Cinta, sama seperti seks, adalah sebuah pengalaman menyenangkan dan penuh penghargaan yang diciptakan oleh otak. Cinta dan hawa nafsu saling berkaitan secara ilmiah, hal ini masuk akal karena keduanya merupakan sebuah mekanisme bertahan hidup. Setiap individu memiliki pasangan untuk berhubungan seksual dengan tujuan mendapatkan keturunan dan jatuh cinta untuk merawat keturunannya dengan baik.

Dahulu cinta, kegilaan, dan kasih sayang adalah misteri besar dalam kehidupan manusia, namun dengan bantuan teknologi yang semakin canggih sekarang kita bisa melihat sendiri bagaimana kinerja otak manusia saat jatuh cinta. Cinta, adalah tingkat emosi tertinggi yang dimiliki oleh manusia namun sulit untuk didefinisikan secara gamblang. Ketika orang ditanya apa arti cinta sebenarnya? Orang akan banyak menjawab dengan inspirasi dari buku yang pernah dibacanya, lagu yang sering didengarkannya, atau puisi yang disukai.

Bagaimana analisa dan deskripsi tentang yang terjadi di dalam otak ketika perasaan romantis manusia terpicu? Kenapa saat ditinggalkan oleh orang yang kita cintai rasanya sedih seperti terjatuh dari tebing tinggi kemudian hancur kemudian kita merasa kesepian. Bagaimana mekanisme sinyal otak yang memengaruhi cinta dan kesepian ini? Mari kita cari tahu sedikit tentang hal itu.

Darimana datangnya cinta?

Menurut kajian evolusi biologi, spesies manusia tidak semerta-merta dari awal punya sistem otak yang mengenal berbagai dimensi cinta seperti yang kita alami sekarang. Sama seperti seluruh makhluk hidup berevolusi dari makhluk sel tunggal, demikian juga spesies kita berevolusi selama sekian ribu generasi sampai akhirnya memiliki organ tubuh dan otak yang sangat kompleks. Berikut adalah video sangat singkat perkembangan seluruh makhluk hidup di bumi.[1]

YouTube video

Para ahli evolusi biologi sepakat bahwa perasaan cinta dan kemampuan mencintai merupakan hasil seleksi alam yang amat sangat panjang, berakar dari motif hidup setiap makhluk hidup: berkembang biak demi mempertahankan kelangsungan genetiknya.

Ratusan ribu tahun yang lalu, spesies manusia belum mengenal ritual percintaan dan rumah tangga yang kompleks seperti kita saat ini. Apa pun yang dilakukan nenek moyang manusia adalah untuk tujuan bertahan hidup dan bereproduksi. Keluarga prasejarah sesungguhnya tidak hidup dalam pernikahan monogami yang harmonis.

Salah satu komponen penting untuk bertahan hidup adalah seorang ibu harus punya kepedulian yang tinggi terhadap anak-anaknya. Seorang ibu yang tidak terikat emosional dengan anaknya, jelas memberikan risiko anak tersebut mati terlantar atau dimangsa binatang buas. Anak-anak yang terlahir dari ibu tanpa struktur otak demikian perlahan punah terseleksi oleh alam, hingga tersisa hanya kalangan manusia punya kapasitas biologis untuk merasa sayang pada anaknya.

Karena ratusan ribu tahun yang lalu dunia masih sangat keterlaluan keras dan kejamnya, rasa sayang dan perlindungan ibu masih kurang cukup mengamankan kesempatan hidup sang anak. Itu sebabnya proses seleksi alam kembali bekerja: otak manusia berkembang memanfaatkan sistem biologis yang awalnya bertujuan mengikat ibu-dan-anak, otak manusia juga berkembang agar bisa terikat dengan sang ayah untuk waktu yang lebih lama. Memiliki dua orang tua berarti kesempatan anak untuk hidup sampai dewasa lebih besar.

Ayah dan ibu dibuat merasa melekat (istilah teknisnya pair bonding), masa depan anak pun akan lebih terjamin dan selamat. Anak yang berasal dari pasangan yang terikat membawa gen orang tuanya, akan menjadi dewasa, kawin dan mendapatkan keturunan lagi. Anak yang orang tuanya tidak memiliki otak yang bertujuan mengikat pasangannya kemungkinan bertahan hidup kecil, dan gen anak yang membawa “sifat otak”, “tidak membuat pasangan terikat” mati sebelum dewasa, tidak memiliki keturunan dan akhirnya gen tersebut punah [2].

“Romantic love provides a potent motivational push toward the kind of devotion and commitment required for the huge investment needed to support a mate and raise children successfully.”

Pair-Bonding, Romantic Love, and Evolution: The Curious Case of Homo sapiens [3]

Itu sebabnya setelah sekian tahun, perasaan lekat (cinta) pada pasangan itu perlahan memudar dan hilang. Perasaan-perasaan itu sebenarnya hanya dimaksudkan untuk mengikat ayah-ibu sampai anaknya besar, tidak untuk bertahan dalam ikatan pernikahan seumur hidup. Otak manusia modern memang mengenal cinta, tapi bukan cinta yang suci, permanen, tak bersyarat seperti yang kita pikir selama ini. Begitulah skema terbaik alam sampai akhirnya otak manusia (homo sapiens), memiliki sistem untuk perasaan cinta, sayang, dan sejenisnya. Secara biologis, otak manusia di jaman modern ini masih sama persis seperti nenek moyang manusia jaman prasejarah.

Baca Juga:  Stockholm Sindrom, Ketika Korban Mencintai Pelaku Kekerasan

Pengertian cinta menurut biologi

Cinta adalah fenomena biologi kompleks berupa aktivitas menyenangkan di otak. Bentuk emosi yang menyenangkan ini melibatkan proses yang rumit dalam sistem limbik. Endorfin dan mekanisme morfin endogen dan jalur otoregulasi oksida nitrit memainkan peranan dalam proses ini.[4]

Secara alami, aktivitas yang menyenangkan diperlukan tubuh untuk bertahan dan sebagai motivasi insting, serta mengatur perilaku biologis yang bermanfaat seperti makan, minum, seksual, dan reproduksi. Cinta adalah kombinasi antara konsep fisiologis keibuan, romantika, seksual, kasih sayang yang menunjukkan status neurobiologis seseorang. Dari sudut pandang praktis medis , konsep ini dapat diterjemahkan sebagai suatu penyembuhan alami oleh tubuh. Dengan demikian cinta, kesenangan dan gairah seksual memiliki potensi sebagai penurun stres yang bermanfaat terkait dengan kelangsungan makhluk hidup sebagai suatu spesies dan memiliki fungsi biologis yang krusial.[4][5]

Cinta dapat diterjemahkan sebagai suatu perasaan yang kuat dari rasa kasih sayang atau perasaan suka terhadap seseorang, atau benda, gairah seksual, atau hubungan seksual secara umum. Sehingga dapat dikatakan bahwa cinta merupakan emosi yang berasosiasi dengan aktivitas sosial, atau keinginan, dan hasrat, serta partisipasi keterlibatan individual di dalamnya.[4]

Hormon yang membuat manusia jatuh cinta

Ada tiga hormon utama dalam otak yang berkaitan dengan cinta, yaitu dopamine, oksitosin, dan vasopressin. Dopamine adalah hormon yang memainkan peran penting dalam gairah seksual dan perasaan romantis. Ketika kita merasa sangat bahagia melihat wajah orang yang kita cintai maka saat itu otak kita dibanjiri dopamin.

Hormon oksitosin dan vasopressin lebih erat kaitannya dengan keterikatan dan ikatan. Kedua hormon ini merupakan hormon kunci dalam keterikatan romantik dan keibuan. Hormon ini dilepaskan saat manusia orgasme, persalinan dan menyusui. Konsentrasi hormon di otak juga meningkat ketika kita dalam fase awal pengikatan pasangan.

Namun, yang tidak kalah menarik adalah apa yang tidak diaktifkan. Saat melihat kekasih kita, area utama otak kita mengurangi aktivasi di area amigdala. Amigdala erat kaitannya dengan saat manusia menghadapi ancaman, marah dan ketakutan. Jika ada penurunan aktifasi di area amigdala berarti rasa ketakutan manusia sedang menurun. Mungkin ini sebab yang menjelaskan kenapa kita merasa nyaman dan bahagia berada dalam pelukan orang yang kita cintai. Penurunan aktifitas amigdala juga terjadi saat manusia orgasme. Itulah kenapa hanya ada rasa puas dan bahagia ketika orgasme.

hormon jatuh cinta

Tahap dan proses saat jatuh cinta

Saat manusia benar-benar merasakan jatuh cinta adalah momen yang sangat menakjubkan. Dengan campuran senyawa kimia di otak yang tidak bisa ditahan, otak membujuk manusia untuk jatuh cinta. Namun, apa alasan jatuh cinta bisa terjadi? Apakah ini sesuatu yang natural untuk menjaga spesies manusia tetap hidup?

Sudut pandang neurobiologi menjelaskan bahwa cinta dan perasaan emosional lainnya tidak hanya terdiri dari suatu konsep neuroanatomi yang melibatkan hubungan bagian-bagian dalam otak, namun juga konsep fungsional yang melibatkan jalur berbagai neurotransmiter yang kompleks.[5]

YouTube video

Cinta di dalam otak manusia adalah reaksi kimia yang bertujuan untuk bereproduksi, makanya dia bisa datang dan pergi begitu saja ketika tujuan itu tercapai yaitu memiliki keturunan. Apabila kita tidak mengerti memainkan senyawa kimia tersebut, wajar saja ada banyak rumah tangga yang collapse jika dimulai dan dibangun berdasarkan perasaan cinta saja.

Cinta bukanlah emosi tunggal, melainkan kumpulan perasaan dari tiga sistem lust, attraction, dan attachment yang telah berevolusi selama ratusan ribu tahun. Otak manusia memunculkan cinta lewat tiga sirkuit tersebut. Jika ada gangguan pada sirkuit itu, maka orangnya akan alami gangguan juga dalam mengekspresikan, menikmati, menjalani (hubungan) cinta[6].

Tiga tahap dan proses saat jatuh cinta, yaitu:

proses jatuh cinta

Tahap pertama, hawa nafsu (lust): testosteron dan estrogen masuk

Hawa nafsu (lust) didorong oleh keinginan akan kepuasan seksual. Berdasarkan evolusi biologi nafsu seksual berasal dari kebutuhan manusia untuk berkembang biak, kebutuhan yang sama dimiliki semua makhluk hidup. Melalui reproduksi, organisme mewariskan gen mereka, dan dengan demikian spesies tersebut tidak akan punah. Saat melakukan hubungan seksual dengan tujuan reproduksi, hormon testosteron dan estrogen bekerja.

Baca Juga:  Penjelasan neurosains bagaimana proses yang terjadi di otak ketika patah hati

Hipotalamus berperan besar dalam proses reproduksi manusia, hipotalamus merangsang produksi hormon testosteron dan estrogen dari testis dan ovarium. Testosteron dan Estrogen adalah steroid, yang masing-masing merupakan hormon seks untuk wanita dan pria. Meskipun senyawa kimia ini sering distereotipkan sebagai “laki-laki” dan “perempuan”, faktanya keduanya berperan dalam tubuh laki-laki maupun perempuan.

Testosteron yang memberi libido dan dorongan seks pada semua orang. Hormon ini meningkat saat manusia sedang jatuh cinta. Pengaruh dari hormon estrogen kurang terlihat, tetapi beberapa wanita melaporkan bahwa mereka lebih termotivasi secara seksual saat mereka berovulasi, ketika tingkat estrogen paling tinggi.

Tahap kedua, ketertarikan (attraction): dopamin dan adrenalin dilepaskan

Saat seseorang jatuh cinta, otak manusia mulai mengirimkan sinyal yang sangat cepat. Jantung berdebar kencang dan telapak tangan berkeringat, hormon adrenalin dilepaskan dari neuron. Kemudian, ketika seseorang dekat dengan kekasihnya, dopamin dilepaskan. Pelemasan dopamin memicu euforia serta perasaan bahagia, energi meningkat, kebutuhan untuk tidur atau makan berkurang, dan perhatian hanya terfokus pada hubungan percintaan. Dopamin menyebabkan seseorang merasa sangat senang (feel good state).

Phenylethylamine (PEA) adalah bahan kimia yang bertanggung jawab untuk melepaskan adrenalin dan dopamin. Dopamin dilepaskan oleh hipotalamus yang merupakan struktur yang berfungsi sebagai penghubung antara sistem saraf dengan endokrin. Secara biologis, dengan kombinasi dopamin, adrenalin, dan PEA di tubuh kita, bisa membuat manusia mengalami pengalaman serperti mirip dengan mabuk kokain. Hal tersebut menjelaskan mengapa beberapa minggu atau beberapa bulan saat menjalin suatu hubungan bisa sangat menggembirakan dan bahkan melelahkan.

Dopamin adalah senyawa kimia di otak yang dilepaskan saat kita melakukan hal-hal yang menyenangkan. Saat menjalin hubungan romansa, menghabiskan waktu bersama orang yang dicintai dan berhubungan seks adalah hal yang menyenangkan yang menyebabkan pelepasan dopamin. Tingkat dopamin dan hormon norepinefrin yang tinggi, dilepaskan selama proses ketertarikan. Senyawa kimia ini membuat kita pusing, energik, dan gembira, bahkan menyebabkan penurunan nafsu makan dan insomnia, yang berarti kita sebenarnya bisa begitu “jatuh cinta” sehingga tidak bisa makan dan tidak bisa tidur. Faktanya, norepinefrin, juga dikenal sebagai adrenalin, mungkin terdengar tidak asing. Adrenalin berperan penting dalam Fight or Flight respons, yang bekerja sangat cepat saat kita stres dan membuat kita tetap waspada.

Pemindaian otak orang yang sedang jatuh cinta benar-benar menunjukkan bahwa pusat “reward” di otak, termasuk area tegmental ventral dan nukleus kaudatus, menyala sangat terang sama seperti ketika orang-orang diperlihatkan foto seseorang yang sangat mereka sukai, dibandingkan dengan ketika ditunjukkan foto seseorang yang mereka rasa netral seperti foto teman sekolah.[7]

Terakhir, ketertarikan tampaknya mengarah pada penurunan serotonin, hormon yang mempengaruhi nafsu makan dan suasana hati. Menariknya, orang yang menderita gangguan obsesif-kompulsif juga memiliki kadar serotonin yang rendah, membuat para ilmuwan berspekulasi bahwa inilah yang mendasari rasa tergila-gila yang menjadi ciri tahap awal cinta.[8]

Tahap terakhir, keterikatan (attachment): Oksitosin sang hormon cinta

Terakhir, keterikatan adalah faktor utama dalam hubungan jangka panjang. Dalam jangka panjang, dua hormon lainnya yang banyak dilepaskan ketika terlibat secara emosional: “hormon keterikatan” yaitu oksitosin dan vasopresin.

Oksitosin adalah hormon yang berada di otak. Ketika hormon oksitosin dilepaskan di otak, akan menghasilkan perasaan keterikatan. Oksitosin juga dilepaskan saat orgasme, itulah sebabnya pasangan merasa lebih dekat satu sama lain setelah mereka berhubungan seks. Oksitosin juga dilepaskan saat melahirkan dan sebagian bertanggung jawab atas ikatan kuat antara ibu dan bayi (oksitosin berasal dari bahasa Yunani: “οξυτοκίνη”, yang berarti “kelahiran cepat”). Jadi, jika kita merasakan dorongan untuk menonton film di rumah pada malam hari dengan berpelukan dengan kekasih kita, itu mungkin oksitosin yang sedang bekerja.

Romantic love evolved to enable you to focus your energy on just one person at a time, conserving time and energy. The sex drive evolved to get you out there looking for partners. Attachment, the feeling of security you can feel with a long-term partner, evolved to help you stay together long enough to raise kids.

Helen Fisher, Rutgers University

Vasopresin adalah hormon penting lainnya dalam hubungan. Ilmuwan mempelajari spesies “prairie vole“, yang dikenal monogami dan menemukan vasopresin seperti pada manusia. Ketika para peneliti memperkenalkan reseptor vasopresin ke tikus “meadow vole“, sepupu dari “prairie vole“, para “meadow vole” yang playboy ini mengubah cara mereka dan terpaku pada satu betina, memilih untuk kawin hanya dengannya, bahkan ketika betina “meadow vole” lain mencoba menggoda mereka[9].

Baca Juga:  Pengertian Dan Jenis-Jenis Bias Kognitif Sering Terjadi Pada Otak Manusia

Cinta itu tidak rasional

Penilaian dan logika manusia, dimana ketiga hal ini akan terlempar jauh saat manusia sedang jatuh cinta. Penyebabnya adalah penurunan aktifasi area otak frontal cortex yang bisa diterjemahkan menjadi pelonggaran kriteria penilaian yang digunakan manusia untuk menilai orang lain.

Misalnya, saat jatuh cinta, yang dilihat dari orang yang kita cintai hanyalah kelebihannya. Kalaupun ada keburukannya maka penilaian menjadi berubah dan menganggap keburukan itu bukan hal penting yang harus dipertimbangkan. Secara ilmiah, korteks frontal manusia dibius saat seseorang jatuh cinta, sehingga banyak orang menyebutkan kalau cinta itu buta. Dan, ilmu saraf juga membuktikan bahwa cinta itu tidak logis. Coba nonton video di bawah ini.

YouTube video

Ketika seseorang sedih dan merasa kesepian karena ditinggalkan oleh kekasih sehingga membuat individu tersebut terpuruk, merasa tidak berguna bahkan berniat merusak diri sendiri, saat itulah korteks frontal sedang sangat menurun. Kita tidak bisa melihat yang seharusnya dilihat karena kita terbutakan oleh cinta.

Hampir semua masalah hubungan cinta dan rumah tangga yang kita alami di kehidupan sehari-hari, termasuk diberitakan oleh media massa, itu terjadi karena ketidaktahuan kita tentang fenomena cinta di atas. Misalnya:

  1. Banyak orang begitu cepat meyakini dan menikahi seseorang hanya karena merasakan gejolak cinta di hati. Padahal itu bukan tanda kecocokan ataupun jodoh; itu sekedar gejolak testosterone, dopamine, adrenaline, dsb yang berusaha mendorong manusia untuk bereproduksi.
  2. Banyak orang jadi sangat cinta pada seseorang yang abusive ataupun buruk, setelah mereka terbawa suasana bercumbu dan berhubungan seksual. Mereka jadi merasa kuat, sabar, dan mampu memperbaiki, padahal itu adalah efek oxytocin dan vasopressin yang mengikat pasca aktivitas seks.
  3. Banyak orang bosan dan mengabaikan komitmen karena merasa cintanya tidak sama lagi. Padahal perasaan cinta memang gejolak kimiawi yang senantiasa berubah dan berganti, datang dan pergi, sesuai dengan kondisi-kondisi yang memicu.
  4. Banyak orang berselingkuh karena berpikir cinta sejati tidak akan membuatnya berpaling. Jika bertemu seseorang yang membangkitkan selera, orang yang pertama dulu langsung dianggap bukan soulmate. Padahal sebenarnya otak kita memang bisa memicu perasaan yang berbeda pada orang yang berbeda di saat yang bersamaan.
  5. Banyak orang bertahan dalam toxic relationship karena berpikir kekuatan cintanya bisa memperbaiki dan mengubah pasangannya. Padahal sebenarnya cinta kita hanya ada dalam pengaruh dan kendali kita, tidak bisa menyentuh -apalagi mengubah cinta yang ada di dalam otak pasangan.

Cinta itu nyata, tapi bukan kekuatan positif yang akan menjawab dan memperbaiki segalanya. Cinta merupakan gejolak biologis yang menyenangkan, sekaligus juga bisa membahayakan. Ketika cinta berbalas, hari-hari terasa begitu berwarna indah. Tapi bila kita mengikutinya saja tanpa melibatkan logika, cinta akan membawa kita pada perilaku, keputusan, dan keadaan yang merusak hidup. Lebih dari 10% pembunuhan di Amerika Serikat dilakukan oleh pasangan korban[10]. Atau ketika patah hati, rasa cinta tak berbalas dan hancur hati itu bisa membuat kita depresi, menarik diri dari masyarakat, bahkan melukai diri sendiri[11].

Memahami dan menerima cinta sebagai gejolak otak bukanlah upaya untuk menepis kekuatannya. Ini justru upaya untuk memegang kendali dan melindungi diri dari berbagai kekeliruan atau kecelakaan lainnya.

Referensi:
  1. https://theconversation.com/the-origin-and-evolution-of-love-131109[]
  2. https://www.researchgate.net/publication/329539118_Th_e_Evolution_of_Love_in_Humans[]
  3. https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/1745691614561683[]
  4. Esch T, Stefano GB. The neurobiology of love. Neuroendocrinology Letters 2005;26(3): 175-92[][][]
  5. Zeki S. The neurobiology of love. Federation of European Biochemical Societies Letters 2007;581:2575-79.[][]
  6. https://link.springer.com/article/10.1023/A:1019888024255[]
  7. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4327739/[]
  8. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/9829022/#:~:text=Background%3A%20Serotonin%20may%20play%20a,serotonin%20reuptake%20inhibitors%20(SSRIs []
  9. http://news.bbc.co.uk/2/hi/science/nature/3812483.stm[]
  10. https://ucr.fbi.gov/crime-in-the-u.s/2011/crime-in-the-u.s.-2011/tables/expanded-homicide-data-table-10[]
  11. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/2016673/[]