Manusia punya kecenderungan untuk merendahkan manusia lain di luar kelompok sosial mereka, bahkan bayi sekalipun. Normalnya, kita harusnya ikut senang melihat orang lain senang, dan sedih ketika melihat orang lain sedih. Namun, tidak dapat disangkal bahwa kita sering justru merasa senang melihat seseorang menderita atau tertimpa musibah. Contoh sederhananya saja kita yang mungkin kegirangan ketika melihat teman tiba-tiba tersandung dan jatuh di jalan. Apakah normal jika senang melihat orang lain susah?

Setiap manusia pasti memiliki “sisi gelap” dalam dirinya masing-masing dan salah satunya adalah senang melihat orang lain susah, dalam ilmu psikologi dikenal dengan istilaj schadenfreude.

Pengertian schadenfreude

Schadenfreude berasal dari bahasa Jerman. Secara harfiah berarti harm joy (suka menyakiti). Schadenfreude adalah : perasaan puas/gembira bila melihat orang lain dalam kesusahan, kondisi yg tidak menguntungkan, atau berada dalam posisi lebih rendah darinya. 

pengertian schadenfreude adalah

Schadenfreude pertama kali muncul dalam karya penulis roman asal Jerman, Christian Heinrich Spiess, yang berjudul Biographies of Suicides dan terbit pada 1739. Dalam karyanya tersebut, Spiess mengisahkan pengalamannya berkunjung ke sebuah desa kecil di mana ia mendapat kisah nyata seorang tahanan pria yang bunuh diri di dalam penjara karena patah hati setelah hubungan cintanya kandas. Spiess kemudian turut mengamati ekspresi wajah orang-orang di desa itu dan menemukan berbagai varian ekspresi di antara mereka, mulai dari yang terkesan ingin tahu hingga marah. Namun juga ada ekspresi lain yang ia ungkapkan dengan istilah tertentu: schadenfreude–paduan dua kata bahasa Jerman (schaden) yang artinya kekerasan dan (freude) yang artinya kebahagiaan.[1]

YouTube video

Salah satu tantangan penelitian mengenai schadenfreude adalah tidak ada definisi yang disepakati. Schadenfreude merujuk pada rasa senang karena melihat kemalangan orang lain. Contoh paling mudah adalah ketika mendapati seorang artis yang tidak disukai tersandung kasus hukum, penjahat sadis berhasil dikurung, atau ketika tim olahraga saingan kalah.

Schadenfreude bisa muncul diberbagai macam situasi sehingga tidak memiliki kerangka tunggal. Sehingga sulit mengambarkan emosi ini. Schadenfreude tidak hanya terlihat pada anak-anak atau orang dewasa, bayi usia 9 bulan pun sudah bisa menunjukan emosi ini. [2]

Penyebab schadenfreude, merasa bahagia melihat orang lain susah

Pada beberapa penelitian disebutkan bahwa schadenfreude merupakan respon kebanyakan manusia ketika menghadapi suatu humor yang mengandung kekerasan.[3]. Pada penelitian tersebut, disajikan dua macam cerita yang bertolak belakang. Ada cerita seorang ibu pengantin wanita yang mencuri tip dari pramusaji yang menolak untuk diberi tip di pesta pernikahan, dan cerita seorang ibu pengantin wanita yang menyelipkan uang tip untuk bartender di kotak tip. Diantara dua cerita tersebut, banyak responden yang menganggap cerita pertama lebih lucu walaupun hal tersebut kontradiktif dengan norma yang beredar.

Wilco W. van Dijk, dosen psikologi Universitas Leiden di Belanda, mengatakan bahwa orang yang menertawakan kesialan orang lain mungkin menganggap ada sesuatu dalam kejadian tersebut yang menguntungkan bagi dirinya sendiri. Mungkin juga mereka merasa lebih baik atau lebih beruntung daripada yang tertimpa kemalangan.

JIka lebih dalam lagi, perasaan senang melihat orang lain susah dapat pula dipengaruhi oleh rasa putus asa dan insecurity karena harga diri atau kepercayaan diri yang rendah. Lalu menurut Catherine Chambliss, ketua departemen Psikologi dan Ilmu Saraf di Ursinus College, Pennsylvania, schadenfreude bisa dipengaruhi oleh gejala depresi yang mungkin dimiliki oleh orang tersebut.

Beberapa peneliti beranggapan cara paling baik adalah meneliti emosi ini dalam konteks perbandingan sosial, sehingga mereka cenderung fokus pada interaksi rasa iri dan dengki dengan schadenfreude.[4][5] Peneliti lain melihat emosi ini dalam sudut pandang keadilan dan kesetaraan, dan apakah si penderita layak mengalami kesusahan.[6] Ada juga kelompok yang menganggap schadenfreude berasal dari dinamika antarkelompok – anggota kelompok memperoleh rasa senang dari kesusahan yang dirasakan orang di luar kelompok.[7]

Beberapa pakar psikologi juga percaya bahwa kesenangan tersebut bisa timbul dari rasa iri, atau cemburu pada kehidupan orang yang sedang menderita. Misalnya, senang melihat teman sendiri tidak lulus ujian masuk tes universitas. Tanpa pernah disadari Anda mungkin merasa tersaingi dan iri terhadap kemampuan atau keberhasilan lain yang teman Anda pernah capai dulu. Maka ketika ia sekali ini gagal akan terdengar seperti sebuah kabar baik.

Pertama, rasa iri. Orang cenderung tidak mendukung sosok yang terlalu gemilang–memiliki latar belakang pendidikan, jabatan, harta yang nampak berlebihan. Penelitian ini pernah menguji penilaian orang terhadap satu orang sukses yang mengalami kejadian buruk dan nasibnya berubah 180 derajat. Responden menganggap kegagalan adalah sesuatu yang layak didapat oleh seorang “over achiever” atau “highly achiever”. Dan mereka puas melihat kegagalan menimpa orang sukses. Rasa iri yang berdampak pada schadenfreude ini muncul karena ada perasaan inferior dalam pribadi seseorang. Gejala schadenfreude akan semakin terlihat bilamana jarak antara superioritas dan inferioritas semakin besar.

Secara biologis, otak kita akan memilih perasaan senang daripada perasaan lain.[8] Itu sebabnya, saat kamu melihat orang lain mengalami kesialan, hal pertama yang kamu rasakan adalah bahagia dibanding rasa takut dia akan kenapa-kenapa. Pada saat schadenfreude terjadi, otak akan mengeluarkan senyawa dopamin yang membuat kita merasa senang.

Schadenfreude membuat seseorang merasa senang dan merupakan hal alami, meski terkadang kita kerap mengingkari hal tersebut.

Perasaan iri kerap dikaitkan dengan schadenfreude. Sebagai manusia, kita tentu memiliki keinginan untuk tampil lebih baik dari orang lain. Secara naluriah, ketika melihat orang lain mengalami kegagalan, kita akan merasa senang walaupun perasaan itu muncul tanpa disadari.[9] Namun perasaan schadenfreude biasanya lebih sering muncul apabila orang lain lagi sial yang tidak berhubungan dengan kita. Perasan ini juga lebih sering muncul apabila kita tidak terlibat pada kemalangan yang menimpa orang tersebut.[10]

Penyebab hal tersebut adalah karena orang – orang cenderung tidak ingin mengakui inferioritas mereka dan tidak ingin mengakui bahwa inferioritas tersebut adalah alasan untuk membenci orang lain sehingga hal ini membuat mereka merasakan ancaman pada self – esteemnya dan membangun strategi defensif untuk menghindari perasaan tersebut salah satunya adalah Schadenfreude.

Baca Juga:  Apa itu Barnum Effect, Penyebab Orang Percaya Ramalan, Benar atau Omong Kosong?

Manusia cenderung selalu ingin mengetahui mereka sedang berdiri pada posisi mana setiap saat, dan ketika seseorang mengakui dirinya sedang merasa iri terhadap orang lain itu berarti secara tidak langsung ia sedang mengakui bahwa statusnya rendah. Makanya dari itu banyak orang yang mengatakan tidak merasa iri atau Schadenfreude kepada
orang lain, walaupun sebenarnya mereka merasakannya. Apabila masih ada orang yang berpikir bahwa diri mereka sebenarnya tidak merasa iri sama sekali apalagi Schadenfreude kepada orang lain karena merasa selalu optimis dan selalu berpikiran positif pada orang lain berarti secara tidak langsung ia sedang mengakui bahwa statusnya rendah.[11]

Orang mengatakan bahwa diri mereka tidak merasakan iri kepada orang lain ataupun tidak merasakan Schadenfreude sama sekali sebenarnya cenderung salah tentang pikiran tersebut karena hasil dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa manusia sebenarnya punya perilaku iri sebagai sifat standar bawaannya dan hanya dapat diminimalisir namun tidak dapat dihilangkan. Rasa Schadenfreude yang kemudian muncul akibat dari adanya rasa iri dan sebagai metode defensif untuk melindungi self esteem.

Kedua, sikap kompetitif di dalam grup. Riset ini menyebut bahwa individu yang terikat dalam sebuah kelompok sangat mungkin menganggap rekan sesamanya sebagai lawan. Ketiga, bila individu terdiagnosis mengalami gangguan mental psikopat. Penelitian ini mengutip pendapat Heilbrun yang menyebut psikopat mengalami kesenangan bila melihat penderitaan orang lain atau korban kejahatannya. Keempat, bila individu memiliki perpaduan elemen psikopat, narsistik, dan machiavellianism–sifat mementingkan diri sendiri dan melakukan tindakan manipulatif demi mencapai tujuan. Paduan sifat-sifat tersebut bisa membuat orang antusias terhadap aksi kekerasan yang bisa dilihat dari berbagai tayangan video atau program televisi. Kelima, orang yang kurang atau tidak percaya diri. Sifat tidak percaya diri membuat seseorang menjadikan tindak schadenfreude sebagai alat untuk meningkatkan rasa percaya diri lewat perbandingan dengan orang lain yang nasibnya lebih buruk.

Jenis-jenis dan situasi ketika seseorang melakukan schadenfreude

Penelitian yang dilakukan oleh Smith, Powell, Combs dan Schurtz (2009)[12] menjelaskan terdapat tiga situasi di mana seseorang melakukan schadenfreude, yaitu:

  1. Schadenfreude berbasis agresi, yaitu ketika kegembiraan mengamati penderitaan orang lain yang dapat meningkatkan atau memvalidasi status kelompok mereka sendiri. Ini ada kaitannya dengan kelompok yang saling bersaing.
  2. Schadenfreude berbasis rivalitas, yaitu lebih bersifat individualistis dan terkait dengan kompetisi antar pribadi. Ini muncul dari keinginan manusia untuk menonjol dibanding orang lain. Kemalangan orang lain memunculkan kesenangan karena membuat mereka lebih baik, apalagi jika kemalangan tersebut terjadi pada orang yang tak kita sukai.
  3. Schadenfreude berbasis keadilan, yaitu memandang bahwa perilaku yang dianggap tak bermoral atau buruk, maka pantas dihukum. Kesenangan ini terjadi ketika orang yang dianggap jahat maka patut untuk menerima balasan. Schadenfreude tipe ini membuat orang merasa keadilan telah dipulihkan.

Jenis schadenfreude ini terbagi tiga[13], yaitu :

Schadenfreude tertutup dan terbuka.

Dalam bentuk yang tertutup, biasanya orang masih dapat menahan
perasaannya saat menyaksikan seseorang ditimpa kemalangan. Namun dengan tersenyum dan menikmati perasaan itu secara diam-diam telah menunjukkan bahwa dia ikut menikmati kemalangan tersebut. . Sedangkan dalam bentuk yang terbuka, seseorang akan cenderung langsung mengungkapkan perasaannya dengan tertawa terbahak-bahak.

Ejekan

Ejekan dapat terjadi ketika seseorang menjadi kritis atau di satu sisi lain ingin memperlihatkan dirinya pada posisi yang lebih tinggi. Saat seseorang mengalami kemalangan, orang tersebut akan memberikan terlalu banyak ejekan-ejekan tanpa menunjukkan sikap ingin menolong. Ejekan itu dianggap wajar dan lucu padahal bisa saja sama sekali tidak lucu. Kita dapat melihat di televisi banyak sekali tontonan komedi yang sudah mengarah pada bentuk ini. Ejek sana-sini, namun penonton justru tertawa dan senang menikmati ejekan-ejekan tersebut. Sangat disayangkan bila akhirnya kita sendiri terbiasa menertawakan sesuatu yang tidak perlu ditertawakan

Ironi dan sarkastik

Pada bentuk selanjutnya, ironi dan sarkastik merupakan bentuk yang sangat tidak menunjukan simpatik. Biasanya perilaku yang ditunjukkan adalah dengan menyalahkan orang tersebut karena tidak dapat melindungi dirinya dari kemalangan. Misalnya kalimat seperti : “Salah sendiri, jadi orang jangan terlalu pilih-pilih, jadinya malah susah dapat pasangan, deh”. Kalimat tersebut sangat tidak tepat bila diberikan kepada seseorang saat ia sedang dalam kemalangan, meskipun dengan dalih ingin menyadarkan atau memberikan nasihat. Karena saat kita mengucapkan kata-kata tersebut tanpa kita sadari yang kita lakukan bukanlah memberikan peringatan (nasihat) kepada orang tersebut, melainkan perilaku tidak simpatik dan sedikit mengejek dalam kemalangan orang tersebut.

Apakah schadenfreude normal?

Anda tidak perlu khawatir merasa jadi orang yang paling jahat sedunia jika pernah merasakannya. Menurut Mina Cikara, peneliti tentang konsep schadenfreude yang diterbitkan dalam jurnal Annals of the New York Academy of Sciences, senang melihat orang lain menderita itu normal. Kurangnya rasa empati pada sesama juga bukan berarti Anda mengidap gangguan kejiwaan tertentu. Ini adalah respon yang manusiawi dan banyak dirasakan oleh orang lain juga. Namun dalam kasus yang jarang terjadi, schadenfraude bisa berkembang menjadi sesuatu yang lebih berbahaya.

Sebuah penelitian dari Emory University menyatakan terlalu sering atau sangat suka melihat orang lain susah menunjukkan kecenderungan ciri psikopati. Gangguan psikopati bisa membuat Anda menghalalkan berbagai cara untuk membuat orang lain sakit atau tertimpa kemalangan tanpa merasa menyesal.

Dari penelitian yang udah pernah dilakukan, terbukti kalau jenis emosi ini udah bisa dirasakan oleh anak kecil. Pada anak-anak umur 4 tahun, mereka sudah bisa tertawa saat melihat temannya jatuh ke lumpur. Akan lebih lucu lagi kalau sebelumnya temannya itu sudah berbuat jahat kepadanya misalnya merusak mainannya.[14]

Penelitian lain juga menemukan kalau anak umur 2 tahun sudah bisa cemburu dan merasa senang kalau temannya kesulitan. Di umur 7 tahun, anak-anak akan lebih senang saat melihat temannya kalah dalam permainan ketimbang sama-sama menang.[15]

Baca Juga:  Fight or Flight, Respon Mekanisme Tubuh Menghadapi Masalah, Stress dan Takut

Schadenfreude adalah emosi yang wajar dirasakan manusia, karena hal ini merupakan emosi normal yang sebab musabab nya bisa dijelaskan secara ilmiah sebagaimana dipaparkan sebelumnya. Jadi, kita bisa tahu bahwa hal ini bukanlah gangguan kejiwaan.. Dan kitagak perlu menghakimi orang lain jahat atau bahkan merasa diri kita paling jahat sedunia ketika sempat senang diatas penderitaan orang. Namun, bukan berarti perasaan ini bisa kita pelihara terus menerus, karena terlalu suka melihat orang susah bisa menunjukan gangguan psikopati lho, nantinya kamu malah menjadi orang jahat yang menghalalkan berbagai cara buat menyakiti orang lain, duh jangan sampai deh

Meski schadenfreude adalah sifat alami manusia, namun sebaiknya kamu bisa memahami mana yang berdampak positif dan mana yang negatif. Tunjukkan bahwa kamu bisa berempati terhadap kemalangan orang lain. Dengan begitu, keharmonisan antarumat manusia bisa tetap terjaga.

Schadenfreude dan tayangan lawak

Pada tayangan lawak yang ditampilkan di televisi, penonton mengetahui bahwa adegan yang ditampilkan merupakan adegan fiksi, sehingga merasa bebas menertawakannya. Begitu juga pada video lucu mengenai kegagalan seseorang ketika mencoba suatu aksi, penonton tahu bahwa hal tersebut memang diunggah karena dianggap lucu. Orang yang menonton merasa bahwa sah-sah saja  menertawakan setiap adegan yang disajikan. Namun kebiasaan menonton tayangan komedi yang menampilkan lawakan dengan adegan kekerasan dapat berakibat buruk.[16] Salah satunya adalah dapat memengaruhi penonton untuk melontarkan candaan yang sama pada orang lain, dan tanpa sadar menyakiti hati. Padahal melemparkan candaan seharusnya tidak mengganggu dan merugikan orang lain. Hal ini dapat terjadi karena kita belajar melalui apa yang kita lihat. Terutama dalam kehidupan sosial, perilaku yang diwajarkan oleh banyak orang akan menjadi suatu hal yang dianggap “normal”.

Menertawakan sebuah peristiwa yang kita anggap lucu merupakan hal yang wajar. Demikian juga dengan mengalami schadenfreude, karena sebagai manusia kita kerap merasa lebih superior dari orang lain dan akan selalu ingin merasa lebih baik dari yang lainnya. Hal itu alamiah. Namun memanfaatkan candaan dengan disertai kekerasan ataupun ejekan yang dapat menyinggung orang lain bukanlah hal yang patut kita lakukan untuk mendapatkan kesenangan. Apabila kita menonton seseorang yang melakukan candaan yang berlebihan kita dapat menegur mereka atau kita bisa membatasi menonton tayangan lawak yang mengandung kekerasan.

Fenomena prank dan perilaku schadenfreude di internet

Jika dilihat dari tayangan di televisi maupun media sosial, prank selalu melibatkan satu pihak yang menjadi korban dan pihak lain yang tertawa senang akan peristiwa tidak menyenangkan yang dialami oleh korban tersebut. Kegiatan “mengerjai” tersebut sudah dipersiapkan sedemikian rupa dan semata-mata dilakukan untuk mencari kesenangan atas peristiwa sial yang menimpa orang lain. Meskipun banyak menuai pro dan kontra terkait munculnya tontonan tersebut, namun konten-konten prank seperti itu seolah menjadi tontonan yang laris manis. Bahkan bermunculan youtuber-youtuber yang tidak mau kehilangan kesempatan, mereka berlomba-lomba membuat dan mengunggah video prank untuk mendapatkan banyak viewers, likes, subscribers dan comments.

Sebuah tayangan prank yang viral belakangan ini justru berakhir dengan tertangkapnya sang youtuber, hingga harus berurusan dengan pihak kepolisian. Jika dilihat dari kasus prank seperti itu, apakah tayangan prank dapat dikatakan sebagai sebuah hiburan?

Respon bahagia dan tertawa senang sering kita temui ketika melihat adegan lawak namun mengandung unsur kekerasan atau kemalangan satu tokoh di dalamnya. Entah ketika si pelawak jatuh dari kursi atau terhantam bagian tubuh pelawak lain, sehingga kejadian unik tersebut menggambarkan kondisi pelawak dalam keadaan tak berdaya. Bagi beberapa penonton, kejadian tersebut lucu, dapat menghibur dan menjadi sebuah kenikmatan tiada tara. Perasaan-perasaan seperti ini bisa bertambah ketika kita merasa lebih superior dari pihak yang kita tertawakan. Demikian pula di dalam sebuah konten prank. Posisi korban prank yang kaget, tak bisa berbuat apa-apa, panik bahkan mungkin menangis bisa menjadi salah satu hiburan yang sangat menyenangkan untuk orang lain. 

Jika dilihat dari kategori schadenfreude, fenomena prank masuk pada kategori schadenfreude berbasis rivalitas. Ketika para youtuber melihat konten prank orang lain – dalam hal ini pesaingnya – yang lebih banyak mendapat subcribers, likes, viewers dan comments dari para pengikutnya, maka mereka berusaha membuat skenario konten prank yang lebih seru, ekstrim dan menantang yang semuanya dirancang dengan tujuan untuk mendapat lebih banyak subscribers, likes, viewers ataupun comments dari orang lain. Meskipun tren anak muda zaman sekarang cenderung ingin meraih popularitas dengan cara instan melalui cara apapun, namun tidak seharusnya melakukan tindakan yang mengabaikan perasaan orang lain, melanggar norma agama, sosial dan masyarakat. Bagaimanapun juga perilaku schadenfreude yang berlebihan adalah satu indikasi dari kelainan emosi atau psikologis yang dilakukan oleh para pelaku prank. Bagi pihak korban, akan merasa tidak nyaman, marah, kaget, tidak berdaya dan berbagai emosi lainnya karena mendapatkan perlakuan yang tidak diduga sebelumnya.

Sebagai mahluk sosial, manusia telah dibekali hati nurani untuk bisa merasakan, berempati dan menggunakan nalar dalam berperilaku serta mampu membuat penilaian dari perspektif pikir yang luas, tidak hanya dari satu sisi tapi dari berbagai sisi. Selain itu penting menggunakan hati nurani serta memikirkan konsekuensi dari setiap tindakan kita dengan mempertimbangkan juga unsur perikemanusiaan.

Dampak negatif schadenfreude berlebihan

Bertrand Russell, seorang filsuf dan peraih hadiah Nobel Sastra, mengatakan bahwa iri hati adalah salah satu penyebab utama ketidakbahagiaan. Orang yang iri hati tidak hanya menyebabkan ketidakbahagiaan bagi dirinya sendiri, orang tersebut bahkan mengharapkan kemalangan orang lain. Russel berpendapat bahwa ketidakstabilan status sosial di dunia modern, juga doktrin kesetaraan dari demokrasi dan sosialisme, sangat berperan memperluas penyebaran iri hati dalam suatu kalangan masyarakat. Karena itu iri hati adalah sesuatu yang jahat, tetapi menurutnya kejahatan ini musti ditanggung demi tercapainya suatu sistem sosial yang lebih berkeadilan.[17]

Baca Juga:  Pengertian Dan Jenis-Jenis Bias Kognitif Sering Terjadi Pada Otak Manusia

Emosi schadenfreude mengaktifkan pusat reward di otak.[18] Dopamin akan begitu mudah diakses saat kita merasakan kegembiraan semu ini. Wajar jika kita terus menerus datang untuk kembali merasakannya. Masuk dalam percakapan gosip, mengikuti akun gosip, mencari komunitas yang memiliki ideologi politik yang sama, mencari lawan bersama. Terus menerus kita akan mencari jalan baru untuk merasakan nikmatnya dopamin di otak. Tanpa menyadari dan mengendalikan emosi ini, kita tanpa sadar disebut peneliti mengikis kemempuan empati diri sendiri. 

Jika kemampuan empati kita berkurang, ini bisa menjadi masalah besar, bukan hanya karena empati merupakan tolok ukur kecerdasan emosional kita. Padahal empati secara umum berguna untuk keseimbangan mental, menjalin hubungan yang sehat, dan pencapaian tujuan jangka panjang.

Ketika sejumlah politikus atau sekelompok orang yang hidup enak senang dan gembira melihat sebagian keluarga nelayan yang, atas anjuran mereka, memilih tetap bertahan hidup susah dan serba rentan di dalam perahu-perahu kecil mereka ketimbang ikhlas pindah ke rusun-rusun yang disediakan pemerintah. Para politikus itu dan kelompok pendukung mereka, sebetulnya sedang terkena Schadenfreude sementara mereka sedang menyerang lawan-lawan politik mereka, khususnya pemimpin teratas kota DKI Jakarta.

Dalam bukunya yang berjudul The Joy of Pain: Schadenfreude and the Dark Side of Human Nature (Oxford University Press, 2013), Richard H. Smith bahkan melihat genosida atas enam juta orang Yahudi oleh rezim Nazi di bawah Hitler adalah suatu bentuk “Schadenfreude” bangsa Jerman terhadap bangsa Yahudi. Karena sangat banyak orang Yahudi yang berhasil dalam banyak kegiatan profesional pada masa itu, bagian terbesar bangsa Jerman menjadi iri hati dan dengki. Lalu genosida atas bangsa Yahudi berlangsung, dan bangsa Jerman tertawa senang melihat penderitaan dan kebinasaan jutaan orang Yahudi yang mereka datangkan sendiri lewat mesin politik dan militer Nazi yang brutal.

Apa yang bisa kita lakukan agar schadenfreude tidak berlebihan?

Sama seperti adiksi lainnya, schadenfreude bisa jadi membuat nyaman pada awalnya, namun tetap saja akan berdampak buruk kalau telah menjadi kebutuhan. Karena hal tersebut mengikis secara langsung kemampuan empati dan tentunya perasaan syukur.

Kita bisa saja mengembalikan diri kita untuk berkompetisi dengan diri sendiri, tidak lagi dengan orang lain. Kita tidak lagi menggantungkan keberhasilan dan kebenaran ide kita dari pencapaian orang lain, namun pencapaian diri kita sendiri di masa lampau. 

Ini adalah masalah penempatan tujuan (goal setting). Selain itu saya rasa dengan untuk bersyukur adalah strategi yang lebih dari cukup. Tingkatkan rasa syukur kita supaya kita lebih menghargai apa yang kita miliki dan apa yang sedang kita jalani sehingga tidak banyak iri akan kehidupan orang lain, ketika kita merasa cukup kita justru akan terdorong untuk membantu orang yang kekurangan dan tidak tertekan melihat orang yang lebih mampu.

Yang kedua, coba kelola jam terbang di sosmed. Sosmed membuat mata kita seakan didepan pintu kehidupan orang lain, kita melihat berbagai hal yang orang miliki dan lakukan, yang seringkali membuat kita iri dan merasa bersaing. Dan hal ini jadi faktor yang bikin kita senang liat orang susah.

Jangan biarkan diri Anda terkunci dalam iri tiada akhir. Mulailah lebih banyak menghabiskan waktu dengan keluarga, pasangan, atau orang lain yang memberikan kebahagiaan dalam hidup Anda. Pergi untuk rekreasi, berkencan, atau sekadar minum secangkir kopi mungkin bisa membantu Anda menghilangkan rasa iri dan mengusir hal-hal buruk akibat media sosial.

Setiap orang memiliki kehidupan, pekerjaan, keluarga, dan kondisi finansial yang berbeda. Karena itulah, Anda tidak bisa terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain. Teman Anda bisa saja telah mencapai suatu prestasi yang membanggakan, tapi pada saat yang sama, Anda mungkin memiliki keunggulan yang tidak terdapat pada orang lain.

Kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain akan menutup mata Anda dari keunggulan dan potensi yang Anda miliki. Alih-alih mampu menghilangkan rasa iri, Anda justru akan semakin tenggelam dalam pengaruh buruk akibat media sosial.

Renungkan dalam-dalam, bahwa Anda adalah individu yang sama hebatnya dengan orang-orang di luar sana. Mari gali lebih dalam potensi, bakat, dan keahlian Anda. Siapa yang tahu, Anda mungkin akan menjadi sosok yang jauh lebih hebat di masa depan.

Referensi:
  1.  Christian Heinrich Spiess. 1739. Biographies De Suicides.[]
  2. Smith, R. H. (2013). The Joy of Pain: Schadenfreude and the Dark Side of Human Nature. New York: Oxford University Press.[]
  3. Peter McGraw. Benign violations: making immoral behavior funny A Peter McGraw. 2010[]
  4. https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0146167296222005[]
  5. https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/014616720202800708[]
  6. https://psycnet.apa.org/record/2012-15718-002[]
  7. Leach, C. W., et all. 2003. Malicious pleasure: Schadenfreude at the suffering of another group.[]
  8. https://www.psychologytoday.com/us/blog/the-i-m-approach/201703/the-science-schadenfreude[]
  9. Dijk. W., et all. 2006. When people fall from grace: reconsidering the role of envy in Schadenfreude[]
  10. https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/014616720202800708[]
  11. Crusius, J., & Mussweiler, T. (2012). When people want what others have: The impulsive side of envious desire. Emotion, 142-153.[]
  12. Smith, R. H., Powell, C. A., Combs, D. J. Y., & Schurtz, D. R. (2009). Exploring the when and why of schadenfreude. Social and Personality Psychology Compass, 3(4), 530–546.[]
  13. Carlsmith, K. M., Gilbert, D. T., & Wilson, T. D. (2008). The Paradoxical Consequences of Revenge. Journal of Personality and Social Psychology, 1316- 1324.[]
  14. Simone G. Shamay-Tsoory. 2014. There Is No Joy like Malicious Joy: Schadenfreude in Young Children[]
  15. https://bpspsychub.onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/bjdp.12013[]
  16. https://www.psychologytoday.com/us/blog/reading-between-the-headlines/201309/violence-the-media-and-your-brain[]
  17. Russell, Bertrand (1930). The Conquest of Happiness. New York: Horace Liveright.[]
  18. https://science.sciencemag.org/content/323/5916/937[]