Pelajar-pelajar bumiputra dari sekolah Koning Williem III, Batavia, 1919-1920
Pelajar-pelajar bumiputra dari sekolah Koning Williem III, Batavia, 1919-1920

Jika kita mencoba untuk menjelajahi masa lalu, saya orang yang berpikir bahwa pintu yang harus dituju pertama kali adalah yang terdekat: keluarga kita sendiri. Apalagi jika anda, setidaknya sampai pada usia remaja sudah memiliki ketertarikan pada dunia sejarah, masih bisa bertemu dan ngobrol-ngobrol entah dengan kakek, nenek, buyut, dan tetua-tetua lainnya dalam keluarga besar, bagi saya hal itu merupakan di antara kilauan mutiara untuk menerangi bayangan kita tentang tempo doeloe. Setidaknya, kita memulainya pada tataran lingkup pengalaman individu mereka. Syukurlah jika ada dari mereka yang masih berumur panjang sampai sekarang, mungkin masih banyak yang perlu diingat.

Singkat cerita, saya coba berpikir sejenak, apakah realistis ketika populasi golongan Eropa yang nyatanya tidak sampai 0,5% dari total 60 juta lebih penduduk di Hindia Belanda yang teramat luas dan berlangsung selama ratusan tahun itu menggambarkan kehidupan kaum mayoritas yakni pribumi dalam satu warna? Tak pernahkah terbesit pertanyaan di otak anda: apakah penjajahan sepanjang itu bisa bertahan tanpa keterlibatan pribumi; apakah tak ada orang Belanda yang menentang kebijakan negaranya; tak adakah orang pribumi yang justru menentang perlawanan terhadap penjajahan; atau apakah kehidupan masa itu sebenarnya tak jauh berbeda dengan keragaman sosial dan individu warganya sebagaimana umumnya di sebuah negara?

Seolah-olah sejarah sebatas terdiri dari konflik baik lawan buruk. Lebih celaka, ketika perbedaan itu dianggap bersumber dari perbedaan rasial. Semua yang baik adalah “pribumi.” Yang jahat semuanya bukan “pribumi.” Warna-warni kisah pengalaman individu atau kelompok masyarakat yang beragam, berubah-ubah, dan berlapis-lapis tidak mendapat tempat.

Potret suasana masyarakat di Batavia
Potret suasana masyarakat di Batavia

Dari sinilah saya mulai bangun menyadari dan mempertanyakan banyak hal dari apa yang dilukiskan di dalam buku-buku sejarah semasa sekolah dulu berkenaan dengan zaman kolonial, yang kalau kata Prof Ariel Heryanto, akademisi yang selalu berpikir terbuka dan kritis soal sejarah dan kekuasaan itu, bahwa penyakit terparah dalam pelajaran sejarah nasional di Indonesia adalah penggambaran berbagai konflik secara karikatural hitam-putih.

Secara mendasar, abstrak dan garis besar, kolonialisme sebagai sebuah sistem pemerintahan atau sosial layak dihapuskan, karena merupakan sebuah penindasan dan penghisapan antar golongan masyarakat. Namun dalam wujudnya yang konkret sehari-hari, kolonialisme menampilkan wajah yang jauh lebih beraneka, tidak hanya bersifat opresif atau menghisap. Dan juga, kolonialisme, seperti halnya monarkisme, teokrasi, demokrasi, tidaklah sama implementasinya di satu negara dengan negara lainnya. Kolonisasi oleh Inggris, dengan Belanda, dengan Portugis, dengan Dai Nippon, dengan Itali, dengan Nazi Jerman, dengan Zionis Israel, tidaklah seragam. Bahkan dalam banyak masyarakat yang secara resmi sudah merdeka dari kolonialisme (asing), watak kolonialisme tidak dengan sendirinya lenyap, tetapi masih mewarnai kerja lembaga dan pejabat serta kehidupan sehari-hari warga swastanya.

Kolonialisme Dengan Kolaborasi Kekuasaan Lokal

Yang perlu digarisbawahi, kolonialisme yang berlangsung di Indonesia masa itu bukannya tanpa legitimasi lokal, ia terbentuk di atas relasi antarkekuasaan (asing-lokal) dalam kerjasama antar-golongan latar belakang ras, etnis dan warna kulit beraneka. Jumlah orang Eropa di seluruh tanah jajahan Hindia Belanda teramat kecil dibandingkan dengan penduduk setempat. Tanpa dukungan besar-besaran dari penduduk lokal, mereka tidak berpeluang mendirikan koloninya. Berkat jasa besar penduduk setempatlah rezim kolonial terpelihara lebih dari seabad.

Hal itu seharusnya sudah jelas bahkan bagi para siswa sekolah dasar: betapa sedikitnya jumlah orang berkulit-putih yang mau dan mampu berlayar mengarungi samudra, menempuh jarak separoh bola bumi selama berbulan-bulan, dan kemudian tinggal di Hindia Belanda selama masa penjajahan. Bahkan seandainya ada beberapa kali lipat lebih banyak orang Belanda yang berbondong-bondong meninggalkan tanah airnya, dan tiba dengan selamat di kepulauan Hindia Belanda ini, jumlahnya tidak akan pernah cukup untuk mengatur pemerintahan di wilayah Nusantara seluas ini. Tetapi karena tidak banyak dikemukakan dalam buku dan kelas pelajaran sejarah, atau pidato atau novel atau film, hal ini seakan-akan terabaikan dalam berbagai diskusi tentang Hindia Belanda.

Perlu diingat pula, istilah “kolonial” tidak punya bobot negatif seberat istilah “penjajahan”. Akar-katanya “koloni”, punya arti “wilayah huni” yang bersifat netral, dan unsur ini tidak hadir dalam istilah “penjajahan” yang penuh amuk-dendam. Karena Bahasa Indonesia hanya punya istilah “penjajahan” untuk mengacu pada “kolonialisme”, sulit bagi penutur bahasa Indonesia untuk melihat kompleksitas kolonialisme, atau berbicara tentang penjajahan tanpa cenderung marah-marah. Yang kelihatan dari istilah itu hanya satu warna, yakni kejahatan.

Padahal jika ingin membahas ini lebih jeluk, ketika pertama kali menginjakkan kaki di Nusantara pada pengujung abad ke-16, orang-orang Belanda hanya mengenal satu urusan, yakni mencari sumber rempah untuk komoditas perdagangan barunya. Jalan niaga mereka di beberapa titik di Hindia Timur semakin terbuka setelah kongsi dagang VOC terbentuk pada 1602. Mereka jadi punya kekuatan untuk bernegosiasi langsung dengan penguasa setempat.

Awalnya, orang-orang Belanda tidak tertarik mencampuri urusan politik di sela kegiatan dagang. Seperti yang dicatat Vlekke dalam Nusantara: Sejarah Indonesia[1] (2008: hlm 135), sampai awal abad ke-17 orang Eropa tidak membawa perubahan dalam konstelasi politik di Nusantara. Orang Belanda sendiri sangat membatasi aktivitas perdagangan mereka di wilayah Kesultanan Jambi dan Palembang, serta beberapa titik berlabuh di Maluku.

“Perdagangan mereka terutama bergantung pada kehendak baik dari penguasa setempat […] Sultan-sultan itu bertindak sebagai perantara antara petani lada di negeri mereka dan para pedagang asing,” terang Vlekke.

Keadaan mulai berubah setelah VOC menyadari bahwa ternyata ke mana pun mereka berlabuh selalu disambut oleh konflik dan perang takhta kerajaan. Perselisihan antara para penguasa lokal itu banyak merugikan Kompeni dari sisi perdagangan.

Dr. Sri Margana[2] dalam sebuah tulisan berjudul Memahami Ulang Praktik dan Karakteristik Kolonialisme di Indonesia, mengatakan bahwa, pada abad ke-17, Nusantara telah terbagi dalam kekuasaan kerajaan-kerajaan besar dan kecil yang jumlahnya ratusan. Mereka mengembangkan sistem politik feodalistik yang umumnya patrimonialistik. Mereka hidup dalam suatu keadaan politik rumit yang diwarnai oleh peperangan dan penaklukan antar kerajaan. Selain itu, terdapat masalah konflik internal seperti pemberontakan dan konflik suksesi antar keluarga kerajaan.

Kondisi kerajaan-kerajaan Nusantara kala itu membuka celah bagi VOC yang menjalin hubungan dagang dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara untuk masuk ke dalam kekuasaan secara perlahan.

“Di Indonesia sering terjadi konflik antar kerajaan. Mereka berlomba saling menaklukkan. Untuk itu butuh sekutu, dan VOC sering mendapat tawaran menjadi sekutu,” terang Sri Margana.

Di samping itu, Margana juga mengatakan bahwa VOC datang dengan meriam besar yang menjadi daya tarik untuk orang yang berkonflik sebagai mitra untuk melawan oposisinya.

Permintaan tolong pada VOC itu tentulah tak gratis, ada sejumlah imbalan yang ditawarkan pada VOC bila berhasil mengembalikan kerajaan. Kerajaan-kerajaan yang mendapat bantuan dari Eropa harus membayarnya dengan sejumlah uang dan memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam perjanjian tertulis. Sejak 1602 hingga 200 tahun setelahnya, semuanya tertera dengan menggunakan perjanjian hitam di atas putih. Semua arsip perjanjian konsesi dagang dengan kerajaan-kerajaan Nusantara itu didapat dengan cara yang legal, bertanda tangan. Itulah mengapa VOC bisa memiliki aset dan konsesi dagang yang signifikan di Nusantara.

Sebagian sejarawan, termasuk Sri Margana, menyimpulkan bahwa kolaborasi politik tersebut sebagai invited colonialism atau kolonialisme yang diundang. Istilah ini mengandung pengertian bahwa kehadiran dan kekuasaan Belanda di Nusantara adalah hasil undangan para penguasa pribumi yang saling berkepentingan dalam politik kekuasaan baik antar kerajaan maupun sesama dinasti sendiri.

“kerajaan ini bangkrut setelah perang dan tak bisa membayar ke VOC. Akhirnya mereka membayar dengan cara lain seperti menyerahkan bandar-bandar untuk VOC,” ujar beliau.

Itu membuat VOC, bahkan ketika bangkrut dan terlilit utang pada abad ke-18 antara lain karena mereka sering mendukung perang dan tindakan korup sebagian elitnya, masih bisa menyisakan aset besar yang kemudian diambil alih oleh Pemerintah Belanda untuk menutupi utangnya. Pada saat inilah kolonisasi formal mulai dibentuk.

Willard Anderson Hanna dalam Indonesian Banda: Colonialism and its aftermath in the Nutmeg Islands, menuturkan bahwa, Hindia Belanda bukanlah tipikal koloni yang didirikan melalui emigrasi besar-besaran dari negeri induk (seperti AS dan Australia) dan hampir tidak melibatkan pemindahan penduduk asli pulau. Bukan pula koloni perkebunan yang dibangun atas impor budak (seperti Haiti dan Jamaika). Melainkan, lebih merupakan perluasan dari rantai pos-pos perdagangan VOC yang ada. Sebagai salah satu negara terkecil di dunia, tidaklah mungkin Belanda membangun tipikal settler kolonialisme.

Alfred Russel Wallace menggambarkan struktur pemerintahan kolonial tersebut dalam bukunya The Malay Archipelago:

“Mode pemerintahan yang sekarang diadopsi di Jawa adalah mempertahankan seluruh rangkaian penguasa pribumi, dari kepala desa hingga pangeran, atas nama Bupati, yang merupakan kepala-kepala distrik seukuran seperti kabupaten kecil di Inggris. Pada setiap Bupati ditempatkan seorang Residen Belanda atau Asisten Residen yang dianggap sebagai “saudara tua,” dan “instruksi”-nya diambil dalam bentuk “rekomendasi,” yang bagaimanapun secara implisit dipenuhi. Bersamaan dengan setiap Asisten Residen ada seorang Kontrolir, semacam inspektur dari penguasa-penguasa pribumi di tingkat lebih rendah, yang bertugas mengunjungi setiap desa di distrik secara berkala, memeriksa proses pengadilan penduduk asli, mendengarkan pengaduan dari kepala-kapala suku, dan mengawasi perkebunan-perkebunan pemerintah.”

Ketika Volksraad didirikan, yang merupakan DPR pada zaman Hindia Belanda, mayoritas anggota yang duduk di gedung megah itu adalah orang-orang elit pribumi.

Nuansa di Tanah Jajahan Hindia Belanda

Orang-orang pribumi dan Belanda dalam sebuah pesta
Orang-orang pribumi dan Belanda dalam sebuah pesta

Narasi besar seringkali menyapu habis nuansa, dan cenderung hanya memuaskan sentimen emosi, politik, dan sosial kita, dan bahkan dalam banyak peristiwa cuma melayani agenda politik kelompok elite. Alih-alih kita berupaya melihat setiap peristiwa dengan keluasan, narasi besar justru menjebak kita ke dalam jerat kesempitan: prasangka, sentimen, dan kebencian.

Dalam episode yang sangat panjang di masa lampau, sebuah peristiwa tak mungkin disederhanakan dalam satu atau dua narasi besar. Terlalu kompleks. Jauh dari potret “hitam-putih.” Dalam kerumitan, kita terkadang menemukan nuansa yang bisa mengusik kenyamanan narasi besar itu sendiri.

Kondisi kehidupan kolonial tak sepenuhnya diterima sebagai musibah seperti yang disarankan oleh propaganda nasionalis dan istilah “penjajahan.” Kehidupan kolonial, di antaranya, juga membawa perubahan yang menggiurkan, yakni modernitas; sebuah perubahan terbesar dalam sejarah dunia selama beberapa abad terakhir.

Corak kehidupan masyarakat berubah secara besar-besaran dengan adanya pembangunan kota, jalan raya, sekolah, rumah sakit, pabrik, perpustakaan, pelbagai teknologi baru untuk peralatan dapur, gedung hiburan dan taman, selain penjara, tentara dan pengadilan. Dampaknya sedahsyat gegar budaya akibat meledaknya internet dan media sosial pada peralihan abad 20/21.

Suasana siang hari di Surabaya tempoe doeloe
Suasana siang hari di Surabaya

Kolonialisme Belanda juga secara tidak langsung meletakkan dasar terbentuknya teritori, bahasa dan nasion Indonesia. Coba lihat para bapak bangsa seperti Boedi Oetomo, Ahmad Dahlan, Sjahrir, Cokroaminoto, Tan Malaka, Danudirja Setiabudi, dll. Mereka tidak akan pernah berpikir tentang Indonesia dan bahkan konsep nation-state bila saja mereka tidak pernah dididik secara Barat dan membaca literatur yang ditulis dalam bahasa Belanda dan Inggris. Tak berbeda dengan Sumpah Pemuda (1928). Yang mengikrarkan, seperti kebanyakan nasionalis lain, adalah kaum muda didikan sekolah kolonial.

Andai saja Nusantara tidak pernah didatangi imperialisme Eropa, kita semua bakalan tinggal di bawah monarki-monarki kecil yang berdaulat sendiri-sendiri dari Sabang sampai Merauke ini.

Tidak mengherankan istilah “Republik” dan nama “Indo-nesia” adalah ciptaan orang Eropa yang dipungut kaum nasionalis setelah bersekolah ala Eropah dan membaca buku-buku berbahasa Eropa. Indonesia tidak bisa menyebut namanya sendiri dengan istilah yang “asli pribumi.” Sejak awal kelahirannya, Indonesia bukan benda asli yang bebas, apalagi bertolak-belakang, dengan yang asing Eropah. Ibu kandung nasion ini adalah kolonialisme Hindia Belanda. Tapi kolonialisme Hindia Belanda itu tidak sama dengan bangsa Belanda.

Harus diakui, banyak yang menderita selama masa kolonial. Tapi hal yang sama juga dijumpai sesudah masa kolonial. Harus diakui pula, tak semua orang menerima dan membenarkan kolonialisme. Tapi jumlah mereka yang anti-kolonial itu—baik dari kalangan bangsa terjajah maupun penjajah—sangat kecil dibandingkan mayoritas masyarakat jajahan.

Menurut Prof Ariel Heryanto dalam diskusi “Gerakan Global Kiri dalam Perjuangan Kemerdekaan RI”[3] di Universitas Indonesia, hubungan Belanda dan Indonesia tidak melulu buruk, bahkan cenderung saling menguntungkan. Ketika Sumpah Pemuda diikrarkan, 90% pegawai pemerintahan kolonial adalah pribumi. Mereka bagian dari orang Indonesia yang sangat bangga dan bahagia menduduki jabatan atau dunia kerja bergengsi itu dengan kenikmatan gaji yang memungkinkan hidup nyaman. Di antara mereka ada yang jadi tentara kolonial. Yang lain bekerja sebagai intel yang memantau kelompok-kelompok pergerakan. Yang lain lagi jadi pengacara, jaksa atau hakim. Mereka juga berharap anaknya akan melanjutkan jejaknya.

Sejalan dengan pernyataan Prof Ariel, sejarawan Henk Schulte Nordholt menulis dalam “Modernity and cultural citizenship in the Netherlands Indies: An illustrated hypothesis,” Journal of Southeast Asian Studies 42(3), 2011, bahwa tidak semua bumiputra mendukung gerakan kemerdekaan. Meningkatnya jumlah kelas menengah bumiputra seharusnya dibarengi dengan banyaknya pemuda yang bergabung dalam gerakan kemerdekaan. Akan tetapi, Henk menunjukkan hal sebaliknya. Mereka yang merasa tentram dengan kondisinya, lebih tertarik pada karir yang bagus di pemerintah kolonial dibanding ikut gerakan kemerdekaan[4].

Menurut Justian Suhandinata dalam WNI keturunan Tionghoa dalam stabilitas ekonomi dan politik Indonesia (2009), “penduduk asli menyukai posisi dalam pemerintahan, kaum peranakan mendapatkan mereka sebagai karyawan kantor perusahaan swasta.”

Keadaan itu sampai dikenang dengan memunculkan istilah “zaman normal.”

Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Batas-batas Pembaratan (1996) menyebut zaman normal sebagai “masa ketika segala sesuatu berjalan normal dibanding dengan kegalauan politik yang terjadi berturut-turut sejak 1942.” Maksudnya adalah zaman sebelum tibanya masa penjajahan Jepang, hingga Revolusi kemerdekaan Indonesia, yang juga diwarnai revolusi sosial yang mengobrak-abrik tatanan tersebut.[5]

“Budaya priyayi positif masih kuat. Pada masa zaman normal, para birokrat dapat hidup dengan cukup, tetapi tidak berlebihan, dengan terhormat,” kata David H. dalam Menembus Batas: Damai untuk Semesta (2008).

Di kalangan keluarga raja-raja atau pemuka masyarakat, dekat dengan Pemerintah Belanda bukan hal aneh. Setelah Indonesia merdeka, banyak dari mereka bergabung dengan Nederlands Indie Civil Administration (NICA).

Didi Kartasasmita, seorang mantan letnan satu tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL) dalam autobiografinya, Didi Kartasasmita: Pengabdian Bagi Kemerdekaan (1993)—ditulis Tatang Sumarsana—berkata pemasukan bulanannya sekitar 350 gulden di zaman normal. Setelah zaman normal berakhir, lantaran kedatangan Jepang, hidupnya sulit. Tak ada lagi gaji bulanan yang besar.[6]

Setelah Jepang kalah, lalu Indonesia merdeka, ada yang memimpikan zaman normal kembali lagi. Dari mulai mereka yang tadinya menjadi Binnenland Bestuur, pegawai negeri, sampai bahkan pengasuh anak (babu) dan tukang kebun di rumah orang Belanda, mengharapkan akan mendapat pekerjaan kembali sebagaimana layaknya hidup mereka sebelumnya.

Sebutan zaman normal ini menurut orang-orang tua Betawi memang masuk akal. Sebab, dari tahun 1900 hingga 1930-an Hindia Belanda bisa disebut sangat makmur, kehidupannya berbeda dengan situasi sebelum politik etis atau sebelum tahun 1900 di mana kelaparan dan pandemi kolera merebak. Khusus untuk Muslim, kurun ini terbukti nyata dengan membludaknya orang naik haji yang kala itu sudah mencapai puluhan ribu. Hamka yang tahun 1926 berhaji di Makkah mencatat jumlah jamaah haji Indonesia sangat banyak. Tokoh-tokoh pergerakan nasional banyak yang naik haji.

Di Batavia kemakmuran atau ‘kenormalan’ zaman itu terasa. Orang yang dari kampung yang menjadi pekerja migran bercerita bila mereka cukup bekerja sepekan di kota untuk hidup selama sebulan lebih di kampungnya yang ada di pinggiran Jakarta.

Bahkan sandang dan pangan mudah didapatkan. Kemakmuran Batavia ini juga dicontohkan dengan banyaknya pohon buah-buahan dibiarkan tak terpetik dan bergeletakan di tanah karena saking melimpahnya keadaan.

Dan memang sesudah itu, situasi Batavia juga tak kunjung normal. Ini karena kesulitan hidup akibat dampak dari krisis ekonomi global di masa itu yang dikenal dengan The Great Depression (Depresi Besar) bahkan satu dasa warsa kemudian terjadi perang dan penjajahan Jepang yang sangat kejam. Batavia yang dulu makmur kini hidup dalam kesusahan. Manusia bercelana karung goni muncul di mana-mana. Kelaparan merebak karena Jepang memaksa ikut merampas hasil panen beras.

Baca Juga:  Sejarah bangsa Viking yang memiliki budaya unik

Kondisi hidup susah kemudian terbawa-bawa pasca datangnya kemerdekaan. Bahkan sampai tahun 1970-an anggapan zaman normal kala Batavia begitu makmur masih lestari. Setiap ada kesusahan hidup para tetua selalu menanggap dengan memaklumi bahwa zaman ini bukan lagi zaman normal.

Kenangan akan zaman normal kemudian sempat perlahan hilang dengan eksisnya Orde Baru (tatanan baru, zaman baru) yang juga menganggap zaman sebelumnya sebagai zaman lama atau zaman susah: Orde Lama.

Dalam buku Semua untuk Hindia karya Iksaka Banu, kehidupan di tanah koloni tidaklah sesederhana yang digambarkan dalam narasi besar. Tidak hitam-putih. Cukup banyak tentang adanya orang Belanda yang “baik” kepada pribumi (“Indonesia”). Mereka mengelola perkebunan dengan mandor, juru timbang, juru tulis, dan buruh dari pribumi. Mereka berdagang. Mereka datang sebagai guru, wartawan, dokter dan perawat. Bahkan, mereka kawin mawin dengan pribumi—entah dalam pernikahan atau pergundikan. Mereka melahirkan anak-anak, yang kemudian disebut peranakan Belanda atau Indo-Belanda. Tetapi tidak hanya itu. Dalam buku ini juga disebut-sebut, tidak semua orang pribumi itu baik, menderita dan korban penjajahan. Dengan kata lain, baik atau buruk tidak ditentukan oleh warna-kulit seseorang.

Tak semua orang Belanda berada dalam keyakinan penuh menjalankan kebijakan pemerintahan kolonial. Ada nurani yang membuat sebagian mereka gelisah, tak tahu ke mana mesti berpijak. Ada pula yang tak sanggup membendung jeritan nurani dan sejak awal berani memutuskan ke mana mesti berpijak.

Tak selamanya, para pria Belanda yang mengambil wanita pribumi sebagai “nyai,” yang dicap sebagai selir lokal, tak bisa menghargai gundik-gundik mereka. Ada juga di antara mereka yang dicintai betul-betul oleh pasangannya hingga (setelah mendapatkan beberapa anak) dinikahi dan didaftarkan sebagai istri secara hukum. Itu dialami oleh dua orang nyai bernama Gouw Pe Nio dan Djoemiha, mereka hidup bahagia sampai mati bersama para lelaki Eropa tersebut. Begitu juga dengan seorang wanita budak yang diberikan sebagai hadiah oleh Ratu Bone kepada Gubernur Jenderal VOC Baron van Imhoff. Setelah dibebaskan dan dibaptis, ia dinikahi dan memakai nama Helena Pieters, mereka memiliki tiga orang anak dari pernikahan itu.

“Kehidupan bersama nyai ini membuat para pria Eropa akhirnya terbiasa juga dengan makanan pribumi,” tulis Fadly Rahman dalam Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942 (2011).[7]

Bicara soal nyai dan pergundikan, yang nampaknya sering luput dari pengetahuan kita bahwa, jauh sebelum keberadaan orang-orang Belanda di Nusantara, pergundikan itu sudah eksis dan merupakan bagian dari norma setempat. Para gundik adalah bagian dari latar belakang masyarakat kelas rendah, kalaulah tak dikatakan “korban,” sejak dalam tatanan feodal bangsanya sendiri. Termasuk mereka yang bekerja sebagai pembantu rumah orang Belanda. Orang-orang Belanda hanya mendapati keadaan legal di mana mereka dapat bertransaksi mengambil budak-budak lokal untuk kebutuhan-kebutuhan kerja, termasuk nyai tentu saja, tak berbeda dengan para tetuan pribumi.

J. U. Lontaan dalam Menjelajah Kalimantan (1985), seorang kolega Thomas Stanford Raffles bernama Alexander Hare, ketika berkuasa di Kalimantan Selatan, di bawah kuasa Raffles, bahkan memperoleh 4000 budak untuk mengerjakan lahan. Belum lagi 200 budak dari Sultan Banjar, untuk membuka daerah yang dikuasakan pada Hare. [8]

Tak cuma orang Eropa, menurut Heuken, “Laki-laki di Betawi, baik itu Belanda, Tionghoa, Melayu dan Arab membutuhkan budak untuk kawin. Sebab wanita Belanda, Tionghoa, Arab asli hampir tidak ada.”

Para pembantu di zaman kolonial yang dikenal dengan “babu” dan “jongos,” sebutan yang sesungguhnya belum dimaknai negatif seperti zaman sekarang, kurang-lebih tidak berbeda dengan hari ini, meski bukan pekerjaan bergengsi, setidaknya banyak yang beroleh hidup layak dan turut menikmati nyamannya kediaman sang majikan. Pekerjaan mereka diawasi atau di bawah tanggung jawab langsung sang nyonya atau seorang nyai. Apa pun istilah dan kerjanya, para pembantu rumah tangga ini tampaknya bikin majikan mereka merasa betah di rumah mereka. Begitu juga orang-orang pribumi kelas atas. Oleh karena itu tak jarang babu dan jongos tersebut juga ikut diboyong ke negeri Belanda, seperti ketika Jepang menyerbu Indonesia pada tahun 1942.

Babu sedang bersantai dengan nyonya dan kedua anaknya, circa 1930
Babu sedang bersantai dengan nyonya dan kedua anaknya, circa 1930

Sudah lumrah jalinan batin yang kuat terjadi antara para babu pengasuh ini dan anak-anak majikan. Banyak orang Belanda seringkali merasakan romantisme ketika mengenang para babunya. Anak-anak Belanda jadi lebih memilih berada di dekat para pengasuh pribumi ketimbang berada di dekat orangtua mereka. Dari kedekatan inilah anak-anak Belanda mengenal budaya lokal, mengadopsi tingkah laku para pengasuh berikut kebiasaan-kebiasaan mereka, hingga fasih berbicara Melayu pasar, sampai-sampai ketika beranjak dewasa mereka kesulitan berbahasa Belanda yang baik dan benar. Fenomena ini sempat bikin geger kalangan orangtua Belanda. Itu menjadi salah satu alasan bagi banyak keluarga Belanda membawa pengasuh anak mereka ketika pulang ke negerinya.

Sandra Bereends, seorang Indo-Belanda dari Amsterdam, menceritakan tentang ibunya, yang lahir di Semarang pada 1939, dan bagaimana pengasuh ibunya itu mengurusnya dengan penuh kasih sayang. Ketika umur 10 tahun, sang ibu pindah ke Belanda. Betapa sedihnya ketika ibunya harus berpisah dari pengasuhnya. Sandra juga mendengar cerita serupa dari orang-orang Belanda lain yang besar di Hindia Belanda. Tapi sayangnya, mereka sudah kehilangan kontak dengan para mantan pengasuhnya.

“Siapakah perempuan-perempuan ini? Yang begitu berarti dalam hidup mereka,” ujar Sandra.

Hal ini membuat Sandra penasaran dan mulai mendalami topik ini dalam film dokumentasi Ze Noemen Me Baboe yang menelusuri lika-liku kehidupan Alima, sosok pengasuh anak dalam sebuah keluarga Belanda, di tengah pergolakan revolusi pada penghujung era kolonial Belanda di Indonesia.

Keluarga Indo-Belanda berfoto bersama babunya, circa 1900
Keluarga Indo-Belanda berfoto bersama babunya, circa 1900

Jika dilihat konteks hari ini, apa bedanya dengan pembantu lokal yang juga bekerja di rumah-rumah orang kaya baik warga Indonesia sendiri maupun warga expat Bule, Korea, India yang mukim di Indonesia? Ataupun yang menjadi TKI di Malaysia, Arab Saudi, Hong Kong, Taiwan. Banyak. Saya tidak melihat mengapa hal ini, baik di zaman kolonial maupun sekarang, seolah “miring.” Dari sisi legal maupun sosial, pembantu tetaplah mutlak sebuah profesi kerja dan bukan sesuatu yang hina. Walau terdapat sejumlah pemberitaan kasus tak menyenangkan tentang TKI, entah dari sisi majikan atau TKI itu sendiri, tetapi apakah dibandingkan dengan jauh lebih banyak TKI yang menetap di luar negeri sana hingga detik ini seperti itu semua? Kan tidak. Untunglah sekarang era digital, banyak TKI yang membuat channel youtube dan bahkan tidak sungkan mengajak keluarga majikannya secara akrab untuk nongol di video mereka, di samping memperlihatkan kawan-kawan mereka yang sesama TKI juga. Tidak sebagaimana digambarkan oleh pemberitaan jelek yang notabene segelintir itu realitanya.

Bayang-bayang sekat Perkauman

Sebuah keluarga besar Belanda-Indonesia (multiras)
Sebuah keluarga besar Belanda-Indonesia (multiras)

Banyak sekali faktor yang membentuk penggolongan masyarakat kala itu yang kerap kita pahami dengan kacamata kuda “baik & buruk” tok tanpa sama sekali menilik apa relasi dan konteks sebenar di balik itu. Realitas masyarakat di Hindia Belanda, lagi-lagi, tak hitam-putih seperti yang digambarkan dalam mempertentangkan hubungan antarkaum kala itu.

Untuk mempertimbangkan wawasan yang baru ini, terlebih dahulu perlu disadari betapa menyesatkan pemikiran kesejarahan yang dipromosikan dalam masyarakat Indonesia dan dalam berbagai bentuk. Yakni sebuah khayalan tentang masyarakat Hindia Belanda sebagai sebuah masyarakat yang seakan-akan serba rapi dan terpisah tajam menjadi tiga lapisan: Eropa (khususnya Belanda) – Timur Asing (khususnya Cina) – bumiputra. Seakan-akan yang disebut “Belanda” atau “Eropah” secara eksklusif memiliki hak-hak istimewa di jenjang paling atas, semata-mata karena mereka berkulit putih. Sedang semua yang disebut “pribumi” berkulit coklat, semuanya menderita, dan hanya menjadi korban pemerasan di tingkat terendah.

Suatu gambaran karikatural tata-masyarakat kolonial yang terpisah secara hakiki dan dikotomis memang hadir dalam angan-angan banyak birokrat kolonial, juga dalam sebagian wacana penyusunan naskah peraturan hukum. Tetapi hal itu tidak pernah menjadi kenyataan yang meluas atau stabil. Khayalan hitam-putih yang sangat naif itu juga dicetak ulang besar-besaran dan disebar luaskan dalam masyarakat Indonesia selama lebih dari setengah abad belakangan, seakan-akan pernah menjadi sebuah kenyataan sejarah yang berlangsung mulus selama masa kolonial Belanda.

Dalam kenyataan sosial mau pun dalam peraturan hukum, masyarakat kolonial Hindia Belanda (seperti halnya sebagian besar masyarakat mana pun di dunia) jauh lebih rumit, kacau, penuh dengan tumpang-tindih dan kontradiksi. Peraturan hukum yang ingin memisah-misah penduduk, berkali-kali digugat dan direvisi. Penelitian Charles Coppel (1999) secara telak membantah pandangan umum tentang masyarakat kolonial Belanda sebagai masyarakat berlapis tiga, dan semata-mata berdasarkan etnisitas atau warna kulit. Ia juga membahas cukup rinci, bagaimana peraturan tentang hal itu baru muncul di tahun-tahun terakhir masa kolonial Belanda, dan berkali-kali dirombak karena diperdebatkan berkepanjangan. Hasil penelitian Bart Luttikhuis (misalnya Luttikhuis 2013) menunjukkan betapa majemuk kedudukan orang-orang yang berkulit putih dalam masyarakat Hindia Belanda, dan betapa rumit tumpang-tindih hubungan sosial mereka, baik dengan sesama warga berkulit putih mau pun mereka yang berkulit warna gelap. Tidak semua orang berkulit putih mendapat status hukum sebagai orang Eropa. Sebaliknya tidak sedikit orang berkulit gelap yang memiliki hak dan status hukum setara orang Eropa. Sebagian dari carut-marut kehidupan sosial, politik dan seksual dalam masyarakat Hindia Belanda digambarkan dengan bagus dalam buku Semua Untuk Hindia.

Anak-anak pribumi dan Belanda
Anak-anak pribumi dan Belanda

Harus dipahami dulu bahwa penggolongan antar masyarakat tersebut sangat beralasan saat itu, adanya unsur asas kebangsaan masing-masing menyebabkan seperangkat hukum berbeda yang melekat atasnya. Ini dirumuskan dalam Indische Staatsregeling (IS; Stbld 1925-415 jo 577)[9] sebagai hukum perdata yang hubungannya murni karena status kependudukan masing-masing. Sama sekali tidak ada maklumat yang menyatakan “pengkastaan” di sini, yang seolah mengatakan seperti, bagi kalangan ini derajatnya adalah sekian dan kalangan itu sekian, maka posisinya A, B, C. Tidak ada relevansinya dan sungguh anggapan yang konyol.

Pada awalnya hanya terdiri dua golongan sah secara hukum: untuk golongan Eropa berlaku hukum perdata yang konkor dan sesuai negara asal yakni Belanda. Sedangkan golongan bumiputra, selaku penduduk berkebangsaan lokal, tetap berlaku hukum perdata adat di wilayah masing-masing dengan Bupati dan pengadilan distrik mereka, kecuali ada kasus-kasus yang bisa diangkat ke hadapan kehakiman Belanda. Saat itu kaum pribumi masih berasaskan kedaerahan, maka dalam hal ini pun juga tidak seragam antara satu daerah dengan daerah lainnya di Nusantara.

Untuk kaum Timur Asing, justru baru belakangan penggolongannya disahkan kemudian. Secara relasi, sebenarnya posisi mereka berada di pinggiran atau di luar lingkaran golongan Eropa dan bumiputra. Disebut “Timur Asing” karena memang posisi mereka adalah orang asing (foreigner) di sini. Perumusan golongan Timur Asing dilakukan secara negatif yang diatur dalam ayat 4: orang-orang yang termasuk dalam golongan Timur Asing adalah golongan yang bukan termasuk dalam golongan Eropa maupun golongan Indonesia. Ayat ini pada dasarnya dibuat secara negatif untuk memastikan tidak ada masyarakat yang terlewat dari penggolongan. Uniknya, orang-orang Jepang yang notabene juga rumpun Timur Asing, tetapi diikutkan ke dalam golongan Eropa di Hindia karena pemerintah Belanda mengadakan perjanjian dagang dengan pemerintah Jepang pada tahun 1896.

Dalam perkembangannya, memang, peran kaum Cina menjadi yang paling menonjol dari kalangan Timur Asing. Mereka unggul baik di bidang ekonomi maupun dari segi kepandaian, keuletan dan semangat kerja, ditambah tingginya tingkat kolektivisme, sehingga mereka dapat memiliki posisi sebagai mitra dagang Belanda dan memperoleh subjek perlindungan hukum dagang dan sipil Belanda. Peran sebagai perantara ekonomi yang diberikan kepada kelompok Cina (pemungut pajak, penjual opium, pengelompokan mereka di suatu tempat yang kemudian disebut pecinan) menyebabkan mereka relatif kuat sebagai pelaku ekonomi. Orang-orang Cina bahkan oleh para Raja Jawa dijadikan bandar-bandar pemungut pajak di jalan-jalan utama, jembatan, pelabuhan, pangkalan di sungai-sungai dan pasar. Melihat efektifnya orang-orang Cina memungut pajak, Belanda dan Inggris pun melakukan hal yang sama terhadap mereka. Tidak hanya di Hindia Belanda, kaum pendatang itu ternyata memegang peranan ekonomi kuat di negara-negara jajahan lainnya. Pada dasarnya, kaum Timur Asing, terutama orang-orang Cina ini, datang memang dengan motif bisnis dan perdagangan, dengan orientasi itulah satu-satunya bagi mereka untuk bisa bertahan hidup dan tiada yang lain selain harus melakukannya secara all out untuk kemakmurannya dan bernasib menjadi “bemper” ekonomi kolonial.

Kekayaan swasta Cina yang diperoleh dan kemitraan dagang Belanda jauh lebih langgeng. Berbeda dengan kaum pribumi, yang kekayaannya berorientasi pada kekuasaan politik ternyata tidak demikian langgeng, karena kekuasaan politik di Indonesia ternyata sejak abad-abad lebih guncang daripada harga pasar.

Keadaan kaum Cina ini masih menonjol di negara kita sekarang. Hanya saja pada zaman kolonial tidak ada pembunuhan dan penjarahan terhadap orang-orang Cina kecuali satu kali saja yakni pada tahun 1740 yang dilakukan pula oleh orang-orang Belanda akibat kaum pendatang dari Cina semakin memadati kota yang membuat kondisi bertambah runyam seiring lesunya perekonomian dunia yang menjalar hingga ke Hindia Belanda. Para pejabat kolonial Belanda juga sangat terkenal karena sentimen-sentimen anti-Cina mereka seperti ditulis oleh Victor Purcell (Ong Hokham, 1998: 24). Salah satunya adalah Baud, seorang menteri kolonial Belanda (1800) yang terkenal sebagai anti-Cina di Hindia biarpun sebenarnya dia adalah seorang pengacara di Batavia yang menjadi kaya karena banyak menangani perkara-perkara orang Cina. Sentimen anti-Cina memuncak sekitar awal munculnya kebijakan politik etis (1900). Sebabnya adalah keinginan untuk melindungi pribumi dari keserakahan dan kelicinan pedagang Cina. Di mata pejabat Belanda yang gandrung pada politik etis, pada masa itu mereka memegang tanggung jawab bagi kesejahteraan bumiputra.

Masalah penggolongan antar kelompok etnis bukanlah masalah etnis atau rasial pada dasarnya, tetapi masalah integrasi politik dan ekonomi, atau sebaliknya, masalah diskriminasi politik dan ekonomi. Hal ini juga muncul bukan tanpa inisiatif masing-masing kaum itu sendiri. Sudah jelas bahwa keunggulan kelompok Timur Asing dalam bidang perdagangan berkat pengalaman mereka dalam sektor tersebut, dapat dimanfaatkan juga oleh pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan ekonomi dari mereka tanpa terlalu banyak bersusah payah sendiri dengan melibatkan diri dalam pekerjaan dagang, yang menurut pandangan feodal bukanlah pekerjaan yang cukup mulia. Praktek “Ali-Baba” dalam Orde Lama, dan praktek penguasa-penguasa dalam Orde Baru, adalah contoh yang tak dapat dipungkiri.

Dalam struktur sosial feodal, pedagang tidak mempunyai status yang jelas, karena dalam struktur tersebut mereka tidak termasuk dalam kelompok priyayi dan tidak juga dalam kelompok wong cilik (istilah priyayi dan wong cilik digunakan di sini secara umum untuk menerjemahkan konsep gentry dan peasantry dalam antroplogi-sosial). Sebagai priyayi, mereka diangap terlalu “kasar,” sedangkan sebagai wong cilik mereka dianggap terlalu “kaya.”

Kenyataan rasial yang absurd, kalaulah tak dibilang moderat, dalam tata-masyarakat di Hindia Belanda seharusnya sudah jelas bagi kita dengan memperhatikan fenomena sebuah kaum, yang disebut “Indo,” mahluk yang tidak sepenuhnya “Eropa/berkulit-warna-putih/penjajah” tidak juga sepenuhnya “pribumi/berkulit-warna-gelap/terjajah,” bukan saja dari pertimbangan biologis dan garis keturunan, tetapi yang lebih penting dari segi sosial dan budaya dalam kehidupan sehari-hari.

Orang-orang pribumi dan Indo dalam suatu perkumpulan
Orang-orang pribumi dan Indo dalam suatu perkumpulan

Luasnya rentang rasial kalangan Indo yang seringkali secara fisik tak terbedakan dengan kalangan pribumi, tidak menghalangi dimasukkannya mereka ke dalam kelompok legal Eropa. Seiring berjalannya waktu, kaum peranakan tersebut menjadi mayoritas dalam masyarakat Eropa-Hindia, dengan angka populasi sebesar 80% pada tahun 1940, sisanya orang Eropa “totok” (murni).

Nasib orang Indo oleh kolonialisme Belanda digunakan sebagai “penyangga” kultural agar tidak terjadi pergesekan yang menyebabkan kekacauan politik.

Hubungan yang intens dengan budaya lokal banyak membawa pengaruh kultural dalam kehidupan orang-orang Indo. Van der Veur (1968) membahas banyak kebiasaan (customs) kalangan Indo. Ciri khas yang utama adalah hubungan kekeluargaan yang kuat. Orang Indo gemar berburu, juga berlatih pencak silat (terutama dari kalangan yang akrab dengan masyarakat lokal) dan bermain layang-layang laga.

Baca Juga:  Nama dan Arti Indonesia Sebelum Kemerdekaan Negara Indonesia

Kebanyakan dari mereka adalah penganut agama Kristen, namun mempercayai pula berbagai takhayul lokal dan juga mempraktikkan selamatan/kenduri untuk memperingati suatu tahapan kehidupan. Kalangan Indo pauper (mereka yang hidup dengan kalangan pribumi) bahkan mengenal guna-guna.

Pasangan suami-istri Belanda & Indonesia bersama dua anaknya
Pasangan suami-istri Belanda & Indonesia bersama dua anaknya

Sebagian anak-anak Indo tidak cuma dapat mewarisi status hukum Eropa karena ayahnya yang Eropa, bahkan juga ayah pribumi yang beristrikan wanita Indo/Eropa alias ibu mereka. Biasanya, lelaki pribumi Kristen dan kelas atas.

Wanita Indo yang menikah dengan lelaki pribumi akan memakai nama fam suaminya, termasuk anak-anaknya dan terdaftar sesuai etnis ayah mereka, dengan tetap menyandang status kesetaraan Eropanya. Contohnya dua tokoh Maluku Selatan Chris Soumokil (1905–1966) dan Johan Manusama (1910–1995) yang keduanya memiliki ibu Indo-Belanda dan secara hukum diklasifikasikan sebagai golongan Eropa. Ini belum termasuk anak-anak Indo dari lelaki pribumi yang melanjutkan pendidikannya ke Belanda dan tak jarang terlibat hubungan dengan wanita Belanda setempat hingga menikah, salah satunya seperti penggubah lagu terkenal Raden Iskak, setelah menikahi istrinya di Belanda, mereka berumah tangga di Bogor dan dikaruniai 4 anak.

Eksisnya perkawinan antar-ras yang melahirkan anak-anak berdarah campuran sejak dahulu kala, memang bukan hal yang perlu dirasa ‘wah’ lagi pada masa kini.

Lelaki pribumi dan istri Belandanya
Lelaki pribumi dan istri Belandanya

Tidak seperti kolonialisme Eropa lain seperti di Afrika Selatan yang memiliki kebijakan ketat ‘Apartheid’ (segregasi rasial) di mana orang-orang ras campuran terpisah sebagai golongan kulit berwarna tersendiri. Begitu juga kebijakan one-drop-rule di AS zaman dahulu, yakni penggolongan orang-orang ras campuran yang memiliki garis keturunan kaum kulit hitam sebagai Negro, meskipun rentang rasial di antara mereka juga beragam. Kebijakan dan undang-undang kolonial Belanda tidak mempertentangkan apa yang disebut garis warna kulit, jika dibandingkan dengan kolonialisme lain pada masa itu, tampak seperti sikap liberal dan bahkan modern terhadap pencampuran ras, hal ini pada dasarnya tidak lepas dari pragmatisme dan oportunisme bangsa Belanda.

Dalam “Di Ujung Belati,” buku ini seperti ingin menunjukkan sisi lain dari “tokoh” yang sudah tersakralkan oleh “gelar pahlawan.” Pangeran Diponegoro, “pemberontak” pribumi, diperlakukan lebih istimewa dalam tahanan ketimbang seorang perwira kulit putih asal Belgia yang dituduh terlibat dalam pemberontakan di kapal Belanda. Kenyataan bahwa Sang Pangeran adalah ningrat Jawa (yang bahkan menurut Peter Carey dalam Kuasa Ramalan kadang menikmati jamuan anggur dari pejabat Belanda) justru sebenarnya menunjukkan perlakuan pemerintah kolonial maupun kelas sosial seseorang yang tak semata didasarkan atas warna kulit.

Begitu pula dengan kalangan Indo, walaupun memiliki status Eropa, tidak semua kehidupan ekonominya berada di atas kaum pribumi. Di antara mereka yang berpenghasilan rendah bahkan miskin, juga memiliki standar hidup yang mirip dengan masyarakat pribumi kelas bawah.

Tentu saja, sebagaimana masyarakat manapun di dunia, bukan berarti di sana tidak ada rasisme. Di zaman primordialisme rasial dari dunia Barat yang masih kental itu, tidak dipungkiri orang-orang kulit putih kolonial yang berbagi nilai dan keyakinan rasisme sepanjang pemahaman yang bervariasinya tentang Darwinisme sosial. Yang tidak kalah penting dan tampaknya luput dari hampir semua resensi, Semua Untuk Hindia menunjukkan yang namanya kaum berkulit putih di Hindia Belanda tidak hanya orang Belanda, tetapi orang-orang Eropa dari berbagai negara. Bukan saja kaum berkulit putih itu berbeda kewarganegaraan, bukan saja mereka bisa bersikap rasis terhadap kaum non-kulit putih. Ternyata sesama orang Eropa itu juga bersikap rasis terhadap satu sama lain karena perbedaan latar-belakang kebangsaan, bahasa, dan budaya (paling gamblang dalam cerita “Pollux”).

Pada praktiknya, kepentingan kelas mengalahkan sentimen warna kulit. Karena muaranya akumulasi dan konsentrasi kapital di bawah integrasi kekuasaan elite kolonial maupun lokal. Kolonialisme yang sejatinya terletak pada pertentangan kelas itu ditunjukkan dengan bagaimana kekuatan perjuangan meruntuhkan kolonialisme tersebut juga tidak eksklusif kaum pribumi, ada keterlibatan luar maupun dalam yang terlalu kompleks untuk dipelototi dari kacamata hitam-putih. Bahkan, yang tak banyak diketahui, perlawanan tersebut muncul justru dari kalangan Indo pada awalnya dan menjadi pelopor bagi kesadaran persatuan untuk perjuangan nasionalisme ke depan tanpa pandang bulu warna kulit, suku bangsa, dan agama setiap orang

Fenomena yang juga penting untuk disimak di tengah-tengah masyarakat Hindia adalah ketika munculnya kebijakan politik etis, yang menyebabkan meningkatnya kemakmuran serta perkembangan sosial dan otonomi penduduk pribumi. Orientasi baru itu terkenal dengan bermacam-macam nama seperti Ethis (etika), Politik Kemakmuran atau Politik Asosiasi.

Kebijakan tersebut sebenarnya bukanlah hadiah dari Ratu Belanda, tetapi hasil pergolakan politik (dari kaum Etis dan kaum asosiasi yang terjadi pada masa itu di negeri Belanda). Pergolakan politik mulai tampak dalam pertengahan abad ke-19, berupa perlawanan terhadap penerapan politik kolonial konservatif di Hindia Belanda yang bertujuan menerapkan eksploitasi tanah jajahan bagi negara induk yaitu sistem tanam paksa atau cultuurstelsel. Bahkan, kalangan sosialis dan kelas menengah Belanda juga mendukung politik etis, karena menentang atas apa yang mereka lihat sebagai ketidakadilan surplus kolonial.

Kebijakan tersebut merupakan upaya serius pertama untuk membuat program pembangunan ekonomi di daerah tropis. Berbeda dengan kolonialisme Eropa lainnya yang lebih menekankan pada kesejahteraan material daripada peningkatan hubungan sosial budaya penduduk sejajar dengan peningkatan sosial budaya orang Eropa. Namun, dari segi ini, meski tak dinafikan kebijakan ini sangat mempengaruhi perkembangan masyarakat Bumiputra, politik etis tak lain pemikiran yang Eurosentris terkait “Humanisme Barat,” yakni upayanya meningkatkan hubungan nilai-nilai budaya lokal dalam titik temunya di sepanjang garis-garis Barat. Tetap ada motif kepentingan Belanda di sini agar tercipta iklim sosial yang konformis terhadap pembaratan.

Pengaruh politik etis dalam bidang pengajaran dan pendidikan sangat berperan dalam pengembangan dan perluasan dunia pendidikan dan pengajaran di Hindia Belanda. Sejak tahun 1900 inilah berdiri sekolah-sekolah, baik untuk kaum darah biru hingga rakyat kecil yang hampir merata di daerah-daerah. Sekolah-sekolah golongan pelajar Eropa terbuka untuk pribumi, yang secara ekonomi, memang kalangan anak pribumi kelas atas. Selain itu, didirikan sekolah-sekolah dasar (bertaraf sama dengan SD di Indonesia sekarang) berbasiskan Eropa yang berdasarkan kelompok etnik yakni bumiputra, Cina, dan Arab. Hal ini mempermudah konsentrasi kegiatan belajar mengajar (KBM) dari sisi kebudayaan, terutama seperti pengajaran bahasa Belanda, sebagai persiapan yang matang untuk masing-masing kelompok etnik sebelum melanjutkan ke tingkatan sekolah berbasiskan Eropa selanjutnya (seperti SMP-SMA pada zamannya). Anak orang Cina misalnya, bisa terlebih dahulu masuk sekolah dasar berbasiskan Eropa khusus kelompoknya yaitu Hollands Chinesche School (HCS) karena selain bahasa pengantar Belanda, juga wajib diberikan bahasa Mandarin.

Di zaman itu, sekolah-sekolah memang terorganisir menurut bangsa masing-masing karena hubungannya dengan status kewarganegaraan. Orang Belanda yang notabene warga koloni, tetap mengacu negara induknya Belanda, begitu juga dengan orang pribumi yang statusnya terikat sebagai warga penduduk lokal. Ini tidak lepas dari penyesuaian kebutuhan dan orientasi yang berbeda. Bahkan, sekolah-sekolah dan program-program kejuruan khusus warga pribumi untuk berperan spesifik dalam keahlian ekonomi Hindia Belanda, bagi orang Cina dan Arab, yang resmi disebut Timur Asing, tidak bisa mendaftar.

Sekolahan berbasis Eropa di era Hindia Belanda ini sebetulnya mengingatkan kita akan fenomena sekolah-sekolah Internasional hari ini. Situasinya serupa, seperti misal JIS, High Scope, Cita Buana, dan sebagainya yang berbasis kurikulum Barat dan diisi oleh mayoritas anak-anak expat atau WNA dari yang Bule totok sampai Indo-blasteran yang berayah Bule, termasuk anak-anak lokal yang bergolongan ekonomi atas.

Anak-anak pelajar pribumi, Indo, dan Belanda totok
Anak-anak pelajar pribumi, Indo, dan Belanda totok

Meningkatnya gelombang besar pribumi terdidik sejak adanya politik etis ini bahkan membuat banyak orang Indo terdominasi dalam kompetisi pasar kerja serta karir pekerjaan. Pekerjaan yang secara tradisional ditempati orang Indo semakin banyak diambil alih orang-orang pribumi. Hingga pada titik mereka, orang-orang Indo, berada di bawah ancaman marginalisasi yang semakin meningkat. Pada saat yang sama pula, elit pribumi terpelajar juga mengembangkan agenda politik nasionalisme Indonesia.

Kalangan Indo, yang notabene secara hukum termasuk kelompok Eropa, merasa dicampakkan dalam hal ini. Di kalangan mereka terdapat ketidakpuasan karena pembangunan lembaga-lembaga pendidikan hanya ditujukan kepada kalangan pribumi (eksklusif). Orang-orang campuran ini tidak dapat masuk ke tempat itu, sementara pilihan bagi mereka untuk jenjang pendidikan lebih tinggi haruslah pergi ke Eropa, yang biayanya sangat mahal. Ernest Douwes Dekker, tokoh Indo yang pro-Indonesia, sampai bahkan harus angkat bicara mempersoalkan ini. Seharusnya politik etis ditujukan untuk semua penduduk asli Hindia Belanda (Indiers), yang didalamnya termasuk pula orang keturunan Eropa yang menetap atau yang disebut kelompok blijvers.

Tokoh kemerdekaan Indonesia, Sutan Sjahrir, pernah menyinggung nasib orang Indo:

“…posisi kaum Indo … dalam masyarakat kolonial kita ini telah berubah. Seiring berjalannya waktu, kaum Indo secara perlahan-lahan menjadi orang Indonesia, atau dapat pula dikatakan bahwa orang Indonesia secara bertahap mencapai taraf yang sama dengan orang Indo. Perubahan yang terjadi dalam proses transformasi di dalam masyarakat kita ini pertama-tama menempatkan kaum Indo dalam posisi yang menguntungkan, dan sekarang proses yang sama mengambil keuntungan itu. Bahkan jika mereka mempertahankan status keeropaan mereka berdasarkan hukum, mereka tetap akan sejajar dengan orang Indonesia, karena semakin lama akan lebih banyak orang Indonesia yang terdidik daripada orang Indo. Posisi yang menguntungkan mereka kehilangan landasan sosialnya, dan sebagai hasilnya posisi itu akan lenyap.” (Sutan Sjahrir, 1937)

Akhirnya, justru karena kebijaksanaan politik etis itu banyak penduduk pribumi beririsan dengan kebudayaan Barat menjadi senjata makan tuan buat Belanda sendiri karena digunakan untuk mengakhiri kolonialisme, dan betapa pihak Belanda menganggap kebijakan ini sebuah kesalahan yang tak sesuai ekspektasinya.

Sejarah Ditulis oleh Pemenang Penguasa

Tidak bisa tidak, kelompok elit yang sedang berkuasa punya andil dalam bagaimana sejarah dituturkan dan dimasyarakatkan dalam pola yang berbatas, berpihak, dan terfokus pada hal-hal tertentu, dengan mengorbankan sedikit atau banyak hal-hal lain yang dianggap kurang atau tidak penting oleh mereka. Dengan demikian, sejarah tidak secara mutlak berbeda dari penuturan cerita dalam ragam yang lain, entah itu warta-berita, laporan penelitian, atau sastra fiksi.

Prof Ariel Heryanto, menyangkut berbagai temuan yang barunya tentang kaum Indo dan Peranakan, mengungkapkan bagaimana hal itu telah menyadarkan dirinya dan membuka wawasan yang sangat berbeda tentang apa itu Indonesia, bagaimana kompleks dan sekaligus memukau proses terbentuknya Indonesia di peralihan akhir abad 19 ke awal abad 20, dan bagaimana sejak pertengahan abad 20 sejarah masa lampau itu telah dihapuskan sebagian, ditambah-tambah, atau diubah besar-besaran sehingga menjadi sebuah kisah hitam-putih ala sinetron dengan tokoh dan tema utama yang mempertentangkan benar/salah, baik/buruk, penjajah/terjajah, nasional/asing atau pahlawan/penjahat.

Beliau juga mengatakan, parahnya, wawasan kesejarahan tidak semata-mata bersumber dari buku teks sejarah resmi atau pidato para pejabat negara, tapi juga direproduksi dalam film komersial yang menghibur, termasuk karya-karya bergengsi seperti Sang Pencerah (2010, Hanung Bramantyo), Soegija (2012, Garin Nugraha), Soekarno (2013, Hanung Bramantyo), Guru Bangsa: Tjokroaminoto (2015, Garin Nugraha).

Secara umum, karya-karya biopik tersebut mengungkapkan (mungkin tanpa sadar) ideologi yang jauh lebih konservatif, rasis dan ahistoris ketimbang yang dilahirkan pembuat film di tahun-tahun awal kemerdekaan. Apalagi dalam karya-karya klasik Usmar Ismail seperti The Long March (1950) dan Lewat Djam Malam (1954).

Pemaparan Prof Ariel tersebut semakin membuat saya merenungkan banyak pemikiran kesejarahan, seperti, sekilas saja, dapat saya katakan betapa janggalnya sejumlah isu yang kerap disebarkan terkait zaman kolonial, contohnya isu tentang plakat diskriminatif bertuliskan Verboden voor honden en inlander (anjing dan pribumi dilarang masuk) di gedung perkumpulan elit Societeit dan kolam renang.

Di samping terlalu ekstrimnya hal itu dilakukan untuk kolonialisme di Hindia Belanda yang sejak didirikannya merupakan hasil atas berbagi kekuasaan dan tata-masyarakat kolonial yang tidaklah mutlak hitam-putih sebagaimana telah dibahas, terutama sejak masuknya Politik Etis.

Jika saja seorang pria kulit hitam Seretse Khama dari Afrika Selatan zaman penjajahan Inggris yang terkenal ketat dalam apartheid dan rasialisme itu dapat masuk ke sebuah pesta dansa di London Missionary Society yang terletak langsung di ibukota negara yang sedang menjajah tanah airnya saat itu, kemudian tanpa sungkan mengajak Ruth Williams wanita asli Inggris yang disukainya berdansa menikmati alunan musik jazz. Apalagi keadaan di Hindia Belanda?

Kecurigaan saya ternyata terjawab, betapa tidak ada buktinya plakat diskriminatif itu ditemukan di masa lalu. Gedung Societeit yang katanya khusus orang-orang Eropa, itu pun terbatas pada segolongan elit yang berbasis pengusaha ataupun pejabat, bukan pula diperuntukkan bagi orang Eropa secara umum karena dalam hal ini persoalannya adalah relasi tertentu suatu kelompok dan tidak ada kaitannya dengan ras. Seiring berjalannya waktu, seperti gedung Sociëteit Harmonie, juga terbuka untuk pribumi kelas atas seperti para bangsawan. Di dalamnya juga bahkan diselenggarakan hiburan ala Nusantara seperti pementasan wayang kulit, ketoprak, tari tradisional, dan opera. Kemudian dalam perkembangannya juga difungsikan sebagai sarana pendidikan.

Dalam kereta pun, untuk kelas satu dan dua eksklusif bagi kalangan pribumi kelas atas dan Eropa, murni lingkup kelas sosial dan bukan didasari atas masalah rasial.

Lebih detailnya, anda bisa simak soal kemitosan plakat tersebut di blog seorang penggiat sejarah[10], yang juga pengasuh sebuah komunitas yang bergerak di bidang wisata & sejarah. Bahkan, masalah ini juga ditanggapi oleh sebuah blog konten sejarah berbahasa Belanda.[11]

Seharusnya sudah jelas bagi kita, bahwa kekuasaan, apapun bentuk dan sebab kemunculannya, tidak ada yang betul-betul bersih dari keterbukaan atau transparasi sejarah. Coba pikir sejenak, jika saja hal-hal besar dapat sedemikian berhasil dipropagandakan sebagai kebenaran masa silam, apalagi hal-hal kecil yang diisukan? Mudah saja bagi kekuasaan untuk melakukannya.

Sejak zaman Orde Lama, hal ini sudah terjadi, di tengah keadaan bangsa yang bagaikan balita masih belajar melangkahkan kakinya, memang maklum secara politis mengapa kerja-kerja propaganda harus didorong untuk agenda dekolonisasi yang masih menjadi fokus utama saat itu.

Masalah ini tertuju pada sosok Muhammad Yamin. Asvi Warman Adam dalam buku Seabad Kontroversi Sejarah menulis bahwa salah satu orang yang banyak menciptakan “sejarah yang bercorak nasional” alias propaganda adalah Muhammad Yamin. Dia mengarang buku macam-macam, campuran antara fakta dan fiksi, termasuk 6000 Tahun Sang Merah-Putih maupun sandiwara Gadjah Mada serta Ken Arok dan Ken Dedes. Celakanya, Yamin juga jadi Menteri Pendidikan pada awal 1950-an. Dia bikin macam-macam pembenaran soal “sejarah nasional.” Cerita-cerita fiksi ini lantas masuk pelajaran sekolah.[12]

Benedict Anderson dalam buku klasik Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance 1944-1946 menulis bahwa tak ada satu orang pun yang bisa mengontrol Yamin. Orang ini keras kepala, sembarangan, menjengkelkan dan dibiarkan saja semau sendiri. Zaman itu tak ada yang peduli soal campur aduk fakta dan fiksi. Ia dianggap tak sepenting soal revolusi melawan Belanda. Yamin menerbitkan sandiwara Gadjah Mada pada 1946.[13]

Sejarawan Jean Gelman Taylor menulis satu bab Majapahit Visions: Sukarno and Suharto in the Indonesian Histories dalam buku Indonesia: Peoples and Histories[14]. Bab ini khusus membandingkan Majapahit versi arkeologi dan Majapahit versi propaganda. Dari sudut arkeologi, Taylor menerangkan bahwa Majapahit sebuah kerajaan kecil di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah. Rezim Sukarno dan Suharto berkepentingan membuat mitos Majapahit sebagai kerajaan besar guna mendukung agenda mereka masing-masing: nation building dan economic development. Mereka memakai apa yang diletakkan Yamin soal Gadjah Mada untuk kepentingan propaganda masing-masing rezim.

JASMERAH: Berdamai dengan Fakta Sejarah

Setiap peristiwa pasti punya dua sisi cerita yang berbeda,” begitu kata sebuah pepatah.

Baca Juga:  Kolonialisme dulu dan sekarang

Tahun 1945, imperialisme Jepang di Asia berakhir dengan takluknya Jepang di hadapan Sekutu. Sebagian besar penduduk dunia menduga kehidupan mereka akan kembali menjadi “normal” dengan kembalinya pemerintahan kolonial Eropa.

Memang sudah ada beberapa tuntutan berakhirnya kolonialisme Eropa, dan harapan kemerdekaan tanah jajahaan. Sedikit demi sedikit orang Eropa menyadari, bahkan bersimpati pada, tuntutan kemerdekaan dari wilayah-wilayah koloni mereka. Tetapi semuanya membayangkan bahwa kemerdekaan akan diberikan secara bertahap melalui progres perundingan panjang. Ratu Belanda dan pemerintahan Hindia Belanda sudah merancang beberapa usulan bentuk dan proses kemerdekaan untuk Indonesia.

Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan Sukarno-Hatta, 17 Agustus 1945, merupakan keajaiban yang tak terbayangkan sebagian besar orang di negeri ini. Apalagi di bagian dunia lain. Bahkan peristiwa itu tak terbayang dalam benak mereka yang menyiapkan dan membacakan teks proklamasi jauh-jauh hari sebelumnya. Banyak orang Indonesia sendiri di luar Jakarta tidak mempercayainya saat itu. Semua terjadi mendadak dan tergesa. Indonesia dalam keadaan porak poranda seusai Perang Dunia. Kondisi lemah, baik secara fisik maupun hukum dan ekonomi.

Pada masa itu Australia menjadi tuan rumah untuk kantor pemerintahan Hindia Belanda dalam pengasingan karena pendudukan Jepang (1942-1945). Juga tuan rumah untuk ribuan orang Indonesia yang bekerja pada pemerintahan Hindia Belanda dalam pengasingan. Mayoritas pegawai pemerintahan yang orang Indonesia gelisah, kecewa atau marah ketika ada beberapa pemuda nekat memproklamasikan kemerdekaan RI. Hal itu mengancam status quo dan satu-satunya ketertiban yang mereka hidup atasnya.

Inilah pertama kalinya di dunia ada wilayah koloni memproklamasikan kemerdekaan secara sepihak tanpa perundingan dengan bangsa lain. Tampaknya tidak ada satu pun pihak yang benar-benar siap menghadapi kenyataan Indonesia merdeka, dan pelbagai implikasinya. Juga pemerintah RI sendiri.

Gert Oostindie dalam Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1949 (2017) mencatat pengakuan seorang tentara Belanda bernama Jan van Tright pada pertengahan 1947: “Orang menginginkan nasi, ketertiban, dan kepastian hukum. Semua ini tidak ada selama para pentolan Republik memegang kemudi. Tidak aman di semua bidang. Terjadi pembunuhan dan penjarahan.”[15]

Sontak Belanda yang terkejut, wajar saja belum bisa menerima keputusan kemerdekaan itu. Hal ini bukannya tanpa legal standing yang jelas, harus diakui, pihak Belanda bukannya asal sesumbar menyatakan ketidaksetujuannya, di mana kita perlu benar-benar pahami duduk perkaranya dari sini demi keterbukaan sejarah yang steril dari berbagai sisi.

Berhubung pelajaran sejarah Indonesia di sekolah secara kacamata kuda sangat menekankan pada sudut pandang nasionalisme, sehingga kita sejak kanak-kanak selalu berpikir bahwa “Indonesia sudah merdeka pada 17 Agustus 1945” dan kedatangan Inggris hendak menyerahkan kepulauan ini kembali pada pangkuan pemerintahan kolonial Belanda adalah dosa besar. Namun, pemikiran ini hanya dari sudut pandang nasionalisme yang sebetulnya bisa dikatakan egoistis dalam memandang sejarah karena mengabaikan bagaimana mekanisme dunia pada saat itu diatur pasca Perang Dunia II.

Kita tidak bisa begitu saja memungkiri bahwa, dari Aceh sampai Papua Barat, kepulauan ini bernama Hindia Belanda, koloni Kerajaan Belanda. Ketika meletus Perang Dunia II, Jepang menginvasi pada tahun 1942, sementara negara Belanda di Eropa juga diduduki oleh Nazi Jerman.

Pada saat pihak Poros (Jepang & Jerman) kalah, otomatis Belanda kembali berdaulat, maka secara alami dan merupakan pilihan sah bagi pihak pemenang Perang Dunia II adalah dikembalikannya wilayah-wilayah pendudukan Jepang dan Jerman kepada pemiliknya masing-masing. Hindia Belanda kembali kepada Belanda, sebagaimana kawasan Indo-Cina dikembalikan kepada Prancis, lalu Singapura, Malaya, Sabah, Serawak, Brunei dikembalikan kepada Inggris.

Jika tidak demikian, kemana lagi kepulauan ini diharapkan kembali pada sebuah naungan jika bukan Belanda? Sudah bagus negara itu tidak dibubarkan.

Mungkin orang Indonesia akan menjawab, “tetapi kan Indonesia sudah merdeka pada 17 Agustus sebelum Inggris datang.”

Lagi-lagi, hal itu pernyataan sepihak dari sudut pandang kaum nasionalis, berdasarkan kejadian yang disakralkan bangsa ini di JL. Pengangsaan Timur yang tidak ada arti apa-apa di mata internasional. Apa yang Anda harapkan pada proklamasi kemerdekaan yang merupakan hasil penculikan sekelompok pemuda terhadap Sukarno dan Hatta di waktu pagi buta jam 03:00 WIB? Sementara Sukarno dan Hatta sendiri pada waktu itu sama sekali tidak kepikiran dan enggan melakukan proklamasi kemerdekaan yang pada dasarnya adalah desakan kalangan pemuda tersebut. Semua dilakukan terburu-buru.

Jepang memang mendukung kejadian itu, tapi Jepang sudah kalah perang, mereka tidak punya suara apa-apa dalam pengaturan Asia Pasifik setelah Perang Dunia.

Belanda dan Inggris dalam hal ini tentu tidak bisa tidak mengambil sikap. Bayangkan jika ada deklarasi Papua Merdeka, tidak mungkin akan dianggap oleh pemerintah RI. Sama halnya dengan kasus proklamasi 17 Agustus itu di mata Belanda dan Sekutu.

Dalam rangka menata kembali negara-negara dan perbatasan-perbatasan yang sebelumnya dibikin ‘kacau’ oleh Jepang, jelas Hindia Belanda dikembalikan ke pemilik sebelumnya. Republik Indonesia belum dikenali secara hukum. Maka, menjadi tidak relevan bagi pihak Sekutu dan dunia Internasional. Dalam perspektif Hubungan Internasional, kemerdekaan sebuah negara diperlukan pengakuan dari negara lain termasuk pengakuan kedaulatan dari negara yang masih resmi memiliki legitimasi di negara tersebut sebagai bagian dari wilayah koloninya. Oleh karena itulah, permasalahan inipun dibawa ke meja perundingan antara pihak Republiken dan Belanda, hal ini menunjukkan jelas adanya permasalahan hukum yang tidak bisa begitu saja ditinggalkan. Ini bukan seperti perebutan wilayah antara kelompok gangster.

Kedatangan Inggris ke Indonesia saat itu sebenarnya adalah menjaga ketertiban sebagai pihak Sekutu, Inggris memiliki tugas untuk mengatur proses berlangsungnya kapitulasi Jepang dan peralihan kembalinya Hindia Belanda kepada pemilik sebelumnya yaitu Belanda. Hal ini yang menyebabkan pecahnya pertempuran Surabaya dan palagan Ambarawa. Posisi Inggris dalam hal ini sebetulnya dalam rangka ‘memadamkan kerusuhan’. Aspirasi kemerdekaan yang menjadi sebab pergolakan saat itu, bagi Inggris, dipersilahkan menjadi tanggung jawab pihak Belanda, karena hal itu adalah proses politik yang panjang. Perundingan, referendum, dll. Tentu ini bukan urusan orang-orang Inggris dan mereka sendiri juga ingin cepat-cepat keluar dari Indonesia saat itu dan menyerahkan kelanjutannya kepada Belanda dan orang-orang Indonesia sepenuhnya.

Hal ini sebetulnya juga sekaligus ingin menjelaskan bahwa, kemerdekaan Malaysia yang selalu diartikan secara negatif oleh orang Indonesia karena anggapan “pemberian” Inggris berangkat dari paradigma yang salah dan dangkal karena sentimen nasionalis belaka. Posisi Malaysia tersebut justru yang benar dan umum sesuai bagaimana transisi kemerdekaan itu terlaksana, dan bagusnya, Malaysia tidak perlu mengalami kekacauan sosio-politik dan pertumpahan darah di negaranya seperti pada tahun-tahun awal kemerdekaan di Indonesia yang dampaknya masih berpengaruh sampai hari ini. Satu di antara sebab mengapa Malaysia dapat jauh lebih baik menata pembangunan negaranya dalam segala aspek pasca kemerdekaannya. Alasan lain, karena memelihara kolonial itu bukannya tanpa biaya. Inggris sudah merupakan kerajaan dengan wilayah kolonial terluas, setelah Perang Dunia II, Inggris mengalami krisis hebat, sehingga mereka memerdekakan wilayah-wilayah koloninya di seluruh dunia.

Melihat keadaan pada saat itu tidak boleh sesederhana begitu saja, itulah mengapa agresi militer Belanda ke Indonesia setelah Jepang hengkang, resminya disebut Aksi Polisionil, bukan bertujuan mau asal mengacau. Selain itu, maraknya aksi kekerasan terhadap orang-orang sipil Belanda seketika sudah lepas dari kamp interniran Jepang, membuat pihak militer Belanda merasa berhak untuk melakukan intervensi juga.

Saat berlangsungnya perang antara Indonesia dan Belanda tersebut, PBB sampai melakukan campur tangan untuk mengadakan gencatan senjata, disahkan pada tanggal 17 Januari 1948 menurut Perjanjian Renville. Karena itu masalah internal Belanda menjadi masalah internasional.

Sampai akhirnya, Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia karena tekanan keras dari Amerika Serikat dan semakin pesimisnya kekuatan tentara Belanda untuk melawan Indonesia. Di samping itu, sudah semakin tinggi desakan-desakan moral dari rakyat di Belanda sendiri yang menentang peperangan tak berkesudahan ini.

Tak sedikit tentara Belanda saat itu yang keberatan dengan kebijakan pemerintahnya yang ingin kembali menduduki Indonesia, sepertiga tentara Belanda wajib militer menolak berjuang menaklukkan Indonesia. Separohnya yang menolak dipaksa ke Indonesia. Bagian lain dihukum atau melarikan diri. Bahkan, terdapat tentara-tentara Belanda yang membelot ke pihak Indonesia. Namun sayang sekali, mereka berakhir dengan dibunuh atau dihukum keras sekali oleh pemerintah Belanda. Satu-satunya yang baru sempat lolos adalah Poncke Princen, kisahnya terkenal, ia menikah dengan wanita Indonesia dan muallaf. Poncke Princen meninggal dunia tahun 2002 sebagai WNI.

Untunglah pemerintah Belanda secara resmi menyesali kejadian-kejadian sewaktu agresi militer dan akhirnya mengakui 17 Agustus 1945 sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia. Menlu Belanda Bernard Bot, yang lahir di Batavia, juga telah menyampaikan bahwa Aksi Polisionil (agresi militer) telah berdiri aan de verkeerde kant van de geschiedenis (di tempat yang keliru dari sejarah).

Rosihan Anwar, satu-satunya wartawan Indonesia yang meliput Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada akhir 1949, juga sepakat dengan itu; bahwa tindakan Bot sebetulnya sudah cukup mewakili pengakuan dan permintaan maaf Belanda kepada bangsa Indonesia.

Memikul amanah JASMERAH bukan meletakkan segala sesuatunya hitam-putih, tetapi murni sebagai manusia yang belajar, ketengahkan segala sentimen personal, sejarah diperuntukkan bukan untuk ambisi nasionalis menggebu-gebu demi mengangkat status sejarah nasional mendekati keagungan sebuah agama yang disembah-sujud tanpa ruang bagi pemikiran dan pertanyaan kritis.

Jika Bung Karno saja tegas mengakui kesalahan-kesalahannya karena andilnya dalam penjajahan Jepang yang singkat namun dikenal amat brutal itu menyebabkan tertumpahnya darah banyak orang sebangsanya sendiri. Maka bukanlah aib, sebagai seorang Presiden, seperti negara manapun di dunia, memiliki ruang bagi kritik hingga kecaman.

Bukannya tak ada asap bila tak ada api mengapa rezim Sukarno harus berakhir dengan ditumbangkan oleh rakyatnya sendiri. Tidak perlu jauh-jauh membuka kembali pertikaian internal tak kunjung habis di kalangan elite politik pada masa pemerintahan itu. Kabinet dan perdana menteri silih berganti. Sementara dalam masyarakat terjadi berbagai kerusuhan. Figur-figur penting pejuang dari kalangan rakyat seperti Soe Hok Gie atau sang pembelot tentara Belanda Poncke Princen, yang kritis dan kerap melayangkan penentangannya pada kebijakan rezim Sukarno hingga Suharto, seharusnya sudah menjadi indikasi cukup jelas bahwa, dalam posisi yang mengatasnamakan “kemerdekaan” sekalipun, bukan berarti apa yang dilakukan orang “Indonesia” pasti benar.

Negara yang baru diproklamasikan dan diwarnai oleh revolusi sosial pada tahun-tahun sesudahnya dengan rentetan peristiwa teror besar-besaran memberi isyarat bahwa pemaknaan terhadap sejarah tidak bisa hitam putih; merdeka bukan berarti pembenaran terhadap kekerasan.

Tak usah berdebat apa kriteria baik/jahat. Bukan saja soal itu relatif dan subyektif. Terlepas dari kriterianya apa, sejarah manusia tak pernah hanya berisi isi konflik orang baik lawan orang jahat.

Dalam Indonesia dalam Indo: Menghargai Semua Untuk Hindia[16], Prof Ariel Heryanto mengatakan bahwa sebagian cukup besar orang Indo menganggap Hindia Belanda (Indonesia) adalah tanah airnya. Sebagian dari mereka lahir disini, hidup seperti rakyat pribumi di kampung-kampung, tidak pernah menginjakkan kaki di Belanda. Bahkan sebagian orang Belanda yang lahir dan besar di Belanda (seperti halnya sebagian orang Jepang), jatuh hati pada masyarakat Hindia Belanda/Indonesia ketika dikirim oleh pemerintah mereka untuk bertugas di sini. Mereka memilih untuk menghabiskan sisa hidup mereka di negeri tropis ini ketika Indonesia merdeka. Namun, pada tahun 1945-1946 terjadi gelombang pengungsian besar-besaran orang Eropa juga Indo dari Indonesia. Mereka meninggalkan Indonesia bukan karena mereka jalan-jalan atau ingin pulang ke tanah leluhurnya, Namun karena mereka sedang melarikan diri dari maraknya kekerasan laskar “pejuang” pribumi terhadap orang berkulit putih (lihat Hewett 2014). Peristiwa memilukan ini tidak tercatat dalam buku sejarah resmi Indonesia, bahkan tidak pernah didengar sebagian besar orang Indonesia. Sampai kini, mereka hanya ingin menjadi orang biasa yang mengidentifikasikan ikatan historisnya dengan Indonesia, terutama keturunan Indo, dalam kebudayaan dan persahabatan, tak kurang tak lebih, bukan asosiasi politik manapun apalagi kolonialisme. Seperti misalnya Wieteke van Dort atau yang disapa akrab Tante Lien, kelahiran Surabaya 1943, betapa masih cintanya ia dengan tanah kelahirannya Indonesia dan hampir setiap tahun masih berkunjung ke Indonesia meski sudah sangat tua. Pada dasarnya, manusia tidak bisa memilih terlahir dari bangsa apa dan di tempat seperti apa, begitu juga orang-orang Belanda yang bisa dibilang sial mengalami accident of birth di alam kolonial yang tidak berdaya atau bisa berbuat banyak selain menerima keadaan yang berlaku pada masa itu, tidak serta-merta menjadikan mereka sosok yang “kolonialis.” Permasalahan dan yang dipermasalahkan, ada pada penguasa, dan itu tidak semata-mata sepihak elite Belanda tetapi juga pribumi.

Orang Indonesia secara keseluruhan harus mulai belajar memilah antara Belanda sebagai entitas politik dan Belanda sebagai sekumpulan manusia biasa yang pasti memiliki sisi baik pula, pada dasarnya apa yang terjadi di Indonesia selama 1945-1949 adalah ulah para politisi mereka yang kapitalistik dan masih mempertahankan nafsu imperialisnya.

Masalahnya, dalam banyak masyarakat bekas-jajahan di dunia ketiga, termasuk Indonesia, penulisan sejarah dan pelajaran sejarah hampir selalu menjadi sebuah beban berat. Ia menjadi “alat”-perjuangan nasionalis melawan masa lampau (yang nyata, yang dikhayalkan, atau kombinasi keduanya) yang tak ubahnya propaganda, bahkan puluhan tahun sesudah masyarakat itu telah resmi menyatakan kemerdekaannya. Dalam gagap gempita nasionalisme yang dianggap belum/tidak pernah selesai dan masih dianggap tetap megap-megap terbelakang itu hanya satu logika yang berlaku: kalah atau menang. Bukan pertanyaan etis atau fakta benar/salah. Bukan pula upaya untuk memahami pertanyaan logika mengapa.

Oleh karena itu, pentingnya sebuah “nuansa” yang membantu kita memahami peristiwa secara lebih jernih, komprehensif, dan universal. Kemerdekaan seharusnya menjadi alat untuk menggapai keadilan bagi semua bangsa; setiap individu. Tak semestinya kemerdekaan—atau nilai universal lain—dijadikan alat propaganda dalam bungkus narasi besar demi memuaskan sentimen pribadi, sosial, dan bahkan demi kepentingan politik segelintir elite. Justru dengan menekan dan mengabaikan nuansa, orang akan terus terjebak pada “kemerdekaan” dalam makna permukaannya sementara elite pribumi yang berkuasa tetap tak kalah jahat dan bengisnya dengan pemerintahan kolonial.

Ironisnya, banyak dari kita saat ini yang memprotes wacana penghapusan pelajaran Sejarah di sekolah oleh Mendikbud, namun pernahkan kita kritis terhadap sejarah “resmi” itu sendiri yang hanya dibiarkan menjadi his-story di tangan penguasa untuk kepentingan kuasa mereka? Selain itu, secara reaktif kita menyerukan jargon-jargon nasionalistik tetapi mendukung penjajahan gaya baru (nekolim) yang membuka diri kepada campur tangan IMF dengan pemberian surat tugas oleh ketua partai yang berkuasa saat ini kepada Menteri Keuangan menjadi Direktur Eksekutif di IMF. Ditambah lagi, entah lupa atau pura-pura bodoh, mengaku penjajahan harus dihapuskan di atas dunia sebagaimana dalam UUD, namun mendukung normalisasi hubungan dengan Israel satu-satunya rezim penjajah yang masih wujud abad ini dengan dalih “damai itu indah” sembari mengatakan negara dan kelompok-kelompok haluan Islamis yang menjadi corong anti-imperliasime hari ini yakni Iran, HAMAS dari Palestina, Hizbullah dari Lebanon, dan Ansarullah dari Yaman sebagai yang agresif, radikal, teroris, bahkan sesat. Begini kontradiksi itu terus berlangsung, karena yang menjadi keinginan mereka sejak awal adalah kepentingan kekuasaan, bukan sebuah idealisme kemerdekaan itu sendiri yang sudah sangat terepresentasikan oleh Pancasila.

Referensi:
  1. http://www.pda.or.id/pustaka/books-detail.php?id=20091049[]
  2. https://acadstaff.ugm.ac.id/MTk2OTEwMTUxOTk4MDMxMDAy#main[]
  3. https://www.jpnn.com/news/ariel-heryanto-terkejut-video-kuliahnya-jadi-viral[]
  4. https://www.cambridge.org/core/journals/journal-of-southeast-asian-studies/article/abs/modernity-and-cultural-citizenship-in-the-netherlands-indies-an-illustrated-hypothesis/DFDE06E66AE080186FBDF1E46C250EE2[]
  5. Denys Lombard, Nusa Jawa: Batas-batas Pembaratan.1996.[]
  6. Didi Kartasasmita: Pengabdian Bagi Kemerdekaan. 1993[]
  7. Fadly Rahman. Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942. 2011.[]
  8. Menjelajah Kalimantan / J.U. Lontaan[]
  9. https://id.wikipedia.org/wiki/Indische_Staatsregeling[]
  10. https://mooibandoeng.com/2013/06/19/verboden-voor-honden-en-inlander/[]
  11. https://javapost.nl/2012/12/01/verboden-voor-honden-en-inlanders/?fbclid=IwAR0GOmSFbR5iM0qqHw2CsVfAtDL4KFuHLrW15LtIH9jZQTqzVIT_ukx340A[]
  12. Asvi Warman Adam. Seabad kontroversi sejarah. 2007[]
  13. Benedict Anderson. Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance 1944-1946[]
  14. https://www.cambridge.org/core/books/politics-of-heritage-in-indonesia/greater-majapahit-the-makings-of-a-protoindonesian-site-across-decolonisation-1900s1950s/320068FCF144A0AFB3A4F7EFCA3B3BAF[]
  15. Gert Oostindie. Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1949.2017[]
  16. https://indoprogress.com/2015/04/indonesia-dalam-indo-menghargai-semua-untuk-hindia/[]