerasan mungkin sangat baik atau romantis untuk menebus perilaku mereka.

Pola kekerasan-penyesalan yang berulang-ulang akan memperkuat perasaan tidak berdaya, kepastian yang tampak bahwa korban tidak akan pernah bisa melarikan diri. Korban menjadi percaya pada realitas palsu yang dibangun pelaku untuk mengendalikan korban. Pelaku memberikan harapan kepada korban bahwa penderitaan mereka akan berakhir dan suatu hari mereka akan menerima cinta atau hubungan yang telah dijanjikan oleh pelaku. Orang yang mengalami kekerasan mungkin melihat penderitaan sebagai harga yang harus dibayar untuk kebaikan. Perilaku penyesalan juga dapat menyebabkan orang yang dianiaya merasa bersyukur, terutama jika mereka terbiasa dengan perlakuan yang buruk.

Walker (1979) menjelaskan bahwa jeda setelah kekerasan terjadi adalah fase honey moon, fase yang ditunggu dimana terjadinya peningkatan kasih sayang dan cinta yang dibangun.[9] Korban seringkali membuat perspektif baru pada pelaku dimana kebaikan kecil yang ditunjukkan pelaku akan membuat korban berterimakasih sehingga mengabaikan kemarahan, dendam dan cara untuk menolong dirinya.

Ketika korban kekerasan sudah muak dengan hubungannya, dia akan memutuskan meninggalkan pasangannya. Jika tidak ada dukungan sosial atau intervensi lebih lanjut pada korban kekerasan akan membuatnya kembali pada pelaku. Kekerasan yang dialami korban membentuk suatu trauma, karena kejadian kekerasan terjadi berulang kali ditambah lagi waktu yang dihabiskan berlangsung cukup lama membuatnya merindukan pasangannya, sehingga dalam jangka waktu tertentu dia akan kembali pada pasangannya.  Tidak sedikit para korban malah membela pasangannya, menaruh simpati pada pelaku kekerasannya dengan mengatakan dia melakukan hal seperti itu karena masa lalunya tidak baik.

Bagaimana cara keluar dari traumatic bonding?

Banyak orang yang mandiri dan cerdas menemukan diri mereka terjebak dalam ikatan trauma (Trauma bonding) dan bertanya-tanya bagaimana bisa mereka memiliki hubungan toxic. Untuk benar-benar melepaskan ikatan trauma (Trauma bonding), kita perlu melepaskan diri dan menjauh selama mungkin untuk “mendetoksifikasi” diri secara emosional.

Ikatan trauma mengacu pada ikatan mendalam yang terbentuk pada korban dalam hubungan kekerasan dan pelaku kekerasan. Korban seringkali menumbuhkan kesetiaan yang tinggi dan rasa belas kasihan pada pelakunya, meskipun mereka menyadari ikatan ini merugikan mereka.

Dalam suatu hubungan baik pacaran, pernikahan atau relasi lainnya tidak dipungkuri akan terjadinya konflik, tidak sedikit konflik akan berpacu pada kekerasan. Kekerasan dalam suatu hubungan terjadi karena dua aspek : aspek pertama, adanya kekuatan tak berimbang. Kekuatan tak berimbang ini akan menyebabkan sebuah dominasi dalam suatu hubungan. Pelaku kekerasan mempersepsikan dirinya dominan atas pasangannya, sedangkan korban merasa dia memang pantas ditundukkan. Ferlita (2008) menyebutkan kontruksi pola pikir masyarakat yang membentuk figur laki-laki dan perempuan-lah yang menyebabkan adanya ketimpangan kekuasaan, selama ini perempuan dianggap sebagai mahluk lemah, penurut, pasif, mengutamakan kepentingan laki-laki sehingga dianggap pantas menerima perlakuan semena-mena.

Baca Juga:  Pengertian dan contoh Sunk Cost Fallacy

Traumatic bonding merupakan jebakan dalam suatu hubungan yang membuat korban kembali lagi pada pasangannya. Semakin korban berusaha untuk menjauhkan diri dari pasangan, ikatan yang ditarik akan mendorongnya untuk mendekati pasangan dengan perasaan emosi yang jauh lebih kuat. Traumatic bonding merupakan perasaan ambivalen yang terjadi pada korban kekerasan, disatu sisi dia membenci pasangannya namun tidak bisa melakukan hal untuk mencegah atau mengatasi kekerasan yang terjadi padanya, di sisi lain dia mencintai pasangannya walaupun sering disakiti. Hal inilah yang membuat korban bertahan dalam hubungan yang penuh kekerasan, mereka mencintai pasangannya walau sadar mereka disakiti, sadar bahwa merekalah korban dalam hubungan tersebut.

Cara keluar dari ikatan trauma (Trauma bonding) memang tak semudah seperti membalikkan telapak tangan. Ikatan yang dalam dengan pelaku seringkali membuat korban enggan untuk berpaling. Berikut beberapa hal yang dapat membantu kita untuk keluar dari hubungan tidak sehat ini:

Fokus pada tindakan buruk pelaku

Korban kekerasan atau pelecehan biasanya memilih bertahan karena terbuai dengan janji-janji yang diberikan oleh pelaku. Untuk dapat keluar dari traumatic bonding, fokus terhadap tindakan buruk yang telah dilakukan pelaku. Cara tersebut bisa membuat korban lebih mudah untuk keluar dari hubungan yang tidak sehat bersama pelaku.

Putuskan hubungan dengan pelaku

Memutuskan hubungan dengan pelaku mungkin akan terasa sangat sulit di awal, tetapi perlu dilakukan demi kebaikan korban. Hentikan semua komunikasi dengan pelaku. Untuk memutus komunikasi, korban bisa mengganti nomor atau memblokir semua akun media sosialnya.

Berhenti menyalahkan diri sendiri

Menyalahkan diri sendiri atas tindakan pelecehan atau kekerasan yang dilakukan pelaku hanya akan membuat seorang korban kesulitan keluar dari traumatic bonding. Tanamkan di dalam pikiran bahwa tindakan buruk pelaku terjadi bukan karena kesalahan kita. Yakinlah, semua orang berhak mendapat pasangan yang lebih baik lagi.

Pahamilah bahwa sesungguhnya karakter minus pasangan bukanlah salah kita maupun menjadi tanggung jawab kita untuk memperbaikinya. 

Terapkan self-care

Perawatan diri mendorong perbaikan diri dengan istirahat dan relaksasi, yang bermanfaat bagi kesehatan secara keseluruhan. Daripada bertemu kembali dengan pelaku kekerasan atau pelecehan, terapkan teknik self-care atau perawatan diri untuk menghilangkan stres yang dirasakan. Beberapa aktivitas yang dapat membantu menenangkan pikiran, antara lain meditasi, olahraga, serta melakukan hobi.

Berkonsultasi dengan ahli

Apabila kita ingin keluar dari hubungan tidak sehat tersebut namun merasa kesulitan, tak ada salahnya untuk berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater. Terapis akan mencoba membantu untuk membangun batasan, mengembangkan kemampuan dalam menciptakan hubungan yang sehat, hingga mengatasi trauma.

Fenomena lingkaran kekerasan ini tidak akan pernah berhenti jika tidak ada tindakan maupun keberanian oleh korban untuk menyatakan TIDAK terutama pada fase-fase awal ketika ketegangan terjadi. Jika korban dan pelaku sudah dapat menyelesaikan konflik tersebut maka hubungan mereka tidak akan terus-menerus masuk dalam lingkaran kekerasan. Untuk mengatasi dan meminimalkan kekerasan yang terjadi baik di dalam rumah tangga maupun di dalam hubungan pacaran, adalah dengan memberi makna yang dalam dari kata SALING (saling menghargai, saling mendengarkan, saling menyayangi, saling mengasihi, saling melindungi, saling mengayomi, dan saling-saling yang lain), selain itu jika konfilk terjadi sebaiknya dapat diselsesaikan antar pasangan itu sendiri atau bisa melibatkan pihak lain yang dianggap bijak dan netral yang dapat bertindak sebagai mediator.

Referensi:
  1. Dutton; Painter (1981). “Traumatic Bonding: The development of emotional attachments in battered women and other relationships of intermittent abuse”. Victimology: An International Journal[]
  2. https://en.wikipedia.org/wiki/Stockholm_syndrome[]
  3. Charles Bachand and Nikki Djak. Stockholm Syndrome in Athletics: A Paradox. 2018[]
  4. Reid, at all. Contemporary Review Of Empirical And Clinical Studies Of Trauma Bonding In Violent Or Exploitative Relationships. 2013[]
  5. https://paceuk.info/child-sexual-exploitation/what-is-trauma-bonding/[]
  6. https://www.health.harvard.edu/staying-healthy/understanding-the-stress-response[]
  7. Daphne Simeon. Dissociation versus posttraumatic stress: cortisol and physiological correlates in adults highly exposed to the World Trade Center attack on 9/11. 2008[]
  8. Franket. I, At all. The role of dopamine in human addiction: From reward to motivated attention. 2005[][]
  9. Walker, Lenore E. (1979) The Battered Woman. New York: Harper and Row.[]