Pacaran merupakan masa-masa dimana terdapat dua individu yang berbeda lawan jenis untuk saling sepakat dan berkomitmen yang masih bersifat sementara untuk menjalin sebuah hubungan lebih dari teman. Pacaran yang dijalankan oleh kedua individu bukan hanya sekedar perasaan saling menyukai, tetapi bagaimana kedua individu tersebut dapat saling berbagi dan menerima keadaan satu sama lain. Individu yang menjalankan pacaran akan mendambakan hubungan yang penuh kasih sayang dan cinta kepada orang lain dan individu akan berusaha untuk mencapai hubungan tersebut.

YouTube video

Awal mula terjadinya bucin

Istilah ‘bucin’ alias ‘budak cinta’ memang cukup populer di Indonesia. Fenomena bucin menggambarkan seseorang yang menggilai pasangannya sendiri hingga mampu berbuat apa pun demi membahagiakan orang yang dia cintai. Walaupun terdengar menggelikan, ternyata ada penjelasan psikologis, mengapa seseorang menjadi ‘bucin’.

Fenomena budak cinta (bucin) memang dapat terjadi ketika kamu telah menginvestasikan banyak hal kepada orang lain. Hal tersebut membuatmu merasa memiliki keterikatan hingga akhirnya sulit melepaskan diri dari hubungan yang kurang sehat.

Misalnya, kamu sulit melepaskan diri dari pasangan yang telah dinikahi selama bertahun-tahun. Padahal, pasangan kamu memiliki perangai buruk yang mengganggu keseimbangan psikologis. Bahkan bukan hanya soal pasangan, sunk cost fallacy juga dapat terjadi dalam hubungan persahabatan, masa pacaran, dan bentuk relasi lainnya.

Penggunaan istilah ‘bucin’ memang belakangan ini gemar dipakai untuk orang-orang yang terlihat terlalu sayang terhadap orang yang disukai. Sebenarnya, ada alasan mengapa orang tersebut rela berkorban demi kebahagiaan pasangannya hingga taraf yang ekstrem.

Dari kacamata psikologis, budak cinta adalah salah satu kondisi psikologis yang disebut mirip dengan pecandu zat adiktif. Artinya, orang yang termasuk golongan ‘bucin’ ketagihan terhadap hubungan romantis yang sedang dijalani bersama pasangannya. Hal ini dibuktikan melalui penelitian yang telah dipublikasikan di jurnal Philosophy, Psychiatry, & Psychology.

Di dalam studi tersebut ditunjukkan bahwa cinta dapat membuat seseorang kecanduan. Walaupun sifat antara cinta dan ketagihan terkadang tidak dapat dijelaskan, ada dua pandangan yang membagi rasa candu ini menjadi baik dan buruk. Umumnya, fenomena ‘bucin’ dianggap sebagai bentuk cinta yang cukup ekstrem yang berpotensi menimbulkan perilaku berbahaya. Namun, tingkat kecanduan terhadap cinta ini tentu ada batas normalnya, sehingga beberapa perilaku dapat dianggap aman.

Baca Juga:  Pengertian dan contoh Sunk Cost Fallacy

Alasan budak cinta dianggap sebagai rasa candu

Satu hal yang perlu diingat bahwa fenomena bucin atau ketagihan terhadap rasa cinta belum dikategorikan sebagai diagnosis masalah kesehatan yang resmi. Namun, beberapa ahli menganggap istilah kecanduan cinta ini akan berguna demi memahami pola dan perilaku dalam hubungan yang bermasalah.

Menurut penelitian dari jurnal Frontiers Psychology, cinta romantis digambarkan sebagai rasa candu yang alami. Pada saat manusia jatuh cinta, perasaan euforia, ketergantungan, dan perilaku yang berhubungan dengan kecanduan pun muncul. Artinya, orang yang termasuk golongan ‘bucin’ ketagihan terhadap hubungan romantis yang sedang dijalani bersama pasangannya.

Hal ini dapat terjadi karena dopamin di otak Anda diaktifkan oleh cinta dan kondisi ini juga dapat berlaku ketika seseorang mengonsumsi zat adiktif. Tidak selamanya perilaku yang dihasilkan dari fenomena bucin dianggap buruk selama dalam batas normal. Sebagai contoh, ‘kecanduan cinta’ yang dianggap normal mungkin berlaku pada beberapa situasi, seperti cintanya tidak bertepuk sebelah tangan atau memahami batasan.

Maka itu, beberapa orang menganggap bahwa kasih sayang yang tulus terhadap pasangan dengan budak cinta mempunyai perbedaan tipis.

Pepatah yang mengatakan bahwa ‘cinta itu buta’ mungkin menjadi istilah yang paling mendekati istilah budak cinta. Saat menjadi bucin, kamu tidak lagi dapat melihat seseorang dari kacamata yang logis sehingga menganggapnya sebagai orang yang sempurna dan berhak mendapatkan semua keinginannya.

Baca Juga:  CINTA DILIHAT DARI SUDUT PANDANG NEUROSAINS

Menurut teori psikologi, bucin artinya seseorang yang sedang memuja orang lain secara sadar maupun tidak. Hal itu ditandai dengan cara mencintai orang lain dengan segenap jiwa dan raganya. Normalnya, pengorbanan ini digunakan untuk menarik hati orang yang dicintainya untuk kemudian menjadikannya pacar atau pasangan hidup. Namun, bucin seringkali tidak harus memiliki. Ia akan rela berkorban, sekalipun orang yang dicintainya memilih orang lain. Kondisi psikologis seperti ini nyaris terjadi pada semua orang, terutama anak muda, ketika ia masih berada di fase awal jatuh cinta. Saat itu, kita sedang senang-senangnya mengeksplorasi sisi positif dari orang yang kita cintai, bahkan kekurangannya dianggap sebagai hal yang lucu dan menggemaskan. Dalam fase ini, seseorang akan merasa lebih hidup ketika menyenangkan orang yang dicintai, sekaligus takut kehilangan dirinya jika tidak memenuhi permintaannya.

Bagaimana cara mengurangi rasa obsesi & terlalu cinta?

“Apa bedanya cinta dan obsesi?” Kalau sulit membedakan ini, kitaakan keliru pilih pasangan untuk hubungan jangka panjang.

Cinta adalah rasa kepedulian dan/atau kemelekatan terhadap obyek afeksi. seseorang yang penuh cinta akan mengekspresikannya dalam bentuk positif dan konstruktif seperti memberi, merawat, menolong, memperbaiki, mendorong, membebaskan, dan termasuk mengorbankan diri agar pasangannya jadi lebih baik, indah, bahagia, sukses, berkembang, dsb..

Sedangkan obsesi adalah rasa mabuk, tergila-gila, dan/atau kecanduan. Pikiran kita terfokus pada obyek afeksi bukan karena ingin dia bahagia, melainkan karena kehadirannya terasa enak memuaskan bagi kita (alias egois). Tidak ada (ataupun sedikit sekali) kepedulian pada pasangan, yang ada hanyalah kebutuhan dan kehausan akan dia. Sama seperti seorang pecandu dan pemabuk memandang obat dan minuman favoritnya.

Baca Juga:  Sunk Cost Fallacy Dalam Wujud Toxic Relationship dan Cara Mengakhiri Hubungan Toxic

Seseorang yang obsesif dipenuhi fantasi tentang kenikmatan dan kepuasan. Dia butuh pasangannya untuk merasa diri lebih tenang, lebih baik, lebih bahagia, lebih berguna, lebih percaya diri, lebih sempurna, dsb.

Langkah pertama yang dapat dilakukan untuk mengatasi perilaku obsesif dalam fenomena bucin yang berlebihan adalah dengan mengenali masalahnya. Cara ini juga dilakukan ketika melawan rasa candu terhadap apa pun.

Proses pemulihan akan cukup berat karena mungkin Anda akan menghadapi trauma atau rasa sakit di masa lalu yang belum terselesaikan. Namun, usaha dan niat tidak akan mengkhianati dan bisa menghasilkan hubungan yang sehat dan benar-benar memuaskan.

Cobalah langkah berikut ini.

  1. Melihat hubungan dari sisi yang lebih realistis.
  2. Mencoba tidak berhubungan dengan orang lain sementara waktu.
  3. Berlatih mencintai diri sendiri.

Apabila ketiga langkah di atas telah dicoba dan tidak membuahkan hasil, Anda dapat mempertimbangkan untuk berkonsultasi dengan psikolog. Konsultasi dengan psikolog atau terapis setidaknya membantu Anda mengatasi rasa sakit yang belum selesai.