Di sinilah pertanyaan yang selalu muncul dalam benak kita bermula ketika melihat seseorang yang mencoba bertahan dengan pasangannya yang ringan tangan. “Kenapa nggak minta putus saja sih?” Sayangnya, para korban masih menyimpan harapan bahwa pasangannya akan berubah suatu hari nanti. Di samping itu, dia melihat bahwa teman dan keluarga adalah ancaman bagi hubungan mereka. Ketika keluarga berusaha ikut campur, pasangan akan merasa emosi dan melampiaskannya kepada korban. Maka dari itu, korban berusaha agar orang-orang terdekatnya nggak ikut campur.

Stockholm syndrome atau sindrom Stockholm adalah gangguan psikologis pada korban penyanderaan yang membuat mereka merasa simpati atau bahkan muncul rasa kasih sayang terhadap pelaku. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Mari ketahui jawabannya dalam artikel berikut ini.[1]

Sindrom ini paling sering dikaitkan dengan Patty Hearst, putri pemilik surat kabar di California yang diculik oleh kelompok militan pendukung revolusi pada 1974. Ia diketahui memiliki simpati pada penculiknya. Bahkan, bergabung dengan mereka dalam kasus perampokan secara sukarela. Patty pun ditangkap dan diganjar hukuman penjara atas tindakannya tersebut.

Meskipun begitu, pengacara Patty, Bailey, mengatakan bahwa otak gadis berusia 19 tahun itu telah dicuci oleh penculiknya. Ia juga menjelaskan bahwa Patty mengalami sindrom Stockholm–istilah yang diciptakan untuk menggambarkan perasaan tidak masuk akal tawanan terhadap penculik mereka.[2]

Sindrom ini muncul kembali ketika media melaporkan kasus Natascha Kampusch. Natasha diculik saat ia berusia 10 tahun oleh Wolfgang Priklopil dan disekap di basemen selama delapan tahun.

Bukannya benci dengan penculiknya, Natasha justru menangis ketika ia  mendengar kabar Wolfgang meninggal. Ia bahkan menyalakan lilin untuk Wolfgang yang terbujur kaku di kamar mayat.

Sementara itu, warga Swedia mengetahui empat orang yang mengalami sindrom Stockholm. Yakni, para karyawan bank Kreditbanken: Birgitta Lundblad, Elisabeth Oldgren, Kristin Ehnmark dan Sven Safstrom.

Pada 23 Agustus 1973, mereka berempat menjadi sandera Jan-Erik Olsson, perampok bank Kreditbanken di Stockholm, Swedia. Enam hari kemudian, ketika korban berhasil diselamatkan, diketahui bahwa mereka menjalin hubungan positif dengan peyanderanya dalam kurun waktu tersebut.

Asal mula sindrom Stockholm

Sindrom Stockholm diciptakan oleh psikiater dan kriminolog Nils Bejerot. Dr. Frank Ochberg yang juga psikiater, tergelitik dengan fenomena ini. Ia pun menjelaskan sindrom ini kepada FBI dan Scotland Yard pada 1970-an.

stockholm syndrome
stockholm syndrome

Saat itu, dr. Frank sedang membantu US National Task Force on Terrorism and Disorder merancang strategi untuk situasi penyanderaan.

Kriteria seseorang yang mengidap sindrom Stockholm, meliputi hal berikut: “Pertama, korban akan mengalami sesuatu yang menakutkan dan tak terduga untuk pertama kalinya. Mereka yakin akan mati.”

“Lalu, korban berada pada tahap infantilisasi–kondisi di mana mereka seperti anak-anak lagi: tidak bisa makan, berbicara, atau buang air tanpa izin penculiknya.”

“Kebaikan kecil penculik–seperti memberikan makanan–mendorong rasa syukur ‘primitif’ seolah mendapat kado kehidupan,” papar dr. Frank.

Menurutnya, inilah penyebab mengapa korban memiliki perasaan primitif yang positif terhadap penculiknya. “Mereka berada dalam penyangkalan. Menolak percaya bahwa orang ini yang membuat mereka menderita. Dalam pikiran korban, sang penyandera justru seseorang yang membuat mereka tetap hidup,” tambahnya.

Baca Juga:  Trauma Bonding, Alasan Korban Bertahan dan Membenarkan Pelaku Kekerasan

Pertengkaran dan perbedaan pendapat itu wajar, namun ketika pertengkaran dalam hubungan terjadi begitu sering dan melibatkan kekerasan fisik maupun mental, rasanya kita semua setuju kalau hubungan tersebut sudah nggak sehat. Tapi dibalik hubungan yang menyiksa, ternyata ada lho orang-orang yang sulit keluar dari zona berbahaya tersebut.

Ada sebuah istilah dalam ilmu psikologi dan kriminologi yaitu Stockholm syndrome, yaitu situasi ketika seorang korban penculikan menaruh empati, membela bahkan melindungi penculiknya. Dalam kehidupan sehari-hari, ternyata Stockholm syndrome nggak hanya terjadi pada kasus penculikan. Dalam hubungan percintaan, banyak pasangan yang mengalami Stockholm syndrome, di mana seseorang nggak bisa atau nggak ingin menjauhi pasangannya yang kerap melakukan kekerasan. 

Pernahkah kita mendengar cerita temanmu yang diperlakukan secara kasar oleh pasangannya? Meski diperlakukan secara kasar ia tetap mempertahankan hubungannya. Alasannya, karena ia berpikir bahwa pasangannya akan merubah perilakunya. Bila pernah mendengar atau bahkan pernah mengalami, maka kamu mungkin sedang jatuh ke jurang bernama Stockholm syndrome.
Stockholm syndrome berawal dari sebuah peristiwa perampokan bank pada 1973 di Stockholm, Swedia. Jan-Erik Olsson yang menjadi aktor perampokan menyandera para pegawai bank selama lima hari penuh. Anehnya, ketika para sandera berhasil dibebaskan, mereka diketahui menjalin hubungan positif dengan si perampok selama penyanderaan. Tak sampai disitu, mereka bahkan menolak bersaksi untuk memperkuat gugatan pada Jan-ErikOlsson.
De Fabrique dan tiga peneliti lain dalam buletin “Undertstanding Stockholm Syndrome” yang terbit pada 2007 menjelaskan fenomena ini sebagai suatu ikatan psikologis antara sandera dengan pelaku penyanderaan atau kondisi serupa dimana ada satu individu yang memiliki kekuatan dominan untuk mengintimidasi hidup korbannya. Namun, seiring berjalannya waktu, fenomena ini dapat ditemukan dalam hubungan sosial; keluarga, pertemanan, persahabatan, relasi kerja, ataupun percintaan.
Lebih lanjut, Carver, seorang Psikolog klinis pada tahun 2009 mengemukakan bahwa Stockholm syndrome dapat ditemukan dalam hubungan romantis atau pacaran. Sesuatu yang menakutkan dan menyedihkan bukan? Kamu bertahan dan tetap mencintai seseorang dikarenakan ia menyakitimu. Graham bersama enam kawannya dalam penelitian yang berjudul “A Scale forIdentifying Stockholm Syndrome Reactions in Young Dating Women: Factor Structure, Reliability, and Validity” pada 1995 menambahkan bahwa terdapat ikatan paradoks (bertentangan) yang menjadi strategi dengan tujuan sebagai coping terhadap kekerasan yang dialami dalam Stockholm Syndrome.Ikatan paradoks itu kemudian mengubah situasi yang seharusnya negatif menjadi positif. Para sandera atau pihak yang menjadi korban memunculkan sisi baik dari pelaku dengan harapan bahwa  pelaku  akan  merubah  perilakunya. Harapan ini kemudian memproduksi suatu ikatan yang tidak sehat dan menjadi alasan korban “menaruh hati” pada situasi kekerasan tersebut.[3]
Lalu mengapa ikatan yang tidak sehat ini malah membuat korban menjadi tertarik pada pelaku?
Graham, Rawlings dan Rigsby dalam buku “Loving to Survive: Sexual Terror, Men’s Violence, and Women’s Lives” yang terbit pada 1994 mengemukakan  bahwa  Stockholm  syndrome tidak akan terjadi  tanpa adanya distorsi kognitif dalam diri korban. Dari 18 distorsi yang berasosiasi  dengan  sindrom  ini  diantaranya  adalah  menyangkal kekerasan yang dialami, menyalahkan diri sendiri atas kekerasan yang terjadi, dan mencoba merasionalisasikan kekerasan yang dilakukan oleh pelaku.
Dalam jurnal tersebut, dijelaskan pula bahwa distorsi kognitif yang muncul dalam diri korban disebabkan oleh tarik-menarik antara ketidaksadaran dengan orientasi korban terhadap pelaku kekerasan. Graham dan kawan-kawan pada tahun 1955 juga menjelaskan bahwa distorsi kognitif ini menjadi pemicu akan gairah fisiologis yang disebabkan oleh rasa takut dan diartikan sebagai ketertarikan.
Logikanya, korban yang mengalami kekerasan oleh pasangannya pasti akan memilih mengakhiri hubungan mereka. Namun, lain halnya dengan korban Stockholm syndrome, mereka merasa nyaman bahkan bersedia bertahan dengan kekerasan yang mereka alami. Dengan kesediaan itu, sangatlah wajar mereka memilih bertahan dan melanjutkan hubungan yang sebenarnya adalah penganiayaan berulang kali oleh pasangannya. Lalu mengapa penganiayaan yang disadari oleh korban ini tetap terjadi bahkan berkembang?
Graham dan kawan-kawannya menjelaskan bahwa terdapat empat kondisi yang membuat Stockholm syndrome mampu berkembang. Pertama, kondisi dimana terdapat ancaman terhadap korban yang akan membahayakan keselamatannya, baik secara fisik maupun psikologis. Kedua, Kondisi yang melibatkan korban mendapatkan ancaman dari pelaku untuk tidak melarikan diri atau mencoba pergi dari pelaku. Ketiga, kondisi yang membuat pelaku melarang korban untuk berhubungan dengan orang lain. Dan yang terakhir, kondisi yang menunjukkan pelaku memiliki kebaikan-kebaikan pada korbannya dalam bentuk apapun. 
Sadar atau tidak sadar, keempat kondisi tersebut menggambarkan suatu realita yang banyak terjadi di sekitar kita. Naifnya, kita menganggap kekerasan dalam pacaran sebagai sebuah konflik wajar. Tak banyak yang menyadari bahwa seseorang sedang menjadi korban dan seseorang lainnya sedang menjadi pelaku kejahatan. Hal ini tentu akan sangat merusak setiap individu yang terlibat dalam hubungan tersebut, entah si korban atau si pelaku.
Tentunya tak mudah untuk melepaskan diri dari Stockholm syndrome. Tetapi tak mudah bukan berarti mustahil. Bila kamu mengenal seseorang yang mengalami sindrom tersebut, bantulah mereka untuk bebas sebelum mereka semakin kesakitan.
Dan bila kamu sendiri yang terjerat Stockholm syndrome, maka ingatlah kata Tere Liye, “Lepaskanlah. Maka esok lusa, jika dia adalah cinta sejatimu, dia pasti akan kembali dengan cara mengagumkan. Ada saja takdir hebat yang tercipta untuk kita. Jika dia tidak kembali, maka sederhana jadinya, itu bukan cinta sejatimu.” (BLU)

Baca Juga:  Awas Jatuh Cinta! Apa Yang Terjadi Di Otak Dalam Perspektif Neurobiologi

Seperti kekerasan dalam rumah tangga

Meskipun sindrom Stockholm sudah menjadi perbincangan, namun menurut Hugh McGowan yang menghabiskan waktunya di Kepolisian New York selama 35 tahun, kasus ini jarang terjadi.

The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders and the International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems (ICD), juga mengatakan, tidak ada kriteria diagnostik yang diterima secara luas untuk mengidentifikasi sindrom ini. Apakah ia termasuk ikatan teror, trauma atau tidak termasuk dalam keduanya.

Namun, berdasarkan keterangan para psikolog, prinsip dasar kerja sindrom Stockholm bisa dikaitkan dengan situasi lain.

“Contoh klasiknya adalah kekerasan dalam rumah tangga. Ketika seseorang–terutama perempuan–memiliki ketergantungan pada pasangannya, ia cenderung tetap tinggal bersama mereka. Sang istri akan lebih merasa empati dibanding marah, saat disakiti,” kata Jennifer Wild, psikolog klinis di University of Oxford.

“Hal yang sama juga terjadi pada kekerasan anak. Ketika orangtua menyiksa anaknya secara mental atau fisik, anak tetap melindungi mereka dengan tidak mengatakan yang sebenarnya,” tambahnya.

Faktor yang Mendasari Timbulnya Stockholm Syndrome

Dalam suatu penyanderaan, para sandera umumnya akan merasa benci dan takut karena pelaku atau penculik kerap berlaku kasar dan bahkan kejam. Namun, dalam kasus Stockholm syndrome, hal yang terjadi justru sebaliknya. Para korban malah merasa simpati terhadap pelaku.[4]

Ada beberapa faktor yang mendasari munculnya Stockholm syndrome, di antaranya:

  • Para penyandera dan korban berada di dalam ruangan dan tekanan situasi yang sama.
  • Situasi penyanderaan berlangsung cukup lama, bahkan hingga beberapa hari.
  • Penyandera menunjukkan kebaikan kepada para sandera atau setidaknya menahan diri untuk tidak melukai mereka.
Baca Juga:  Pengertian Efek Dunning-Kruger, Orang Sok Pintar yang Merasa Tahu Segalanya

Para psikolog menduga jika Stockholm syndrome merupakan cara korban untuk mengatasi stres atau trauma yang berlebihan akibat penyanderaan.

Cara Menangani Stockholm Syndrome

Tidak ada pengobatan khusus bagi penderita Stockholm syndrome. Namun, psikiater akan menggunakan pola mengatasi situasi traumatis sebagaimana yang terjadi pada kondisi PTSD.

Sebagian penderita sindrom Stockholm juga akan diberikan obat yang umum digunakan oleh penderita PTSD untuk mengatasi kecemasan yang dialami.

Selain itu, terapi kelompok juga menjadi metode yang sering digunakan dalam menangani Stockholm syndrome. Penderita akan belajar untuk mengontrol emosi  dan membentuk hubungan baru dengan orang lain yang melalui situasi serupa.

Ada pula terapi keluarga untuk korban Stockholm syndrome agar dapat berbicara tentang perasaan dan kekhawatiran yang mereka rasakan secara terbuka. Dengan demikian, keluarga dapat mengetahui cara yang lebih baik dalam membantu penderita sindrom tersebut.

Stockholm syndrome merupakan kondisi tidak umum yang kerap dirasakan oleh para korban penyanderaan. Bila Anda atau keluarga dan kerabat Anda ada yang mengalami gejala Stockholm syndrome, segera konsultasikan ke psikiater agar penanganan yang tepat dapat segera dilakukan.

Referensi:
  1. Carver, J.M. (2009). Love and Stockholm Syndrome: The Mystery of Loving an Abuser. Diakses pada 23 Juni 2020 dari https://mental-health-matters.com/love-and-stockholm-syndrome-the-mystery-of-loving-an-abuser/ []
  2. De Fabrique, N.D., Romano, S.J., Vecchi, G.M., & Van Hasselt, V.B. (2007). Understanding Stockholm Syndrome. FBI Law Enforcement Bulletin. 76, 10-15. []
  3. Graham, D.L.R., Rawlings, E.I., & Rigsby, R.K. (1994). Loving to Survive: Sexual Terror, Men’s Violence, and Women’s Lives. New York: New York University Press. []
  4. raham, D.L.R., Rawlings, E.I., Ihms, K., Latimer, D., Foliano, J., Thompson, A., Hacker, R. (1995). A Scale for Identifying “Stockholm Syndrome” Reactions in Young Dating Women: Factor Structure, Reliability, and Validity. Violence and Victims, 10, 1, 3-22
    TereLiye.(2014). Rindu. Jakarta Selatan: Republika. []